Seperti menyusuri dan memanjat Trenggalek dari berbagai penjuru dengan liku jalan dan ukuran tertentu keterjalannya, kekekaran gunung serta bukitnya, meski belum menemukan lokus atau simpul tepat, yang dengannya, rumusan diambil. Apalagi sematan puja-puji di kemudian hari dari kemegahan lampaunya. Begitu pula ihwal kota ini di masa kini. Kita berusaha mencari-cari celah berbeda dari keseluruhan yang tampak dan telah dianggap biasa. Meski kita tetap yakin, ini memang daerah yang teberkahi sedari dulu. Tapi ibarat mencari urat darah yang bersembunyi di kedalaman, kita terus harus mencari pokok-pokok dari keunikannya (jika ada) seperti apa. Sembari tak henti menyibak, betapapun tenaga sudah banyak terkuras, melalui usaha mengumpulkan serpihan-serpihannya.
Bagaimanapun Trenggalek tak akan bisa menemukan bentuknya sendiri, tanpa—secara telaten dan keuletan tertentu—kita definisikan. Justru, di masa kini, kitalah yang memang perlu berusaha terus membentuknya. Dengan berbagai rupa yang kita siapkan; dengan berbagai perspektif yang kita pikir laik. Membentuknya dengan bahan-bahan yang cukup adil tapi tidak berlebih. Tanpa polesan berlepot atau menggunakan bahan-bahan yang terlampau memaksakan kehendak kita sendiri. Kita bisa mencoba mencari kebijaksanaan yang bisa diterapkan di berbagai ranahnya, pada sekian aspek daerah atau kota yang nyaris tak teraba.
Apa sebetulnya definisi ”membangun” bagi para pemangku kebijakan (stake holder) daerah? Apakah mereka benar-benar punya sudut pandang yang tidak biasa atau pandangan yang umum saja. Pandangan umum, dalam arti, sekadar mengikuti garis instruksional dari pusat pemerintahan di Jakarta sana. Pembangunan, secara umum di negara kita, bagaimanpun—sejauh kegamangan akan definisinya, dan tentu masih bisa didiskusikan—senantiasa mengacu pada kemajuan yang tampak oleh mata dan bisa diraba. Itu jugalah konsep modernitas sendiri, yang selalu dan akan selalu gamang ditangkap pembaca dan penafsirnya, karena ia senantiasa dimaknai (juga direproduksi) sekadar perpanjangan lanskap pembangunan infrastruktur dan sejenisnya.
Modernitas itu, sebetulnya hanya ”cara pandang” dan kerangka yang dicetakkan oleh kebiasaan; oleh blue print tertentu. Dan sebetulnya, pada setiap tempat di seluruh lokasi di kolong langit, punya cara pandang sendiri-sendiri, dengan masing-masing zeitgeist-nya. Modenitas, sebetulnya adalah lokus atau strata paling puncak dari suatu ”cara pandang” tersebut. Kita boleh saja menggunakan cara pandang tradisi(onal), asal mengembangkannya secara maksimal. Untuk membuat bangunan struktur masyarakat kita menjadi modern. Maka, di sini, bila kita pakai ukuran dari acuan Barat untuk masyarakat kita yang tradisional, tentu tradisi kita adalah yang terbelakang—meski sebetulnya tak benar-benar terbelakang. Dan sebaliknya, kalau puncak tradisi itu yang kemudian digunakan, maka sudut pandang Barat sudah barang tentu menjadi (yang) terbelakang. Di sinilah modernisme sebetulnya menjadi ambigu dan mengandung dikotomi, yang barangkali jarang membersit dalam pikiran kita.
Lalu, sejauh mana kita memahami (pengertian) pembangunan? Dalam konteks Indonesia yang baru saja menjadi negara-bangsa modern saat itu, pembangunan di tangan rezim Orde Baru dipahami sebagai pembenahan infrastruktur di segala sektor, termasuk ihwal tertib administrasi yang kacau-balau pascaperang, dan mengacu pada kebijakan-kebijakan liberal. Gaya pembangunan yang seperti itu, terbawa hingga ke zaman kini, dengan acuan-acuan yang tentu sudah dibuat lebih terstruktur lagi. Tapi, pembangunan sejak Orde Baru adalah pembangunan yang—selain membangunkan kota dengan asitektur dan tertib jalannya—juga mencipta-lahirkan ”orang-orang positivis” di segala bidangnya. Saking terstrukturnya, sampai-sampai jangkauannya menjadi sebentuk belenggu yang justru menjebak para pengelola negara dan daerah, sekali lagi, ke situ-situ saja.
Negara yang membangun (developing country)—jika merujuk Daoed Joesoef (2014: 115)—sering semata-mata hanya bermakna pembangunan dari aspek-aspek teknologi. Sebuah masyarakat negara yang tak disentuh kemajuan teknologi—dengan segala manfaat dan mudharatnya—seberapapun kaya dan bagus tingkat kemajuan di bidang kebudayaan, sejarah, tradisi, kearifan lokal dst., ia akan terus didefinisikan sebagai negara terbelakang (underdeveloped country). Karena kategorinya sudah dicetak seperti itu. Lihatlah orientasi pembangunan kita yang sekadar berjalan ke arah perbaikan infrastruktur dan fokus ke teknologi dan berbagai variannya. Yang dalam kaca mata kita, bisa jadi, sebetulnya hanya pembangunan aspek-aspek luar, tak pernah membangun dan menyentuh isi/substansi. Lebih lagi kalau-kalau kelak pemerintah daerah seperti Trenggalek misalnya, akan lebih memperhatikan pembangunan mal, kerlap-kerlip lampu di pinggir jalan, membiasakan gebyar dengan even-even tertentu, yang hasilnya tak kita tahu menyentuh aspek kemanusiaan di bagian-bagian mana saja (?), dipastikan kebiasaan model begitu, adalah sedikit indikator yang mengacu pada model membangun ”aspek luar” yang dijangkitkan oleh negara-negara kapital.
Inilah pembangunan yang—kalau meminjam bahasa Daoed Joesoep—cuma me-resep dari buku teks ekonomi warisan ekonom-ekonom liberal negeri-negeri industri maju. Yang kalaupun ada perbedaannya, tak lebih sekadar ”aksen penerapan sektoralnya”. Alih-alih bisa mensejahterakan rakyat, jangan-jangan pembangunan gaya begitu itu, cuma akan menaikkan GNP (Gross National Product), atau kalau konteksnya daerah adalah kenaikan PAD. Sebuah gaya pembangunan yang mereduksi kompleksitas persoalan pembangunan sendiri dengan menyederhanakan dalam angka. Inilah karakter suatu pembangunan yang mengacu dan diukur dari pola-pola negara industrial yang sering mengutamakan ”gebyar”.
Membangun daerah itu tak semata membandingkan satu daerah dengan daerah lain. Atau mengambil lanskap lain sebagai inspirasi membangun, tetapi melupakan variabel/indikator mengapa suatu daerah dirancang dalam bentuk pembangunan tertentu. Karena kita tak perlu repot membangun daerah jika sekadar menganalogi daerah/wilayah negara lain, tanpa diikuti kebutuhan dasar dan kebutuhan sektoral yang sama. Kita harus membangun daerah secara seimbang dan proporsional, guna menjawab keinginan masyarakat. Kita mesti membangun sesuai dengan yang tengah dibutuhkan masyarakat kita sendiri.
Karena itulah, pembangunan daerah mesti dibekali riset dan preliminary study ”dari dalam”: berangkat dari pertanyaan apa sebetulnya yang mesti dibangun di Trenggalek, dari sudut pandang yang benar-benar dibutuhkan oleh (masyarakat) Trenggalek. Jika tanpa (bekal) pertanyaan seperti ini (dan sesering mungkin diajukan para pejabat daerah sendiri), jangan-jangan pemerintah kabupaten, termasuk bupati dan wabupnya, cuma membangun keinginannya sendiri. Bukan pembangunan yang dilandasi oleh pelaksanaan keinginan (dan cita-cita) masyarakat. Selanjutnya, terobosan-terobosan yang akan dibuat pun, saya kira perlu untuk tetap mengarah pada kebijakan yang punya lokus membangun ”dari dalam” sebagai landasan utama. Inilah yang dinamai–dalam istilah lain—membangun mental, bukan sekadar membangun di tingkat permukaan.
Misalnya di sektor pertanian/perhutanan. Bagaimana konsep hutan sekarang dan di masa lampau? Saya pernah ngobrol dengan Mas Bonari tentang tema ini, bahwa hutan di zaman dulu adalah hutan yang secara jumlah vegetasinya ditumbuhi dan punya beragam spesies yang bisa menciptakan kebaikan hutan: udara, air, tanah, tradisi yang tercipta, bahkan hingga suara-suara hewan yang turut beraneka. Dan segala hal yang mengandung kebaikan dari sana. Akan tetapi konsep hutan saat ini, dari aspek vegetasi cenderung daerah yang ditanami bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat; bukan berdasarkan kebutuhan hutan, tetapi kebutuhan pasar industi untuk mendatangkan income (PAD) pemerintah daerah. Maka, muncullah tanaman-tanaman hutan monokultur karena menggunakan paradigma ”developmentalisme”, yang cenderung memeras hutan untuk pasar industri (visi pembangunan mengarah pada penumpukan modal).
Begitu pula, sistem administrasi dan birokrasi kita memang dicetak oleh pola pikir (epistemologi) liberal, yang biasanya akan secara terus menurus memberi pintu bagi arah pengembangan untuk mengeksplorasi (sampai tahap ekspoitasi) sumber daya alam kita untuk—kalau meminjam bahasa Noam Chomsky—memenuhi fungsi utamanya sebagai tempat penyedia sumber bahan mentah bagi pasar masyarakat industri negara kapital(is) Barat. Paradigma menanam yang semata berorientasi untung-rugi, di dalam masyarakat kita, sebetulnya telah mengarah pada cara pandang kapitalistik dan liberalis.
Saya bisa tersenyum bahagia pada suatu ketika pernah mendengar adanya investor luar yang terheran-heran saat mendengar penuturan masyarakat petani ketela (gaplek), yang masih terus menanam ketela bukan karena tergiur keuntungan, melainkan karena menanam ketela adalah tradisi dan budaya. Tradisi (gaya menanam) yang kalau dihitung-hitung dari kacamata investor mengarah pada kerugian. Saya gembira ketika mendengar bahwa para petani kita tetap teguh untuk menanam ketela karena alasan tadi, meski dari mulut rakus investor bilang rugi. Pembangunan selama ini memang kerap untuk menjalankan projek tercatat, daripada mengeksekusi grand design dari pokok-pokok yang harusnya disentuh karena merupakan implementasi dari keinginan masyarakat. Ah, kok jauh-jauh kita berpikir ke situ, pembangunan dengan modal membayar janji-janji (selama masa kampanye) saja sulit ditunaikan, apalagi mau mengarahkan pembangunan seperti yang sedikit terdeskripsi di atas.