Akhir-akhir ini ada pemandangan cukup mengenaskan di news feed Facebook saya, yakni berseliwerannya banyak video “bullying” (both mental and physical harassment) oleh dan terhadap siswi sekolah menengah. Saya tidak habis pikir akan apa yang telah bocah-bocah bau kencur itu perbuat terhadap sesamanya. Parahnya lagi adegan kekerasan ini sengaja direkam oleh siswa/siswi lain yang berada di TKP. Bukannya berinisiatif melerai penganiayaan dan menyelamatkan korban—yang sama sekali bukan pertikaian karena tidak ada perlawanan dari pihak korban—mereka malah asyik menjadi juru kamera amatir dan penonton bernalar kenthir.
Saya kira perangai bocah-bocah plempoken sinetron kejar tayang itu adalah buah dari krisis identitas yang mendera di sepanjang masa pubernya. Mereka bisa dibilang sangat haus akan perhatian dan keranjingan pengakuan. Terobsesi nyemplung dan hidup di kancah persinetronan, barangkali maunya didapuk sebagai pelakon tokoh antagonis. Bagi mereka, berani mendiskriminasi kawan dan trengginas menindasnya merupakan sebuah aksi jempolan yang mengukuhkan sebagai laskar ABG superior, jagonya menebar teror.
Apa itu bully? Dalam KBBI, bullying disebut perundungan. Berdasar penelusuran kilat saya via kamus Oxford lapuk yang ditulis oleh A.S Hornby (kamus tua ini kepunyaan laopan. Beruntungnya, saya diizinkan untuk membacanya), kata bully (n) diartikan sebagai person who uses his strength or power to frighten or hurt those who are weaker (sesorang yang menggunakan kekuatannya untuk menakut-nakuti atau melukai mereka yang lebih lemah). Definisi singkat tersebut bisa dijabarkan lebih luas tatkala merunut secara khusus dan mendalam, pada satu demi satu kasus bullying dengan modus, motif dan karakter yang beragam. Pengertian umumnya, bullying merupakan suatu perilaku agresif yang dengan sengaja, sadar dan teroganisir dilancarkan oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap orang lain (korban) untuk menyerang, menimbulkan luka batin/fisik atau keduanya dan trauma yang dalam, mengoyak aspek psikologisnya. Menciptakan teror mencekam dan membunuh eksistensi si korban di lingkungannya.
Kalau dalam bahasa sosiolog Howard Becker, bullying barangkali mirip labelling theory: semacam lahirnya julukan-julukan tidak senonoh yang disematkan oleh seseorang atau suatu lingkungan terhadap suatu pribadi secara berulang-ulang, massif dan terus menerus. Hal ini menjadi semacam doa khusyuk atau nubuat yang dipanjatkan berjamaah hingga menghasilkan sugesti yang kuat sebagai wujud dari tergenapinya nubuat. Contohnya, Robby adalah lelaki tulen. Tetapi perawakan dan tabiatnya yang lemah lembut, kalem dan gemar bersolek membuat lingkungannya menjulukinya “bencong”. Hal ini sudah berlangsung lama, Robby yang awalnya tak bermaksud sejauh itu seakan terperangkap dalam raga yang salah dan tidak punya pilihan untuk tampil layaknya pejantan, karena ia terlanjur dikenal sebagai Robby “bencong”.
Pada beberapa kasus, dampak psikologis pasca bullying cederung mengendap di alam bawah sadar korban, terus menghantui dan menimbulkan kecemasan berkepanjangan. Adalah sangat mungkin bagi mereka yang tinggal berdampingan dengan seorang korban bullying—yang nota bene tidak ikut-ikutan mem-bully—misal ibu-bapaknya, justru beresiko menjadi korban pelampiasan amarah yang terpendam dari si korban bullying. Si korban yang penat dan depresi karena tekanan mental kebanyakan menjadi minder, rendah diri, introvert, kasar, temperament, sulit mempercayai siapapun dan bersikap anti sosial. Sebaliknya, ia bisa berubah garang menyerang orang-orang di sekitarnya. Perlakuan ngawur dan tidak adil ini ia limpahkan kepada orang lain sebagai wujud protes dan pemberontakannya atas bullying yang ia terima selama ini, namun ia kehilangan daya, keyakinan dan hak untuk membela diri untuk menyudahi. Dan mirisnya, kita sering mendengar pemberitaan seputar tragedi bunuh diri yang dilakukan oleh korban bullying, bukan?
Meski begitu, tak sedikit pula korban bullying yang berhasil melewati fase kritis ini dengan baik dan di masa depannya mereka sukses menjadi orang-orang besar dengan jiwa kemanusiaan yang tinggi. Sebut saja Thomas Alfa Edison atau si Afro-America, Oprah Winfrey. Sebelum meraka berdua menjelma tokoh di mata dunia, siapa yang menyangka bahwa dulunya Edison sempat dicap bodoh oleh gurunya bahkan ia dikeluarkan dari sekolah? Dan Oprah Winfrey tak diragukan lagi ketegaran dan kekuatannya dalam meloloskan diri dari kegetiran masa lalu. Ia pernah diperkosa saat masih berusia 9 tahun, pernah hamil dan melahirkan bayi laki-laki pada usia 14 tahun, dan dua minggu setelahnya kehilangan jabang bayinya. Well, no doubt, mereka adalah sosok inspiratif dan penakluk dunia. Semoga kita bisa meneladani ketegaran dan kebesaran hati kedua tokoh dunia ini ya, gaes.
Saya mengerti bagaimana menderitanya di-bully karena saya pernah menjadi bulan-bulanan orang-orang di sekitar saya, baik itu oleh tetangga, teman sekolah, maupun oleh anggota keluarga. Saya menyadari bahwa saya sedang di-bully begitu saya merasakan adanya perbedaan perlakuan, intimidasi dan diskriminasi, pelecehan, penghinaan dan kata-kata tidak pantas dialamatkan kepada saya.
Di lingkungan sekolah misalnya, saya yang seorang remaja kuper, kumal dan culun, berasal dari desa dan memaksakan diri bersekolah di salah satu SMA favorit di Trenggalek. Terang saja hal ini memantik reaksi sentimentil teman-teman sekelas saya. Mereka jelas tidak sepi ide tidak kurang bahan untuk memperolok keberadaan saya yang paling mencolok di antara kerupawanan mereka.
Teman sebangku saya langganan dipanggil “anak ninja Tohari” lantaran bapaknya bernama Tohari dan ninja Tohari tak lain tak bukan plesetan nama tokoh kartun Jepang, ninja Hatori. Plesetan nama ini kedengarannya jenaka meski bagaimanapun nama orangtua kita tidaklah etis dijadikan obyek lelucon. Bejonya, anak ninja ini tidak pernah di-bully sehebat saya. Alhasil, saya yang tersisih lebih memilih mengasingkan diri ke perpustakaan, menjumpai tokoh-tokoh humanis yang manis-manis sembari membayangkan sosok mereka seraya membolak-balik lembar halaman buku.
Sementara di lingkungan keluarga besar saya, ada beberapa orang yang lebih pantas disebut sebagai monster atau mesin pembully ketimbang manusia berhati nurani. Merekalah sosok dingin dan tuna kasih sayang. Menggertak dan membentak seorang bocah di depan umum merupakan hal wajar sehingga saya tidak berani merekomendasikannya untuk membaur dalam dunia anak-anak bahkan manusia sebayanya sekalipun. Saya mengerti bagaimana menderitanya di-bully. Bullying berupa tindakan kekerasan fisik maupun ujaran kata-kata kasar itu sama-sama menyakitkannya. Terlebih menyakitkan lagi jika perlakuan tidak manusiawi ini malah dilakukan oleh orang-orang terdekat atau anggota keluarga yang semestinya melindungi kita, menjamin pengayoman dan menberi rasa aman, bukannya malah tega sekali mendorong kita ke dalam jurang trauma.
Hanya karena beberapa orang begitu datar dalam menanggapi isu bullying dengan melempar kata-kata bernada guyonan dan terkesan melecehkan tindakan berikut si korban bullying itu sendiri; “ah biasa saja”, “malah dhemen”, “penak banget” dsb, lantas jangan saja mereka mencoba-coba mem-bully orang lain atau nahasnya justru menjadi korban bullying sungguhan tanpa mereka perhitungkan sebelumnya. Bullying merupakan kekejaman nyata yang langsung menghujam jiwa siapa saja yang berhasil dimangsa. Sudah semestinya ini menjadi perhatian bersama dan ada usaha serius untuk memberantasnya. Marilah berlaku bijak dengan tidak memandang remeh tindakan dan dampak yang ditimbulkannya. Kita tidak mau menjadi tumbal untuk ego dan kegilaan si pemilik jiwa psikopat di sekitar kita, bukan? Dan, kita tidak mungkin bersedia menanggung beban mental si korban yang kita tindas secara membabibuta itu, bukan?
Ingat, kadar daya tahan dan kekebalan mental antara kita dan orang lain bisa jadi tidak sama. Kita baru akan mengerti bagaimana sulitnya move on, bagaimana canggungnya membangun percaya diri, bagaimana sakitnya mengampuni dan melupakan ketika kita sendiri berada pada posisi korban bullying. Namun demikian, bagi si korban, rasa plong, ringan, hidup damai dan lega baru akan dimiliki begitu ia bersedia melepaskan pengampunan bagi mereka yang melukainya dan mengalahkan dendam yang semakin dalam menyiksa diri sendiri. Dan bagi mesin-mesin pembully itu, hendaknya mereka menyadari perbuatannya, mengaku salah, dan mau meminta maaf dengan sadar dan terbuka, juga diikuti perubahan attitude yang lebih baik. Tidakkah melelahkan jika seumur hidup tetap menjadi psikopat?
Saya sebetulnya termasuk perempuan muda yang mulai terjangkiti tanda-tanda kepikunan akut alias dhangglingan atau selebor. Saya sering lupa akan banyak hal, dari hal sepele sampai hal penting. Saya lupa di mana telah menaruh tali rambut lalu mencarinya ke mana-mana. Selang beberapa saat kemudian secara tidak sengaja saya mendapatinya menali di lengan saya. Pokoknya ada banyak hal yang detilnya terluput dari ingatan. Namun anehnya saya tidak pernah bisa melupakan wajah-wajah yang pernah mem-bully saya sebagaimana saya tidak pernah bisa melupakan wajah-wajah yang mengasihi dan menginspirasi saya.
Teruntuk para pembully, renungkanlah perbuatanmu. Bersyukurlah untuk hati nuranimu yang belum mati. Tidak ada predikat hebat bagi manusia pelaknat sesamanya. Sebaliknya, malahan tindakan ini amat menyedihkan. Hari ini ambilah kesempatan untuk menjadi pribadi yang welas asih dan bijaksana sebagaimana dulu kalian tak mengenal ragu dan wagu tentang niat untuk mem-bully sesamamu. Untuk para korban bullying, bangkit dan percayalah bahwa apa yang mereka perbuat terhadapmu tidak akan pernah mampu membunuh eksistensimu. It can never be the end of your world.
Saat kau diperlakukan tidak adil, beranilah melawan. Itu hakmu. Laporkan kepada orangtuamu, jika perlu pihak berwajib (guru, polisi), jangan mendiamkan dan terus-terusan memaklumi perlakuan tidak mengenakkan yang yang dilancarkan orang lain terhadapmu. Yang telah merdeka dan melalui masa-masa perundungan, katakan ini “Here I am. Yes, I was bullied. I didn’t end my life by commiting a suicide. And now you see, I don’t lose my hope ‘cause I’ve been trained to be a good survivor.“