Menonton “Negeri di Bawah Kabut”

Andai di masa depan para ilmuwan mampu menciptakan sebuah teknologi yang memungkinkan otak manusia menjadi tempat penyimpanan data, film dokumenter satu ini yang pertama kali akan saya simpan. Agar dapat sewaktu-sewaktu saya tonton melalui mata. Dari sedikit film dokumenter yang saya tonton, barangkali karya Shalahudin Siregar ini akan menjadi tontonan favorit sepanjang masa. Bukan dari Bukit Mbanyon (Gandusari) adegan demi adegan dalam film ini berlatar, melainkan di Lereng Merbabu. Meski Mbanyon pada titik tertentu ada kemiripan dengan topografi Genikan, di Lereng Merbabu. Cerita tentang beberapa anak yang harus jalan 3 kilo tiap hari untuk pergi ke sekolah memang tak semenarik tikungan menanjak yang sekarang ramai dengan warung-warung semi permanen di Banyon itu.

The Land Beneath The Fog adalah film dengan cerita yang sangat sederhana, diperankan oleh tokoh-tokoh yang lugu nan bersahaja, lagi memuat isu yang biasa saja. Film ini mengisahkan para petani pegunungan di Lereng Merbabu yang mengalami kesulitan dalam menghadapi perubahan iklim dunia. Dua keluarga di Desa Genikan, keluarga pertama terdiri dari seorang bapak ibu dengan tiga orang anak. Keluarga kedua adalah keponakan dari keluarga pertama yang juga telah memiliki suami. Petani gunung dengan produk pertanian berupa kubis, kentang dan tomat. Dua keluarga dengan pengaruh tradisi Jawa yang sangat kuat ini kesulitan untuk paham kenapa iklim berubah dengan cara yang tidak biasa. Sistem penanggalan tanam yang mereka pahami puluhan tahun tak mampu memprediksi musim apa yang akan terjadi pada bulan-bulan ke depan. Tak ayal, ketidakmampuan menebak cuaca ini berpengaruh dengan kuantitas produksi mereka. Beberapa kubis yang ditanam harus panen sebelum waktunya. Beberapa telah membusuk, layu sebelum berkembang besar. Harga anjlok, dan hantu kebangkrutan yang terus membuntuti menjadi momok.

Drama yang dihadirkan Udin juga tak kalah sederhana. Kesulitan membiayai pendidikan anak adalah kasus yang biasa dihadapi kaum rural di Indonesia. Hutang dan ketidakmampuan menyetok bahan makanan yang bergizi, barangkali telah dihadapi—nyaris menjadi kebiasaan—masyarakat Indonesia sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam. Hampir di semua titik-titik pedesaan Jawa pasti kita menemui runtutan kejadian macam ini. Narasi yang tampil adalah narasi biasa. Film yang tak menghadirkan wacana baru.

Yang menjadi istimewa dari film ini, salah satunya adalah kemampuan Udin membawa drama dan isu biasa tersebut ke dalam tontonan yang tak membosankan. Global warming adalah isu yang kerap dibahas dalam pertemuan tokoh dan masyarakat dunia. Ancaman perubahan iklim dunia di masa yang akan datang telah menyeret masyarakat dunia untuk konsen kepada alam. Ketakutan akan kiamat sugra (kiamat kecil), memburuknya iklim yang disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah dari tiap negara untuk mengelola energi terbarukan, menyita waktu untuk sekadar membicarakan harga minyak yang semakin turun. Melalui ekspresi kebingungan untuk menanam tanaman apa yang cocok pada masa tanam selanjutnya dalam film ini adalah fenomena yang menggambar wacana pemanasan global tersebut. Menonton The Land Beneath The Fog adalah menonton contoh dalam lingkup kecil dari dampak pemanasan global itu.

Kedua adalah kemampuan Udin menghadirkan karakter yang sangat dekat dengan penonton. Arifin—anak ketiga dari keluarga pak Gupak—bukanlah aktor jebolan sekolah-sekolah film Jakarta. Begitu pula dengan Sudardi dan Muryati. Keluarga yang menikah 14 tahun silam ini, bukan pula pemain FTV (Film Televisi). Mereka hanyalah anak SD dan pasangan suami istri lulusan SD yang tinggal di desa-desa paling atas sebelum puncak Merbabu. Namun, keintiman yang dihadirkan dalam shot beberapa adegannya seperti saat Muryati mengeroki badan Sudardi, atau pada saat mereka kebingungan sibuk menghitung daftar utang yang telah jatuh tempo, diselingi dengan geguyonan ala pasangan muda yang masih mesra, adalah serangkain unsur terkuat dari film ini. Ketegangan pak Gupak saat bingung mencari pinjaman uang untuk bayar hutang, atau candaan serkelompok petani saat ngobrol tentang harga tembakau. Udin sangat sukses menghadirkan drama yang dibangun dengan metode dokumenter kehidupan sehari-hari.

Kunci dari kesuksesan The land Beneath The Fog barangkali adalah kedekatan Udin dengan Desa Genikan. Dia mengenal beberapa keluarga di sana sejak tahun 1997. Kedekatan yang dibangun secara simultan dan metode observasi dengan balutan etnografi visual yang dipilih Udin, menghadirkan banyak momen dengan kualitas yang sangat luar biasa. Satu level dengan “Lukas Moment”-nya Aryo Danusiri. Saya kira Udin telah menghabiskan ber-rol-rol film atau ber-giga-giga data storage untuk menangkap momen dalam tiap scene, dan tentunnya waktu yang sangat panjang—hampir 2 tahun—untuk menyelesaikan film tersebut.

Salah satu film dokumenter konvensional yang mampu berbicara sampai tahun-tahun belakangan ini. Walaupun tak semasif “Senyap” dan “Jagal”. Beberapa diskusi film yang diselenggarakan komunitas dan elemen mahasiswa kampus masih terus diadakan. Film dengan teknik kamera yang mayoritas still (diam) dan tak banyak menggunakan teknologi, teknik-teknik mengagumkan dan kemewahan yang ditampilkan video wisata jaman sekarang. Kalau kalian ingin melihat Genikan dari atas, sudah dipastikan akan kecewa. Tak ada pesawat tanpa awak (drone) yang terbang membawa kamera mini. Udin membawa kita pada film di dekade 1980-an dan awal 1990-an macam “Cinema Paradiso” dan “Forest Gump”. Bahwa, inti dari sebuah karya (film) adalah pesan yang ingin disampaikan.

Ngomong-ngomong, Mbanyon dan sebagian besar petani gunung kita mengalami kondisi demikian, kah?

Artikel Baru

Artikel Terkait