Nyurung Ethek dari Trenggalek

Mereka yang mulai bekerja dini hari (lepas tengah malam) kulakan sayur dan aneka kebutuhan dapur lalu menjualnya keliling kampung/perumahan biasa disebut ethek. Di daerah lain disebut mlija, entah apa lagi nama lainnya. Saya tidak punya data, berapa pe-ngethek di Trenggalek. Kalaupun jumlah mereka belum menyentuh angka 1.000 mestinya ada cara untuk membuatnya jadi 1.000 atau lebih. Mengapa mesti seribu atau lebih? Untuk kepentingan ’kampanye’, kita akan sangat berkepentingan dengan ’ribuan’.

Saya punya seorang teman bernama Abdul Aziz, suatu hari ia mendatangi acara kecil saya di Desa Cakul, sekitar 2009 atau 2010. Saya lupa persisnya. Tetapi, saya kemudian terlibat diskusi panjang dengannya, melalui telepon, surel, pesan pendek, dan fasilitas komunikasi lainnya. Salah satu pokok pembicaraan kami paling berkesan adalah seputar per-ethek-an ini. Pada akhirnya, ia mempercayai saya untuk menyunting tulisan-tulisannya, lalu dibukukan dengan judul, atas saran saya: The Power of Sayur Mider (TPSM).

Buku TPSM menunjukkan kepada pembacanya bahwa ethek memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan sebagai salah satu pilar perekonomian-(e) wong cilik. Sambil setengah nglindur, mari berhitung, jika ada 1.000 orang peng-ethek di Trenggalek dengan omzet masing-masing antara Rp300.000 – Rp500.000, sudah berapa banyak uang beredar saban hari? Berapa rupiah pula jika dihitung per bulan?

Lupakan sejenak soal uang. Ingatlah, pasukan ethek adalah pasukan bergerak, selalu bergerak setiap hari, menyusuri jalan raya hingga gang-gang sempit di desa-desa. Karena itu, mereka juga berpotensi menjadi perekam suara rakyat paling canggih. Mereka juga punya potensi menyebarkan berita (kabar baik maupun kabar buruk), berpotensi menjadi media promosi/iklan bergerak, bahkan juga berpotensi menjalin kerja sama dengan perusahaan jasa titipan barang/surat/undangan hajatan, dan seterusnya. Salah satu syarat tambahannya adalah: mereka harus terorganisasi dengan baik dan berbadan hukum.

Anggaplah kita masih nglindur. Ketika 1.000 peng-ethek bersatu, mereka bisa mengatakan kepada sebuah agen penjualan motor, ”Kami minta layanan servis gratis, atau akan berganti pakai motor merek lain!” Posisi tawar lebih kuat pun berpeluang didapat dari perbankan untuk layanan KUR, misalnya. Pada akhirnya, dengan organisasi dan badaan hukum yang kuat, Ethek Trenggalek diharapkan bukan hanya menjual barang dagangan yang mereka bawa, melainkan juga menjual lahan/kavling iklan yang berada di sekujur tubuh (emblem/logo pada baju seragam dan pada kendaraan/motor) mereka.

Buku TPSM juga memberitahukan bahwa dengan membawa ponsel pintar atau tablet, pe-ngethek bisa pula menawarkan barang-barang yang tidak mereka bawa, dari kasur beserta spreinya, motor/mobil bekas, bahkan juga tanah kavling.

Yang lebih hebat lagi, ketika persatuan para pe-ngethek terjalin kokoh, mereka tidak akan perlu lagi bersibuk-sibuk ke ”pasar besar” yang ada di ibu kota kecamatan atau ibu kota kabupaten untuk kulakan setiap dinihari. Mereka bisa membuka pusat-pusat perkulakannya sendiri, dengan menyiapkan tempat/gudang. Lalu panggil pemasok barang, tawar-menawar harga, dan sebutkan jumlah pesanan.

Masih setengah nglindur, kita dapat memimpikan Pemerintah Kabupaten Trenggalek menyiapkan lahan yang cukup dan membangunkan gedung perkantoran untuk organisasi-organisasi ekonomi sektoral seperti Ethek Trengalek ini. Lalu, kita akan melihat pasukan ethek yang bersepatu, berseragam, rapi, dengan motor yang menarik, yang akan membuat iri para pe-ngethek dari kota/kabupaten lain. Ketika program penguatan bagi para pe-ngethek berhasil di Trenggalek, kelak dengan penuh percaya diri Bupati Trenggalek akan dapat menawarkannya untuk menjadi program provinsi, atau bahkan bisa jadi program nasional. Di situlah kelak, lakon Nyurung Ethek dari Trenggalek bisa dilihat sebagai kisah happy-ending.

Artikel Baru

Artikel Terkait