Merapal Doa di Pinggir Pantai Tiluh

Pantai Tiluh, berada di Kecamatan Watulimo, sebelah barat pantai Damas. Tepatnya berada di ujung barat Desa Karanggandu, agak mengarah ke barat daya dari Pantai Damas. Jika sedang berada di Pantai Damas dan berjalan lurus sampai penghabisan garis pantai, dan berjalan lagi sekitar beberapa meter agak serong ke selatan lalu berbelok ke kanan melintasi jembatan kayu. Dari situ perjalanan akan sampai dengan sendirinya ke lokasi Pantai Tiluh.

Kemarin, saya, Misbahus Surur dan M. Choirur Rochim melakukan perjalanan ke Pantai Tiluh dalam menjalankan semacam agenda “njajah desa milang kori” sebagaimana jargon yang diemban portal ini. Kami memulai perjalanan dari Desa Gemaharjo pukul 15.30 WIB, waktu yang sebenarnya kurang bagus: terlalu sore, untuk mengawali perjalanan ke lokasi yang belum pernah kami kenal.

Sebenarnya selama tinggal di Kecamatan Watulimo, baru kali ini saya dengar nama Pantai Tiluh. Sekitar seminggu sebelum perjalanan ini kami lakukan. Salah satu kerabat mengatakan bahwa ada pantai lagi yang berbeda dari Pantai Pasir Putih. Dan pantai ini belum banyak dikunjungi. Berhubung Mas Surur biasanya sering menyambangi tempat-tempat yang belum banyak dikunjungi orang, saya pun mengajaknya ke sana. Tak lupa kami mengajak salah seorang kontributor nggalek.co, M Choirur Rochim, pemuda tampan harapan desanya yang juga suka kluyuran dan menulis ini.

Sekitar pukul 15.30, saya dan Mas Surur bertolak dari Desa Gemaharjo, mengendari motor berboncengan melewati Dusun Sumber. Jalur yang kami lewati adalah jalur yang berada di sebelah barat Gunung Geger Tengu dan timur Bukit Apak Broto. Sedangkan Mas Rochim berangkat dari rumah, karena memang rumahnya ada di sekitar Desa Prigi yang letaknya di bawah. Sesuai janji, kami bertemu di Pantai Damas. Sekitar pukul 16.15 WIB, kami sampai di Pantai Damas, disambut pemandangan pantai yang—semenjak tahun 2007, terakhir saya kunjungi—tampak masih sama. Mungkin yang membedakan adalah disediakannya kursi-kursi panjang dari beton di sepanjang pantai. Kursi tersebut diletakkan di bawah pohon ketapang dan gerumbulan pandan. Sehingga menyajikan keteduhan bagi area pinggiran pantai ketika terik matahari datang.

Jika berangkat dari Desa Gemaharjo, untuk mencapai Pantai Damas, kita harus melalui dua desa: Desa Prigi dan Desa Karanggandu. Pantai Damas berada di Desa Karanggandu. Melewati jalanan di Desa Karanggandu, terlihat aspalnya sudah banyak dipenuhi lubang dalam berbagai ukuran. Meski Pantai Damas sudah dibuka sebagai tempat wisata berbayar (ada retribusi), untuk pembangunan infrastruktur jalan, sepertinya masih belum akan jadi prioritas pemerintah ke depan. Mungkin akses jalan menuju Panti Damas ini akan membaik nanti kalau Jalur Lintas Selatan (JLS) rampung dikerjakan.

Sesampai di Damas, kami langsung menuju mushola yang terletak di sebelah barat perkampungan guna menunaikan ashar. Tentu sambil menunggu Mas Rochim yang tadi menyusul di belakang kami. Mas Surur pergi mengambil air wudhu lebih dahulu, sedang saya bergegas menuju warung kopi di depan salah satu rumah penduduk untuk membeli minuman sambil mencari informasi mengenai Pantai Tiluh. Dan sengaja memang kami sholat secara bergantian, selain untuk menjaga barang-barang bawaan juga karena menghemat waktu. Salah satu dari kami lebih dahulu mencari informasi.

Beruntung, seorang warga pemilik warung yang saya sambangi, hampir setiap hari pergi ke sekitar Pantai Tiluh, melakukan beberapa aktivitas pertanian di sana. Saya mengorek  informasi yang diperlukan sebelum kami ke sana. Pemilik warung mengatakan bahwa jarak antara Pantai Damas dan Pantai Tiluh sekitar kurang-lebih 1 kilometer. Sambil ia menudingkan jari telunjuknya ke arah pantai yang kami maksud.

Dalane wes penak kok, mas. Wis dicor. Tapi sampean kudu ngati-ngati. Soale dalane amung sedeng sak motor, terus nglewati perengan. Mumpung iseh yahmene, ndang budal wae. Mengko selak wengi: “Jalannya sudah enak kok, Mas. Sudah di-semen. Tapi kamu harus hati-hati, soalnya jalannya hanya cukup untuk satu motor, terus melewati pinggir karang. Mumpung masih belum terlalu sore, segeralah berangkat, nanti keburu malam,” harap bapak tadi.

Di sebelah musholla saya dapati Mas Surur sudah selesai. Setelah membayar minuman dan sebungkus roti, saya lantas bergantian sholat. Sehabis sholat, dari jauh Mas Rochim sudah tampak batang hidungnya di atas tunggangannya. Dan sepertinya sudah sampai dari tadi. Mas Surur bilang tampak dia clingukan di bawah pohon kelapa mencari kami. Dia bergabung dengan Mas Surur, pada saat saya mengambil air wudhu tadi. Dan ternyata benar, ia sudah datang lebih dahulu dan sempat berkeliling mencari kami.

Pukul 16.00 WIB, kami berangkat ke Pantai Tiluh, menyusuri jalanan pasir yang kerap dilalui warga berlalu-lalang menuju hutan. Warga di sekitar sini memanfaatkan hutan dengan menanami pohon pisang dan jenis tanaman produksi lain. Di jalanan, kami beberapa kali mendapati petani mengendarai sepeda motor obonan ­(modifikasi) dengan membawa pisang dan hasil pertanian lain, melewati jalur yang juga kami lewati. Pisang-pisang tersebut ternyata tidak mereka bawa pulang ke rumah, namun langsung mereka jual kepada pembeli yang sejak lama menunggu kedatangan mereka. Tampak, saat kami di sana sudah ada dua perempuan yang menjadi pembeli pisang-pisang petani tersebut.

Di atas pancer tersebut terdapat satu jembatan kayu, kelihatannya dibuat dari hasil gotong-royong warga. Jembatan itu merupakan jembatan pertama yang menjadi penghubung pesisir dan daratan di sebelahnya. Dengan jembatan ini, akses jalan dari kampung ke hutan atau sebaliknya, mudah dilalui. Bahkan bisa dengan sepeda motor. Jembatan ini juga kami lalui menuju Pantai Tiluh. “Glodak-glodak,” begitu bunyi permukaan jembatan saat motor kami mendarat di atasnya. Mas Surur sempat turun untuk mengambil gambar yang mungkin menarik. Meski jembatan terlihat ringkih, nampak setelah kami lewati kokoh.

Jembatan penghubung di pancer Pantai Damas
Jembatan penghubung di pancer Pantai Damas

Di sepanjang jalan, memang kami sering bertemu dengan para petani bermotor membawa pisang. Karena jalan sempit, terkadang kami harus berhenti, atau mengalah dengan minggir. Memberikan kelonggaran jalan pada mereka. Jalan yang sudah dirabat ini mungkin juga atas kontribusi mereka sebagai pengguna harian. Barangkali dulu mereka bergotong royong membangun dan memperbaikinya supaya bisa dilewati sepeda motor. Di sepanjang jalan yang kami lalui, di sebelah kiri terhampar pancer (sungai dekat pantai). Di tepi pancer berbagai tanaman liar tumbuh baik. Sedangkan di sebelah kanan, tumbuh subur pohon kelapa dan bakau. Pohon-pohon kelapa di sini sebagian masih baru ditanam.

Tunas-tunas kelapa yang baru ditanam
Tunas-tunas kelapa yang baru ditanam

Ternyata benar apa yang dikatakan oleh pemilik warung yang tadi sempat kami kunjungi, jalan menuju ke Pantai Tiluh berada di pinggiran pereng. Berliku-liku mengikuti topografi tanah, sesekali naik dan turun mengikuti relief bebatuan. Pereng adalah bebatuan yang menjurug ke pantai, biasanya sebagai pelindung alami kemiringan tanah dari gerusan ombak supaya tidak longsor. Jalan rabatan yang kami lalui tepat berada di bibir laut, jadi andai kami terperosok ke arah kiri, bisa dipastikan langsung jatuh ke laut. Itulah kenapa pemilik warung yang lupa saya tanyai namanya, mengatakan untuk berhati-hati melewatinya. Mungkin bapak itu berpikir kami adalah orang dari jauh yang tidak banyak melewati jalan sulit.

Dari atas pereng, kami melihat dengan jelas garis pantai, Pantai Damas. Lengkap dengan pemandangan pohon nyiur yang menyembunyikan rumah-rumah warga—karena pohon kelapa masih lebat, sehingga perkampungan tidak terlihat dari tempat saya berdiri. Tidak seperti biasanya, saya lebih sering melihat laut dari tepi pantai, kali ini saya melihat pantai dari arah berlawanan. Pantai Damas dengan pasirnya tampak dari arah barat dayanya.

Kami melanjutkan perjalanan setelah tadi berhenti sejenak di pinggir jalan. Kebetulan beberapa kali bersimpangan dengan petani yang pulang dari hutan. Setiap petani yang kami temui, tidak satupun motor tunggangan mereka yang tidak membawa pisang. Oh ya, jauh-jauh hari saya sudah sering mendengar hasil pertanian di Damas, yang berupa pisang ini. Di sekitar Damas memang selalu dijadikan rujukan pertama bagi para  pengepul pisang.

Langit sudah mulai gelap, kami bergegas mengendarai motor melalui jalanan menanjak, beberapa menit berjalan, kami sudah tidak bertemu lagi dengan petani. Sementara itu di balik tanjakan jalan tadi, kami melihat garis pantai baru, kami melihatnya dari atas pereng. Saya melihat sebuah pantai dengan pohonan yang tumbuh subur di pinggir pantai, seakan berdesakan dengan air laut. Kalau dari jauh terlihat seperti paduan mozaik yang menandakan bahwa pantai tersebut masih alami dan jarang dihampiri manusia. Sesuai informasi yang diberitakan oleh pemilik warung, kami menyangka bahwa inilah Pantai Tiluh. Pantai yang menjadi tujuan kami bertiga.

View Pantai Tiluh dari atas pereng
View Pantai Tiluh dari atas pereng

Tak membuang waktu, kami melanjutkan perjalanan sekitar 200 meter ke arah pantai. Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di bibir pantai. Mas Rochim yang tiba lebih dulu, memandang pantai dengan tertegun. Mungkin dia sambil teringat kekasihnya, dan saya yakin suatu saat, dia akan mengajak pacarnya ke sini. Saya tidak peduli apa yang dilakukan Rochim, tampaknya ia sedang asyik bermain di atas perahu kecil yang tersandar di bawah pohon ketapang. Saya berjalan ke pantai yang hanya berjarak beberapa meter dari pepohonan. Tidak saya temui jejak-jejak kaki manusia, pun jejak-jejak aktivitas manusia. Yang saya lihat hanyalah pasir lembut yang kerap tersiram air laut. Mungkin saja ombak telah menghapus segala jejak di bibir pantai. Mas Surur memandang pantai dan sekitarnya dengan seksama, seolah mencoba mengenali setiap detail yang tampak.

View Pantai Tiluh dari jarak dekat
View Pantai Tiluh dari jarak dekat

Pantai sibuk dengan gulungan ombaknya, para petani sibuk dengan aktivitasnya masing-masing pulang-pergi antara ladang dan rumah. Hubungan acuh tak acuh inilah justru yang bisa membuat alam: hutan dekat pantai serta Pantai Tiluh dan sekitarnya tetap terjaga. Mungkin pada hari itu, justru tamu tak undangnya adalah kami. Tanpa sadar telah membuat pantai dipenuhi jejak kaki dan keramaian, lebih-lebih tangan Mas Rokhim tadi telah mengubah letak perahu bergeser beberapa centimeter dari tempat asalnya.

Tanpa sepengetahuan mereka berdua, di garis Pantai Tiluh saya berdoa dan memohon maaf telah mengotorinya dan mencuri gambar melalui foto-foto kami. Semoga Pantai Tiluh tetap terjaga, tetap terpelihara kelembutan pasir dan ombaknya. Dan tetap memberikan percikan air kepada pohon ketapang di pinggir pantai. Supaya apa yang kami saksikan hari itu, bisa dilihat juga oleh anak cucu kita kelak pada waktunya.

Artikel Baru

Artikel Terkait