Rewang Vs Event Organizer

Hajatan adalah sebuah momen bahagia yang melelahkan. Ada banyak uba rampe yang perlu dipersiapkan dalam tiap prosesi: dari materi yang bersifat ritual-spiritual hingga yang murni keduniawian. Sahibul hajat, si empunya hajat, harus mempersiapkan jiwa, raga, emosi dan materi, guna memaksimalkan hajat yang digelar. Dus, di daerah pinggiran seperti Trenggalek, hajat seseorang juga adalah wujud kebahagian bagi tetangga. Jika Anda akan menggelar perayaan semisal pernikahan, di daerah pedesaan, maka tetangga sekitar akan dengan suka rela menjadi laden atau rewang. Tenaga dan usaha para tetangga akan ikhlas disedekahkan demi kelancaran acara tersebut.

Rewang, kalau kita terjemahkan secara etimologi bahasa Indonesia punya makna membantu/menolong. Jika diterminologikan, rewang bermakna kegiatan memberikan bantuan berupa tenaga kepada seseorang yang sedang mempunyai hajat. Orang yang melakukan rewang disebut laden. Dengan adanya wong rewang, tuan rumah akan sedikit berkurang bebannya. Lebih-lebih karena bantuan itu biasanya diberikan dengan nilai-nilai kekeluargaan yang dijunjung tinggi, serta akan menambah sugesti positif bagi semua personil hajatan.

Sebelum prosesi hajatan dimulai, para personil rewang akan dikumpulkan dalam acara yang bernama klumpukan laden. Dalam acara ini, seorang kyai biasanya menjadi manajer EO (Event Organizer) yang membagi tugas demi tugas yang perlu dijalankan oleh para laden. Ada yang bertugas menjadi penerima tamu, menjadi notulen, menjadi pembawa beki hingga tugas mencuci piring dan gelas. Semuanya diatur dalam klumpukan laden. Dan, ketika acara dimulai, semua sudah siap pada tupoksi masing-masing.

Ah, terkait rewang saya yakin para pembaca yang ndesa pasti pernah mengecap rasa saat menjalaninya. Begitulah kehidupan manusia di desa. Saat mereka tidak bisa mengandalkan teknologi, mereka bisa berharap pada kehandalan gotong-royong. Saat mereka miskin materi, mereka kaya akan tradisi. Pada akhirnya kita akan menemukan sebuah kearifan sosial yang mengagumkan. Pada titik ini, kita akan terpesona dengan segala pernak-pernik pedesaan yang anggun dan menenteramkan. Jauh dari hingar bingar polusi politik, sampah hedonisme, dan limbah teknologi.

Namun kemudian, manusia akan bertemu dengan titik selanjutnya: modernitas. Pola-pola kekinian yang mengusung konsep kemudahan dalam menjalani kehidupan. Modernitas merayap perlahan penuh kepastian bahkan hingga ke liang rayap di sudut pedesaan. Modernitas menyajikan kemudahan dalam kehidupan sehingga manusia hanya perlu bersekutu dengan modernitas itu saja untuk membereskan tiap masalah.

Pola hidup modern menawarkan ke-simple-an dalam menjalani kehidupan. Buat apa ribet berkonsultasi dengan dongke guna mencari hari, jika kalender sudah jelas menentukan tanggal merah untuk hari libur. Buat apa sibuk berkeliling dusun mencari laden untuk rewang, jika sudah ada Event Organizer yang siap mengatasi masalah hajatan tanpa basa-basi yang merepotkan, asalkan biaya terlunasi.

Modernitas memang menawarkan kemudahan, tak heran pesonanya memancar hingga ke pedesaan. Beberapakali penulis melakoni becekan di desa yang sudah memakai jasa EO. Personil rewangnya berseragam; makanannya dibuat prasmanan; prosesinya cepat selesai tanpa banyak basa-basi ritual spiritual. Simpel, das des wat wet.

Cara hajatan seperti ini nampaknya mulai digemari di daerah pedesaan. Sahibul hajat tak perlu repot meminta bantuan kepada para tetangga, para tetangga juga tak perlu repot memberikan bantuan tenaga. Cukup hadir dan mengucapkan selamat. EO modern sudah siap menggeser EO rewang yang tradisional.

Sekilas memang terlihat lebih mudah, namun modernitas realitanya meminta imbalan di balik kemudahan yang diberikan, yaitu modal. Ya, modernitas memerlukan biaya. Masalahnya adalah, bagaimana dengan keluarga yang tak mampu menyewa jasa EO modern di tengah masyarakat yang mulai enggan rewang? Ketimpangan terhadap kearifan akan segera terjadi.

Dampak modernitas selanjutnya adalah individualisme. Menjadi individual itu mudah bagi orang yang bermodal. Harta bisa menjadi sekutu setia guna menyelesaikan berbagai permasalahan. Namun bagi mereka yang kurang beruntung dalam perebutan harta di dunia, maka kerja sama adalah satu-satunya jalan untuk bertahan. Bahu-membahu, gotong-royong untuk menyelesaikan kegiatan dan permasalahan.

Nah, rewang adalah wujud paling ideal untuk mencontohkan kearifan sosial dalam sebuah masyarakat. Kaya-miskin, priayi-santri, pejabat-warga, bahu membahu melancarkan sebuah hajatan dengan semangat kekeluargaan. Meski, sayangnya, semakin ke sini rewang seperti event organizer yang sedang menuju kebangkrutan. Semakin ditinggalkan.

Semoga rewang akan terus mentradisi, membudaya, mengakar dalam kehidupan. Utamanya bagi manusia yang hidup di pedesaan. Karena, jika kita tidak bisa mengandalkan kekuatan modal, maka harapan kita adalah mengandalkan kekuatan kerja-sama dan kearifan sosial.

Artikel Baru

Artikel Terkait