Trenggalek dan Silsilah Gaplek

Singkong atau ubi kayu dalam beberapa bahasa daerah disebut juga (ke)tela, menyok, pohong. Orang Trenggalek biasa bilang kaspe, atau dalam bahasa Inggris cassava. Kaspe adalah salah satu tanaman pangan tertua di dunia. Tanaman ini menarik untuk kita pelajari, sebab realitanya Trenggalek adalah salah satu kota yang terkenal karena gaplek-nya (gaplek = singkong kering). Entah karena memang Trenggalek sebagai salah satu kota penghasil gaplek atau karena pelafalan bunyi yang hampir sama.

Trenggalek atau Nggalek dengan gaplek memang agak mirip dan sering berasosiasi elek (jelek). Ketika orang bicara singkong, biasanya akan mengidentikkan dengan olok-olok jelek, ndesa, miskin, marginal dan sejenisnya. Namun sebelum kita berpikir yang tidak-tidak tentang singkong, ada baiknya kita membaca sedikit sejarahnya.

Menurut wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Ketela_pohon), singkong kali pertama dikenal di Amerika Selatan, kemudian dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay. Kurang lebih sejak 10 ribu tahun yang lalu dengan nama latin manihot esculenta. Bukti-bukti arkeologis budidaya singkong juga banyak ditemukan dalam kebudayaan Indian Maya, tepatnya di Meksiko dan El Salvador.

Nama Manihot konon berawal dari sebuah legenda suku India kuno. Legenda ini bercerita tentang Mani, seorang putri agung dari kepala suku Indian Brasil. Seorang putri cantik yang tinggal jauh di dalam hutan hujan Amazon, berkulit putih seperti bulan dengan mata gelap seperti malam.

Tragisnya, sang putri meninggal sangat muda dan seluruh rakyat berduka atas kepergiannya. Sebagai bentuk rasa duka cita yang mendalam, saban hari tiap-tiap orang menyiramkan air pada kuburnya. Sampai suatu hari tumbuhlah tanaman yang luar biasa di atas kuburannya. Ketika mereka kupas akar tanaman tersebut, mereka seperti melihat warna yang sama dengan warna kulit sang Putri. Saat mereka mencoba memasaknya, mereka menemukan rasa yang lezat disertai kekuatan setelah memakan akar tersebut. Sejak saat itu tanaman tersebut menjadi sumber pangan utama suku Indian dan diberi nama manihot.

Dari sini bisa kita ketahui bahwa sebenarnya singkong bukanlah tanaman asli Indonesia dan bukan pula tanaman sembarangan. Karena kehadirannya dijaga dan dilestarikan dengan berbagai mitos yang melegenda di tempat asalnya. Hampir mirip dengan legenda Dewi Sri dalam mitologi Jawa, hanya saja Legenda Dewi Sri bercerita tentang padi.

Karena itu, apakah kita masih melihat singkong sebagai sumber pangan yang remeh-temeh? Faktanya, saat ini singkong semakin diminati di Eropa dan Amerika sebagai salah satu panganan sehat free gluten dan rendah kalori. Selain pemanfaatan singkong di berbagai bidang lain juga semakin banyak dan tidak terbatas pada pangan. Singkong menjadi sumber energi yang melibatkan teknologi tinggi.

Banyak orang masih beranggapan bahwa menanam singkong sekadar untuk memanfaatkan lahan kering. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab menurut sejarah masuknya singkong ke Nusantara berawal dari motif ekonomi. Singkong masuk ke Indonesia masa kolonialisme pada abad ke 16 diperkenalkan oleh orang-orang Portugis, ditanam pertama kali di wilayah Maluku. Namun secara komersial, komoditas ini ditanam pada masa pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1810.

Sedang di Pulau Jawa mulai ditanam sekitar tahun 1852 di suatu kabupaten di Jawa Timur, ini sebagaimana yang ditulis tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Kemungkinan di kabupaten di bagian barat agak selatan wilayah Jawa Timur seperti  Pacitan, Ponorogo, Trenggalek sampai Malang. Hal tersebut ditandai dengan populasi tanaman singkong yang cukup besar di wilayah tadi sampai saat ini. Selain juga pernah didirikan Pabrik Tapioka Turen milik Handelsvereeniging Amsterdam (H.V.A.) di Malang, Jawa Timur (circa 1919).

Namun demikian, pada tahun 1876 ternyata tidak semua wilayah di Pulau Jawa mengenal singkong karena penanaman singkong di Pulau Jawa tidak merata. Beberapa daerah ditanam besar-besaran dan beberapa daerah yang lain tidak ada sama sekali. Hal ini sebagaimana dicatat oleh seorang kontrolir di Trenggalek dalam buku De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875 (https://id.wikipedia.org/wiki/Ketela_pohon).

Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pernah menjadi salah satu pengekspor dan penghasil tepung tapioka terbesar di dunia. Sebagaimana tersebut dalam buku Handbook of the Netherlands East Indies, pada tahun 1928 tercatat 21,9% produksi tapioka diekspor ke Amerika Serikat, 16,7%; ke Inggris, 8,4%; ke Jepang; lalu 7% dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya komoditas tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem, permen karet, industri tekstil dan furniture (https://id.wikipedia.org/wiki/Ketela_pohon). Nah, dari sini makin jelas bahwasa singkong tidak hanya menjadi cadangan pangan, lebih dari itu singkong adalah salah satu komoditas pertanian yang cukup strategis dan prospektif untuk dikembangkan.

Sekarang, bagaimana dengan singkong di Trenggalek ?

Singkong di Trenggalek sudah menjadi tanaman budaya. Di Trenggalek tidak ada petani singkong tapi semua petani hampir dipastikan menanam singkong. Artinya, disuruh nanam atau tidak, semua petani tetap akan menanam singkong walaupun sekadar menjadi tanaman sela. Hampir tidak mungkin menghapus singkong dari Trenggalek. Jadi, tak perlu menghapus ‘olok-olok’ nggaplek i dari Trenggalek, justru kita harus berbuat agar olok-olok itu berubah menjadi sebuah ikon positif untuk Trenggalek.

Saya mengamati selama sepuluh tahun belakangan ini singkong mengalami pasang surut yang cukup menarik. Walau tren singkong di level on farm cenderung tetap atau bahkan agak menurun namun di level off farm menunjukkan tren yang menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya industri olahan singkong, baik berupa produk jadi atau produk setengah jadi. Sebaliknya, di tingkat on farm luas lahan singkong makin berkurang karena banyak lahan yang  ditanami komoditas lain seperti kayu sengon, kelapa sawit atau tanaman lain. Di sisi lain teknik budidaya dan varietasnya tidak ada peningkatan.

Namun ada hal menarik di level on farm yang saya lihat di awal tanam tahun ini yaitu interest petani-petani tebu untuk mulai mencoba menanam singkong di tanah datar dengan teknologi tanam yang lebih maju. Fenomena Ini saya lihat dimulai tahun kemarin di Kediri dengan komunitas ‘Gajah’ yaitu komunitas petani singkong dengan varietas gajah. Dan sekarang mulai menyebar ke beberapa petani tebu di Trenggalek. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa komoditas singkong semakin terlihat seksi untuk dikembangkan dengan skala ekonomi yang lebih tinggi. Mengingat pula bahwa kebutuhan pasar dalam negeri masih jauh dari cukup. Perusahaan-perusahaan besar nasional sudah berlomba-lomba menerjuni komoditas ini.  Lha kita kapan?

Padahal Trenggalek punya potensi luar biasa untuk komoditas singkong. Secara nasional nama Trenggalek sudah cukup dikenal dikalangan ‘pemain’ singkong sebagai salah satu daerah produsen singkong atau produk setengah jadi berupa gaplek, tepung gaplek, tepung tapioka dan tepung mokaf. Meski jika dibanding dengan produksi nasional, mungkin tidak ada satu persennya. Jika diuangkan nilainya cukup besar. Pernah saya coba menghitung nilai rupiah dari produksi singkong, gaplek, trowol (chip cassava), tepung gaplek, tepung tapioka, tepung mokaf, dalam setahun nilainya hampir mencapai satu trilyun rupiah. Mungkin sepertiga dari APBD Trenggalek. Tidakkah itu luar biasa?

Saat ini daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa mulai bergiat dengan tanaman singkong, sedang sebagian kita tetap merasa minder dengan singkong dan gaplek. Saya berkeyakinan komoditas ini bisa jadi salah satu sarana meningkatkan ekonomi petani sekaligus mengentaskan kemiskinan. Mengingat bahwa sebagian besar penanam singkong adalah petani pinggiran yang nota bene taraf hidupnya masih di bawah garis kemiskinan.

Saya selalu membayangkan suatu saat Trenggalek akan menjadi Cassava Center di mana semua orang akan teringat dan melihat Trenggalek jika bicara singkong. Trenggalek akan menjadi tempat studi sekaligus penelitian untuk pengembangan singkong dari hulu sampai hilir. Tidak hanya itu, orang-orang juga bisa menikmati singkong sebagai sebuah pesona wisata agro yang eksotis dan edukatif.  Nah, alasan apalagi yang membuat kita minder untuk disebut sebagai anak singkong atau menyandingkan nama Nggalek dengan gaplek?

Artikel Baru

Artikel Terkait