Perempuan Nelayan dan Ekonomi Pesisir

Ketika musim ikan tiba, kawasan Prigi dan sekitarnya sering disesaki ribuan orang. Transaksi ikan terjadi dengan melibatkan banyak orang. Nelayan yang bertransaksi bukan hanya orang lokal (terutama dari Desa Tasikmadu, Prigi, Margomulyo), melainkan juga dari luar kecamatan dan bahkan dari luar kabupaten. Pedagang juga akan datang dari berbagai daerah.  Pantai Prigi sering berombak besar dan berangin kencang. Situasi laut begini tentu berpengaruh pada pendapatan masyarakat yang bermata pencaharian pokok sebagai nelayan, terutama yang bukan nelayan kategori bos. Saat ombak besar mereka cenderung tidak melaut, karena hanya bermodal perahu-perahu kecil.

Dalam sebuah buku, Mubyarto (1984: hlm. 137), pernah menguraikan bahwa nelayan, khususnya nelayan kecil dan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin jika dibanding dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian. Gambaran umum yang pertama bisa kita lihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan keluarga nelayan sendiri. Di antaranya fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka.

Rumah-rumah yang sangat sederhana: berdinding anyaman bambu, berlantai tanah pasir, beratap daun rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional yang miskin. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai, biasanya akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara (ikan) atau pedagang ikan berskala besar, dan pemilik toko.

Dari fenomena kemiskinan penduduk sekitar pantai ini, sejumlah penduduk pesisir ini pun terdapat sebagian yang bekerja di luar negeri menjadi tenaga kerja untuk mengais rejeki di negeri orang. Mereka pergi meninggalkan keluarga. Dari berbagai informasi, motivasi awal mereka bekerja di luar negeri adalah untuk mengubah ekonomi keluarga, selain terdapat juga sebagian keinginan ingin tampil berlebihan serta tidak mau kalah dengan tetangga, ini dalam skala yang kecil.

Pekerjaan-pekerjaan di laut, seperti melakukan kegiatan penangkapan, umumnya menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini membutuhkan kemampuan fisik yang kuat, kecepatan bertindak lagi sanggup menanggung risiko tinggi. Dengan kemampuan fisik yang berbeda inilah, perempuan tak terlampau banyak berperan di laut. Kaum perempuan nelayan sekadar menangani pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti mengurus tanggung jawab domestik serta aktivitas ekonomi (dapur). Kaum perempuan memiliki cukup banyak waktu untuk menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan tersebut. Meski tak banyak berperan di lautan. Paling jauh terlihat ketika sedang berlangsung jaring tarik di pinggir pantai.

Perempuan pesisir sebetulnya adalah penguasa ekonomi (sirkulasi uang) di pesisir. Sebagian besar aktivitas perekonomian di kawasan pesisir sering melibatkan kaum perempuan. Dalam sistem pembagian kerja tersebut, kaum perempuan justru menempati peran strategis sebagai penguasa aktivitas ekonomi pesisir. Dampak dari sistem pembagian kerja ini kaum perempuan bisa mendominasi dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambil keputusan penting di rumah tangganya (dalam Kusnadi, 2001: 23-24). Dengan demikian, kaum perempuan—meski tak berperan besar di tengah lautan—bukan lantas berposisi sebagai ”suplemen”, melainkan malah bisa bersifat ”komplemen” dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya serta mengatur sirkulasi uang hasil (me)laut para suami mereka.

Persepsi masyarakat nelayan terhadap perempuan yang bekerja di sektor publik sendiri terbagi menjadi tiga, dengan mengutip Kusnadi dkk., dalam bukunya Perempuan Pesisir (2006), yaitu: persepsi konservatif, moderat bersyarat, dan kontekstual dinamis. Jika persepsi ”konservatif” dan pandangan ”moderat bersyarat” dianut oleh sebagian kecil masyarakat nelayan, sebaliknya pandangan ”kontekstual-dinamis” dianut oleh sebagian besar warga masyarakat nelayan. Persepsi kontekstual-dinamis ini lebih rasional dalam menilai perempuan pesisir yang bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi lokal. Persepsi ini sebenarnya memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan publik tanpa mengorbankan tanggung jawab domestiknya.

Dalam rumah tangga nelayan miskin, kaum perempuan yaitu isteri nelayan, bisa mengambil peran yang strategis untuk menjaga keutuhan rumah tangganya. Modernisasi perikanan yang bisa berdampak serius terhadap proses pemiskinan itu misalnya, kata Kusnadi, telah menempatkan kaum perempuan sebagai penanggung jawab utama kelangsungan hidup rumah tangga nelayan. Jika pemerintah menggagas program-program pemberdayaan untuk mengatasi kemiskinan keluarga nelayan ini, niscaya kaum perempuan dapat ditempatkan (atau mengambil tempat) sebagai subjek pemberdayaan sosial-ekonomi. Dengan demikian, upaya untuk mencapai tujuan pemberdayaan untuk perempuan dapat ditempuh secara tepat dan lebih efisien.

Meski begitu, melihat situasi sekarang kalau kaum laki-laki nelayan masih sering “njajan” lama-lama bisa membahayakan keutuhan rumah tangga. Lebih-lebih kalau kafe yang menawarkan “jajanan” yang masuk dalam kategori bisa menggangu keutuhan dan keharmoniasan rumah tangga kaum nelayan, makin bertebaran. Sebab, justru ketika kaum perempuan pesisir menjadi pengendali ekonomi dan uang keluarga, para suami mereka yang nelayan tidak bisa dengan leluasa njajan di warung remang-remang atau kafe, yang kemungkinan besar memang bisa mengambrukkan keharmonisan rumah tangga kaum nelayan yang telah mereka bangun.

Artikel Baru

Artikel Terkait