Dalam artikel yang ditulis Misbahus Surur berjudul “Desa Menggempur Kota” beberapa hari lalu dan juga di artikelnya yang lain, kita semua disuguhi fenomena paling mutakhir saat ini, yaitu bagaimana desa mulai kehilangan identitasnya dengan di antaranya melulu mengedepankan pembangunan infrastruktur (aspek fisik). Membaca artikel tersebut telah memberikan saya inspirasi tentang bagaimana desa yang ideal menurut saya sebagai seorang priyayi Jawa partikelir (:-P).
Kata desa selalu merujuk pada sebuah daerah geogarfi tertentu di belahan Indonesia. Kata desa sendiri bagi saya mengandung makna yang jauh lebih filosofis daripada arti secara letak geografis. Terdiri dari susunan (ke)budaya(an) yang biasa kita lakukan hingga saat ini. Desa merupakan partikel-partikel dari tingkah laku kita yang membentuk semua moral komunal di antara penduduknya. Sekurangnya itu definisi ala kadar saya soal desa.
Bagaimana kondisi desa saat ini? Barangkali sudah tidak ada hal yang istimewa, dari adat istiadat hingga kondisi alam. Semuanya sudah mengarah pada kegiatan capital destructed. Kenapa saya sebut capital destructed, karena hampir keseluruhan kegiatan yang ada di desa telah dikuasai oleh pemodal. Tidak tampak lagi kegiatan-kegiatan sakral, kita ambil contoh di Pulau Bali, hampir semua kegiatan di sana sudah dimiliki kelompok tertentu untuk mendatangkan keuntungan. Sehingga kegiatan-kegiatan tradisi sakral khas pedesaaan Bali, seolah disajikan untuk dinikmati costumer.
Dengan tidak adanya ke-sakralan pada sebuah desa, maka bisa dipastikan sebuah desa hanya menjadi daerah geografis semata. Yang semakin lama akan ditinggalkan oleh pemudanya dan lebih memilih datang ke kota untuk mengadu nasib. Lantas menjadikan desa sekadar tempat berlibur ketika pulang dari kota. Masyarakat desa yang menjadi petani, peternak dan seterusnya seolah hanya akan menjadi badut-badut sirkus yang ditonton oleh orang-orang kota yang kembali itu.
Bukan berarti saya tak mendukung pembangunan desa yang sudah berlangsung, dan bukan bermaksud pula untuk menggurui para decision maker. Fenomena masuknya para pemodal ke desa bagaimanapun akan berakibat pada semakin berkurangnya basis produksi warga desa. Misalnya, dahulu para pemodal hanya menyewa lahan pada petani-petani desa, dalam beberapa tahun kemudian tanah tersebut akan dibeli pemodal dan para petani desa lantas akan menjadi buruh tani.
Parktik macam ini sudah berkembang hampir di seluruh Indonesia. Yang lebih menyedihkan lagi adalah sebagian para pemodal itu adalah para pemodal asing. Para pemodal asing ini secara praktik tentu akan membawa benih-benih unggul dari laboratorium untuk kemudian ditanam pada lahan pertanian kita (dan merusak tanaman tradisional). Bagaimana peran tetua desa dalam melindungi desa mereka? Pendapat pribadi saya, saya masih yakin pada tetua adat untuk melindungi desa mereka dari kerakusan para pemodal, setidaknya itu yang saya dengar dan lihat di Trenggalek.
Sepertinya kekhawatiran saya soal masuknya pemodal rakus harus saya kurangi, beberapa hari kemarin saya mendapatkan informasi yang menurut saya cukup valid, tentang bagaimana para pemuda di Trenggalek menggagas desa, ke arah bentuk desa yang seutuhnya tanpa kehilangan satu partikel pun yang menyusunnnya, tanpa meninggalkan aspek peningkatan kesejahteraan. Saya mencoba menawarkan sebuah pikiran tentang desa, yang saya beri nama Desa Improvement Program (DIP). Semacam desa yang didesain sesuai kulturnya.
Desa yang berkultur agraris, kita arahkan untuk mengembangkan pertanian yang terpadu dengan peternakannya. Termasuk bagaimana pemasaran produk dari desa tersebut tanpa meninggalakan tradisinya. Tradisinya kita pelihara yang nantinya akan menjadi keunikan untuk menarik wisatawan. Dengan catatan, tradisi tersebut tetap dilaksanakan dengan pakem-pakem yang ada, di sana kepentingan pasar tak menjadi dasar dari tradisi tersebut. Begitu pula, desa yang berkultur maritim, dikembangkan pertanian yang ramah lingkungan, sistem pembayaran crew kapal juga harus adil sehingga ada peningkatan pendapatan dari buruh nelayan. Dan tradisi yang ada dapat pula dipertahankan serta tidak begitu saja mengikuti pasar.
Inti dari DIP tersebut adalah bagaimana desa tetap menjadi daerah yang manusiawi bagi penduduknya, tidak ada pemodal kuat yang menguasai basis produksi di desa. Suatu desa yang basis produksinya bisa dimiliki bersama oleh penduduk desa, agar kehidupan mereka sejahtera. Bagaimanapun desa merupakan benteng terakhir dari Indonesia. Saya setuju dengan artikel “Desa Menggempur Kota”, yaitu jika pembangunan yang manusiawi memang harus dimulai dari desa, karena desa merupakan penyusun dan pendukung kehidupana kota.