Basa Krama, Alat Tutur yang (Segera) Punah (?)

Sering ketika menghadiri acara tasyakuran, saya termasuk orang yang tak mau tahu dengan apa yang disampaikan oleh pembicara: tak peduli dengan isi dan bahasa yang disampaikan. Tapi pada saat tertentu sungguh saya sempat terkesima dengan yang disampaikan seorang pembicara. Bukan soal isi yang disampaikan, menurut saya intinya sama saja dengan apa yang sering disampaikan oleh banyak pembicara. Saya terkesima saat itu dengan bahasa yang digunakan. Sebenarnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa, bahasa yang kita kenal sedari kecil. Tapi entahlah, mengapa pada saat itu, saya begitu mengaguminya.

Secara garis besar, tingkatan tutur bahasa Jawa dibagi menjadi lima: basa ngoko, basa madya, basa krama, basa kedaton dan basa kasar. Setidaknya itu yang pernah saya pelajari sewaktu di sekolah dasar. Karena tingkatan-tingkatan tersebut, bahkan ada yang mengatakan, mempelajari bahasa Jawa sama dengan mempelajari berbagai bahasa.

Penggunaan bahasa Jawa sesuai tingkatannya ini tergantung dengan siapa sosok yang kita ajak bicara, siapa yang dibicarakan, dan dalam keadaan bagaimana pembicaraan tersebut. Nah, hasil identifikasi pribadi menggunakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya, bahasa yang digunakan oleh pembicara saat itu, saya tempatkan pada tingkatan basa krama.

Selain terpesona dengan bahasa yang digunakan, sebenarnya ada dua hal yang berada di pikiran saya saat itu.

Betapa menakjubkan moyang kita dulu, mereka memiliki bahasa yang begitu nikmat didengar, indah sudah pasti. Selain itu, bahasa Jawa penuh dengan sastra dan sarat makna. Banyak pelajaran yang bisa diambil. Tiap kata dan kalimat menunjukkan prestise-nya sendiri. Pasti moyang kita adalah manusia-manusia berperadaban tinggi. Bukankah tingginya peradaban sebuah bangsa, salah satu tolok ukurnya adalah bahasa? Tapi sungguh sangat miris ketika generasi saat ini terdogma bahwa peradaban terbaik adalah peradaban yang berkiblat pada Barat. Bahasa pun begitu, bahasa ibu kita, dianggap sebagai bahasa kuno dan ketinggalan jaman. Sedang penggunanya sering disebut kolot.

Kedua, dengan bahasa yang digunakan, saya sungguh merasa malu ketika menyadari banyak arti kata yang tak saya pahami. Saya terlahir di Jawa, dengan kebudayaan Jawa, dengan bahasa Jawa yang sudah sejak dalam kandungan ibu, tempat saya bercakap-cakap dalam keseharian. Lalu kenapa hingga se-dewasa ini, saya masih nggumun ketika ada orang yang menggunakan bahasa Jawa halus? Saya gagal paham dengan diri saya sendiri. Semoga Anda tidak.

Ciri bangsa ini salah satunya adalah menghormati sesama, khususnya kepada orang yang lebih senior, terutama orang Jawa. Bukan bermaksud mengunggulkan suku Jawa dan merendahkan suku lainnya, sungguh saya tak bermaksud begitu. Tetapi setahu saya, orang Jawa selalu memposisikan dirinya lebih rendah (asor) terhadap lawan bicaranya yang senior. Kata “nyuwun sewu” pasti sering terucap sebagai tanda permisi dan permohonan maaf jika apa yang akan disampaikannya terdapat kesalahan dan menyinggung perasaan lawan bicara. Selain itu, tradisi tersebut mengajarkan pendidikan sopan santun dalam bertutur kata.

Jika selama ini kita berbangga diri akan keberagaman bahasa dan sejarahnya, sepertinya kita patut bertanya terlebih dahulu kepada diri kita sendiri, kebanggaan yang seperti apa? Apakah sekadar pernah memiliki sejarah yang hebat ataukah pemilik dari sejarah tersebut? Kalau hanya sekadar pernah memiliki, sepertinya kebanggaan kita tak akan pernah sampai pada anak cucu. Dengan pengaruh globalisasi yang semakin hebat, masuk dalam alam sadar kita dan anak cucu, bahwa sejarah dan kebanggaan itu hanyalah memori masa lalu. Kini seolah tak ada kebanggaan sama sekali.

Kita harus sadar dan merasa bahwa kitalah pemilik dari sejarah dan kebanggaan itu. Dengan adanya rasa memiliki, tentunya kita akan tergerak untuk melestarikannya. Jika tidak, maka bahasa bisa punah.

Tak mudah memang, tapi harus ada usaha yang dilakukan. Bahasa daerah yang setahu saya hanya sekadar menjadi ekstra kurikuler, dan sudah sepatutnya menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah di berbagai tingkatan. Semoga pemerintah Trenggalek bisa mempertimbangkan dan bahkan melaksanakan saran saya. Pemerintah memegang peranan penting dalam pelestarian bahasa daerah.

Kebijakan-kebijakan yang sifatnya menjaga dan mendukung bahasa daerah tetap eksis sangat dibutuhkan. Selain itu, lingkungan keluarga harus menjadi yang pertama dalam mencintai bahasa daerah. Dengan pasangan suami istri saat ini yang begitu banyak mengajarkan bahasa nasional dan asing kepada anak-anaknya. Mungkin saja dua atau tiga generasi mendatang, mereka tidak akan mengenal bahasa daerahnya. Melestarikan bahasa daerah adalah kewajiban kita. Caranya? Gunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari.

Terus terang, saya sendiri belum begitu menguasai sepenuhnya bahasa Jawa, tapi paling tidak saya selalu berusaha untuk tidak memalukan ketika berbicara dengan orang lain menggunakan bahasa Jawa. Intinya, perlu belajar bersikap positif dan sadar berbahasa Jawa. Dengan demikian, saya berharap nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa Jawa akan tetap lestari dan tertanam pada diri saya secara khusus. Dan secara umum bagi masyarakat. Kawan, bersediakah belajar berbahasa Jawa bersama saya?

Salam lestari!

Artikel Baru

Artikel Terkait