“Mangga ingkang pikantuk sampur, kula aturi enggal jumeneng.” (Mari, hadirin yang telah mendapat sampur, saya undang lekas berdiri).
Pecinta langen tayub Trenggalek pasti mengenal makna dan kapan persisnya kalimat pengundang joget yang santun ini dihaturkan oleh sang tledhek, lebih kalemnya disebut waranggana. Mereka adalah primadona denok deblong, magnet dari pagelaran tayub terob selama kurang lebih 8 jam. Para tledhek biasanya tampil dengan bersanggul tinggi, beriasan menor dengan balutan kebaya. Kemben dan jarit batik yang melekat kian mempertegas lekuk tubuh.
Lalu, apakah gerangan sebab-musabab yang membuat bapak-bapak pecinta langen tayub sedemikian setia, nyaris tak pernah melewatkan tiap pagelaran tayub di banyak lokasi hajatan mantu? Murni menuruti naluri menguri-uri seni atau terpesona lembehan waranggana? Ataukah tayuban hanya ritual untuk melanggengkan keberadaan udang di balik bakwan (omben)?
Tumbuh di lingkungan keluarga yang berkutat di bidang seni karawitan dan sesekali nginthil (turut serta) bapak dan mamak manggung, entah tayuban, kethoprak, jaranan, campur sari, uyon-uyon atau wayangan, sedikit banyak mengusik perhatian saya untuk menelisik keberadaan budaya saru yang tak tersangkalkan serta dikaburkan oleh rancak gamelan yang bertalu-talu.
Di situ, ada tayuban, pula ada bandar miras, ya minimal beberapa kacung kepercayaan sang bandar. Ada miras ada omben, ada demdeman ada keriuhan tak ramah anak, lengkap dengan gumaman ngelantur dan nada sumbang para pemabuk yang tak patut disumbangkan ke pendengaran para hadirin yang ada di sana, saat menikmati suguhan tayub dan bersilaturahmi dengan empunya hajatan.
Bagaikan cerita berbingkai: ada cerita dalam cerita, omben dalam pentas tayuban. Mengingat pentas langen tayub yang sedemikian semarak dan tak sepi peminat, saya kok membayangkan andai suatu hari Pemkab Trenggalek mengadakan festival tayuban dengan mengusung tema dan spirit yang berbeda di setiap tahunnya.
Festival tayub diprakarsai oleh Pemkab Trenggalek untuk merangsang dan mengapresiasi kreativitas seniman Trenggalek, menguji kualitas dan daya jual grup-grup karawitan yang tersebar di seluruh Trenggalek untuk menelorkan karya seni yang adiluhung sarat etika dan estetika. Menggugah kesadaran dan juga mengedukasi warga Trenggalek, khususnya mereka yang mengaku pecinta tayub, tentang pentingnya melestarikan budaya lokal. Menjaga agar pesan moral dari setiap gendhing dan filosofi yang terkandung di balik pentas langen tayub tak luntur. Apalagi kalau luntur cuma karena ulah para penyamun majnun yang menyusup ke terob sambil menjajakan berkrat-krat ciu bak jamu pegal linu.
Tayub adalah salah satu identitas Trenggalek, selain sega gegog dan kudapan garing kripik tempe. Mewacanakan branding Kota Trenggalek tak harus membahas hal muluk-muluk, memulai langkah kecil dengan memulihkan image tayub misalnya agar pantas dikenali sebagai bagian dari keluhuran seni, sudah membawa kebaikan yang menyegarkan. Biarlah anak cucu kita nanti mengenal tledhek sebagai pesindhennya tayub, bukan tante genit penuang bir. Mari menyuguhkan pengalaman seni yang sehat dan berkelas bagi tamu undangan di hajatan kita.
Berilah kesempatan untuk tamu-tamu kita menikmati gayengnya gendhing Kijing Miring tanpa sebotol topi miring. Dan, bilamana para bandar miras itu muring-muring (marah-marah), maka jangan sungkan menggandring hingga gulung koming. Jika tidak sampai hati, cukuplah satpol pamong praja yang menggiring.
Di pagelaran wayang kulit, kethoprak, uyon-uyon, campur sari tidak ada penonton clinthisan dan berani mabuk-mabukan. Mung ing palagan langen tayub wae sing menjela dhewe. Bukan bermaksud memukul rata siapa-siapa yang ada di pentas tayuban, tetapi rasa-rasanya tak akan saya temui pria seksi rasa paprika di sana, paling mentok ya lelaki penyamun beraroma vodka.
Sumber gambar sampul: beergembira.com