Mengingat rumah dan masa kecil, pikiran saya kerap terantuk pada kebun dan sawah sebelah timur rumah. Tak hanya di kedokan (petak) sawah, ingatan saya menempel di sepanjang galengan-galengan (pematang) persawahan. Mengingat sawah-sawah di timur rumah adalah mengingat keusilan masa kecil. Para petani, termasuk kakek-nenek saya, selain menanam padi di kedokan, mereka sering pula menanam kacang lanjaran, lembayung, aneka sayur dan kacang-kacangan lain dengan menjepitkannya di pematang.
Ketika dulu anak-anak seusia saya doyan keluyuran ke sawah, kami pun kerap mengusili tanaman itu. Tanaman yang kami pikir menghambat jalan orang yang hendak melintasi galengan, dengan seenaknya kami injak. Kini saya sadar, bahwa tanaman-tanaman yang ditanam di sepanjang pematang (sebagai tanaman tumpang sari) itu, selain memanfaatkan lahan kosong, sebetulnya juga berguna untuk membatasi model tanam monokultur (satu jenis tanaman). Sebab, heterogenitas tanaman di sawah dan ladang, memang penting bagi tanah, di antaranya untuk menyimpan zat hara: mengembalikan zat hara ke dalam tanah.
Sistem dan cara tanam monokultur yang dahulu antara lain digulirkan penjajah melalui kebijakan Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)—dengan payung liberalisme ekonomi—telah mengusir jauh-jauh cara dan tradisi tanam campur yang berkembang di desa-desa tradisional. Dan tentu saja, pola tanam tradisional ini (dalam Vandana Shiva, 1997: 180), selalu didasarkan pada produksi bahan organik sebagai makanan dan zat hara tanah, baik secara langsung maupun melalui hewan. Sisa-sisa tanaman dan kotoran hewan, selain berguna dalam taraf tertentu sebagai cara mencegah erosi, juga bisa dengan cermat didaur-ulang untuk memelihara kesuburan tanah.
Menurut penelitian Vandana Shiva misalnya, pola tanam tunggal (monokultur)—sebagaimana dipaksakan kolonial—kemungkinan telah menciptakan erosi tanah serta hilangnya porsi air larian yang bisa ditampung dibanding andai lahan-lahan pertanian itu menerapkan tanam campur. Pola tanam campuran, semisal campuran kacang-kacangan dengan sorealia (dari sereal—jenis tanaman bijian-bijian seperti padi, jagung, gandum dll.), sebagaimana kasus di India, justru berfungsi meningkatkan kesuburan tanah melalui pengikatan nitrogen. Pola campuran serealia dan palawija, sedikitnya, bisa membantu tanaman dan tanah itu sendiri (Shiva, 1997: 180).
Pola tanam campur dan pupuk organik juga sanggup mengurangi resiko gagal panen melalui berkurangnya kerentanan terhadap kekeringan dan hama. Bahan organik atau humus, terutama di daerah-daerah kering yang sangat membutuhkan kelembaban tanah, bisa meningkatkan kemampuan tanah menahan air (yang dijatuhkan secara musiman di dunia tropis) dua sampai lima kali lebih banyak. Dan selama musim panas (paceklik)—sembari menunggu musim hujan datang kembali—tanah dengan sendirinya bisa dilembabkan oleh pupuk organik (humus) dan pola menanam secara campuran itu. Mekanisme melestarikan air secara tradisional, sebagaimana berkembang di desa-desa agraris sejak dahulu ini, tentu saja tidak diakrabi oleh pertanian gaya liberal di zaman ketika Tanam Paksa atau masa Revolusi Hijau atau pertanian dengan gaya developmentalisme era Soeharto, dipraktikkan.
Kita mafhum, bahwa ekonomi agrikultural dan manufaktur kini berbasis industri dan teknologi, dengan melibatkan aneka zat kimia melalui pupuk pestisida atau insektisida. Kultur tanam tradisional, kaki pancang bagi ekonomi pedesaan, harus ditumbangkan. Teknologi agrikultural kini sering tak lagi melihat pentingnya pertanian secara tradisional yang berbasis kearifan lokal. Teknologi agrikultural memompa industri pertanian sedemikian rupa untuk menaikkan kapital dan membesarkan negara dagang: korporasi di ranah pertanian. Dulu blue print itu salah satunya dialasi kebijakan Revolusi Hijau, nama kebijakan yang tampak bersahabat, namun sebetulnya adalah monster jahat bagi dunia pertanian.
***
Pikiran lain saya terbit begitu saja setelah membahas hal pertama. Selain cara tanam campur yang menjadi karakter pertanian di desa-desa, kearifan lokal kedua di lahan pertanian adalah ihwal peran ibu-ibu petani. Mengapa di desa-desa, para ibu rumah tangga hampir selalu mendapat pekerjaan secara berimbang (atau bahkan lebih) dengan para lelaki di lahan pertanian? Misalnya perempuan sebagai si penanam padi (tandur) saat para bapak—selain mencangkul—mencabuti lantas ngepaki bibit padi yang hendak ditanam (ndawut). Saya lagi-lagi setuju dengan Vandana Shiva, bahwa banyak perempuan (di) desa punya peran yang tidak bisa dianggap enteng di sawah-sawah pedesaan. Faktanya, di Munjungan sebagai contoh, dan mungkin di beberapa kecamatan lain di Trenggalek, ibu-ibu rumah tangga (petani) tak pernah betah lagi tak nyaman bila hanya duduk-duduk di rumah: sekadar menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga.
Mereka, para ibu ini, selain aktif di dapur, ternyata juga ibu-ibu yang beraktivitas di sawah-ladang. Di lahan-lahan persawahan, mereka tak cuma tandur dan matun (menyiangi rumput), ibu-ibu ini, saat musim panen, pula bertugas sebagai tukang nyilir gabah (menyortir gabah berisi dan yang tidak berisi juga untuk melepas alang-alang), nggerek (melepas bulir padi dari tangkainya menggunakan roda yang dililiti puluhan paku) juga menjemur gabah. Peran mereka di dunia agraris—kalau ditimbang-timbang—bisa jadi seimbang dengan kaum lelaki, atau jangan-jangan malah melebihi.
Di Munjungan, hampir secara mayor para ibu yang trengginas, bisa ikut nggerek, matun, di samping tandur, nyilir gabah, dan menjemur padi sehabis panen. Di Munjungan, tandur dan menjemur gabah hasil panen adalah pekerjaan rutin perempuan. Kalau tak boleh dibilang sangat identik dengan tugas-tugas yang dikerjakan kaum perempuan, sebagaimana tugas menanak nasi dan memasak di dapur tiap hari.
Di pedesaan Munjungan, dan seluruh Trenggalek umumnya, ketika musim tanam tiba, hampir bisa dipastikan ibu-ibu jamaah tandur sudah sedari pagi berjajar rapi di petak-petak sawah. Berlomba menghabiskan banyak untaian benih padi yang telah di-pak-ikat sedemikian rupa oleh para bapak. Mereka memulai menanam masing-masing dengan kecepatan tertentu yang satu sama lain berbeda. Kecepatan tandur serta kerapihan dalam menanam bibit di kedokan sawah bisa menjadi indikator kreativitas ibu-ibu petani: mungkin sebuah keterampilan yang mesti dipelajari oleh generasi muda terkini dengan, pembiasaan turun langsung menanam di tanah becek berlumpur (-ber-endut) di sawah-sawah itu.
Kita tahu bahwa di kawasan tropis belahan bumi timur, alam pertanian memang kerap dibangun dalam cara pandang dunia perempuan. Ini bertalian dengan anggapan bahwa bumi adalah ”gambar” perempuan. Paradigma feminitas alam pertanian menunjukkan bahwa daur-ulang secara sirkular terhadap tanah dan dunia ekologi secara umum, kerap dilakukan oleh perempuan. Seolah perempuan punya jalinan kemitraan yang dekat lagi hangat dengan tanah, pepohonan, hewan dan alam pertanian sekitar. Di situ, seakan perempuan menyadari bahwa dirinya adalah prototype bumi: sebagai mother earth. Simbolisme terra mater, bumi sebagai ibu yang agung, memang berkonotasi kreatif dan melindungi sebagaimana karakter perempuan.
Di dunia tradisional, kaum perempuan merupakan golongan penghasil yang lebih dekat dengan alam. Sementara di Barat (yang positivis-kapitalis), kaum perempuan secara mayor telah jauh-jauh tercerabut dari prinsip dan nalurinya sebagai sosok-sosok yang dekat dengan alam. Perempuan di Barat kini sekadar menjadi golongan konsumtif. Mereka telah kehilangan watak dalam mencipta dan melestarikan, karena dunia pertanian di Barat telah didominasi prinsip maskulinitas, yang serba mesin dan teknologi.
Berbeda dengan dunia timur, perempuan dan alam adalah mitra. Bahkan dalam sebuah tulisan, Maria Mies (dalam Shiva, 1997: 55) pernah menyebut, bahwa perempuan tak hanya mengumpulkan dan memproduksi apa yang terdapat di alam, tetapi ia sebetulnya juga bisa ”membuat segala sesuatu menjadi tumbuh.” Dan ketahuilah, di seluruh dunia, lagi-lagi mengutip Vandana Shiva, penjajahan terhadap berbagai masyarakat, pada mulanya sering dilakukan terlebih dahulu melalui penaklukkan terhadap konsep ekologi tentang alam dan bumi sebagai miniatur perempuan: pengubahan konsep femininitas menjadi maskulinitas.
Di masa kini, keterampilan menanam padi ini mungkin semakin jarang diingini, dimiliki lantas diwarisi generasi remaja-remaja pedesaan, khususnya di Munjungan. Mengkhawatirkan bila keterampilan berinteraksi dengan persawahan: mulai dari macul, membajak, meluku, ngurit, tandur, matun, ndaut, ngarit, nggerek di sawah, nyilir, menjemur dan seterusnya kian minipis dan tak lagi diminati. Atau akankah kelak menjadi keterampilan yang harus menggunakan cara kursus(an) terlebih dahulu?
Padahal, lahan persawahan di Munjungan cukup luas. Peta persawahan di Munjungan sekurangnya membentang di sebelah barat dan utara Desa Munjungan; sebelah selatan Dusun Munjungan Kidul, Desa Munjungan; sebelah utara Dusun Singgihan, Desa Masaran; sebelah barat Desa Masaran dan timur Desa Craken; sebelah selatan Dusun Mbeji, Desa Munjungan; sebelah selatan Dusun Gemiring, Desa Tawing; dan tentu saja di sepanjang jalan Desa Bendoroto hingga Desa Bangun. Bahkan di tiga kecamatan pesisir Trenggalek, area persawahan di Munjungan terbilang paling luas bila dibanding Panggul dan Watulimo.
Saya hanya bisa mencatat bahwa dua model di atas: menanam tanaman tumpang sari di pematang sawah (tanam campur) dan peran besar perempuan di lahan-lahan pertanian di desa-desa agraris, termasuk di Trenggalek tentunya, sejak dahulu adalah salah dua saja dari banyak sekali bentuk kekayaan kearifan lokal desa yang (pernah) kita punya, yang dalam beberapa tahun ke depan, siapa yang bisa menjamin akan terus terpelihara (?).