Negativitas Media Sosial

Kapan pertama kali kita mengenal internet?
Seberapa besar ketergantungan kita pada internet, khususnya “social media”?

Bagaimana tanggapan Anda tentang orang-orang yang, dengan mudah, tertipu oleh seseorang hanya sebatas mereka kenal lewat social media?

Pernahkah Anda menemui hal-hal tidak pantas, bukan prioritas, atau sekadar tidak menarik, yang sering diobral oleh pengguna jejaring sosial? Pernahkan Anda bertanya-tanya, kira-kira apa motifnya? Bagaimana tanggapan jujur kita untuk kegiatan spiritual yang semestinya bersifat personal dan sakral tetapi malah diobral di media sosial?

Atau, pernahkah kita terheran-heran melihat status Facebook yang tidak penting, bahkan tak memperhitungkan kaidah tata bahasa, namun status tersebut anehnya menuai ratusan jempol?

Tunggu dulu. Bisa jadi pertanyaan-pertanyaan di atas mengarah ke “Social Media Self-centered Existence Syndrome”. Istilah ini adalah nama bagi sindrom yang menjelaskan sebuah penyimpangan perilaku di mana seseorang ingin sekali mendapat perhatian dan pengakuan dari orang lain serta lingkungan sekitarnya. Semacam orang-orang obsesif yang begitu menikmati sensasi ketika eksistensinya diakui orang lain.

Tidak terlalu penting, apakah hal-hal yang membuatnya popular dan menjadi sorotan tersebut adalah hal-hal yang bersifat positif atau negatif; menguntungkan atau merugikan. Orang-orang yang terjangkit sindrom ini termasuk orang yang tidak keberatan mengorbankan skala prioritas dan waktu produktifnya, sekadar untuk melakukan kegiatan yang menunjang dan memenuhi obsesinya. Sindrom ini umumnya menjangkiti orang-orang yang krisis percaya diri dan narcissistic, Kesepian dan kemungkinan besar orang-orang ini termasuk yang baru mengenal jagat semu (dunia maya), khususnya media sosial Facebook dan semacamnya.

Orang-orang yang baru mengenal media sosial memang cenderung terobsesi dengan angka pertemanan yang besar. Akan lain dengan orang yang sudah aktif dalam media sosial sejak 10 tahun yang lalu, yakni ketika Friendster sedang booming misalnya. Mereka yang sudah lama mengenal eksistensi media social, akan lebih nyaman dan menyukai akun socmed yang eksklusif dan hanya terhubung dengan orang-orang yang mereka kenal saja. Nama-nama yang mereka gunakan juga kedengaran orisinil dan masuk akal. Bukan nama-nama aneh seperti “Aq Tuluz Mencintaimoe” atau “Dewi Yayangnya Doni” dan seterusnya.

Mereka ini, yang sudah aktif lebih dari 10 tahun, biasanya masih menempatkan skala prioritas, termasuk saat tengah berselancar di dunia maya. Mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan untuk berteman dengan orang baru, apalagi orang asing, yang dijadikan sebagai bagian dari kode etik yang tidak mereka sepelekan. Adakah orang-orang asing itu penting untuk mengikuti-membaca-melihat setiap aktivitas yang mereka bagikan? Perlukah orang-orang yang tidak mereka kenal itu menjadi bagian dari dunia mereka?

Bandingkan dengan mereka yang baru mengenal media sosial. Mereka biasanya histeris dan cukup obsesif dengan angka pertemanan yang besar. Asal mengirim permintaan pertemanan, tidak peduli mereka mengenalnya atau hanya terpikat dengan profile picture yang dipajang pemiliknya. Well, masa bodoh. Mereka hanya membutuhkan nama-nama untuk memenuhi kuota pertemanannya. Kalau bisa, ya sampai tembus goceng. Bukankah biar eksis. Mereka juga termasuk kaum jempolers yang rajin menyukai status apa saja dan punya siapa saja, dengan harapan: mereka akan menyukai balik status-status mereka. Inilah umpan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) itu.

Kenapa saya menulis artikel bernada nyinyir seperti ini? Apakah saya iri dengan mereka yang selalu mendapat ratusan jempol di setiap status mereka?

Bukan. Ada banyak status yang memang layak dibaca dan diberondong jempol, dan ada pula status alay yang tidak penting tetapi jempolnya gopek.

Saya menulis artikel ini karena pengalaman pribadi. Awal-awal mengenal media sosial dulu, saya juga terjangkit sindrom ini. Dalam sehari, saya bisa mengirim ratusan permintaan pertemanan, dan target saya kebanyakan para bule. Yang benar saja, bule mana yang mau berteman dengan sembarang orang?

Atas tindakan saya ini, saya berkali-kali diblokir oleh Facebook hingga tidak bisa mengirim permintaan pertemanan selama satu bulan.

Ya ya ya… Keberadaan media sosial merupakan sebuah fenomena baru di zaman ini. Kita sebagai generasi yang turut merasakan kecanggihan perkembangan dunia digital dan komunikasi global, seyogyanya bisa membawa diri dan beretika yang baik dalam menggunakan. Ngomong-ngomong, tidak perlu mencari ulasan tentang Social Media Self-centered Existence Syndrome di Wikipedia. Barangkali memang tidak ada. Karena sindrom tersebut adalah istilah yang saya karang-karang sendiri. Ini tentu saja adalah sebuah opini pribadi.

Jangan gampang terkesima dengan pembawaan dan personal orang-orang yang baru kita kenal dalam dunia maya. Sebab, memang selalu ada orang-orang yang mampu me-manage akun jejaring sosialnya dengan baik dan cukup nyaman untuk tetap menunjukkan kepribadian yang sebenarnya. Tetapi tak sedikit pula orang-orang yang menggunakan jejaring sosial sebagai tempat pelarian, bersenang-senang, bermain-main (bermain apa saja) dan njarag.

Mereka ini sebetulnya adalah kumpulan orang yang hidupnya hampa dan kesepian, dengan menampilkan kepribadian berbeda dengan yang ia tunjukkan di dunia nyata. Hal ini mereka lakukan semata-mata untuk memperoleh perhatian dan pengakuan dari orang lain. Sebuah perlakuan yang, mereka belum tentu dapat dalam dunia nyata.

Mereka yang dewasa dalam pemikiran akan tetap memanfaatkan waktu sebaik-baiknya agar tetap produktif dan seimbang. Ada waktu untuk hidup bersosial di dunia nyata dan ada jeda untuk asyik berselancar di alam virtual. Tidak berlebihan, tidak kecanduan, tidak labil, tidak menipu diri sendiri juga tidak menipu mereka yang mengenalnya.

Artikel Baru

Artikel Terkait