Gunung Kumbokarno terkenal angker, banyak hal mistik terselebung di sekitarnya. Hingga sekarang, belum ada yang berani menguak. Nenek moyang yang sedari dulu hidup di sekitar kawasan pesisir pantai banyak bertutur hal mistis kepada penduduk kampung. Sehingga cerita gunung yang tampak dari Prigi itu mendadak menjadi buah bibir, bahkan mencuat menjadi mitos, karena keangkerannya. Gunung ini letaknya di Pantai Cengkrong, Desa Karanggandu. Kabarnya, ketika ada orang yang hendak berburu ke hutan di lereng Gunung Kumbokarno, ia akan kembali lagi turun. Karena banyak menemui keanehan-keanehan di hutan tersebut.
Karena banyak kejadian yang tidak diinginkan, banyak pemburu binatang di gunung tersebut yang sekaligus juga penjelajah hutan, mengurungkan niat. Konon di masa lalu, hutan tersebut sering dibuat orang untuk bertapa. Menurut cerita, Kumbokarno adalah seorang tokoh pewayangan yang kepalanya tertanam di Gunung tersebut. Sedang badannya entah di mana keberadaannya?
Pada Bulan Selo, pantai Prigi akan menjadi lebih ramai. Karena para nelayan menggelar upacara tradisional Larung Sembonyo, yang merupakan upacara tahunan sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang melimpah.
Selain sebagai upacara syukur, penduduk lokal juga percaya bahwa ritual Larung Sembonyo ini diadakan sebagai bentuk peringatan pernikahan. Dalam sejarah disebut, Raden Tumenggung Yudha Negara, seorang kepala prajurit Kerajaan Mataram yang berhasil membawahi wilayah Prigi, dengan jaminan bersedia menikahi Putri Gambar Inten.
***
Setahun yang lalu, Jarno sudah mendaki ke Gunung Kumbokarno. Pada suatu kali saat berburu, ketika itu Jarno ditemani Sukirman. Misinya berhasil, walau di tengah hutan ia sering menjumpai berbagai hewan buas, yang hendak mengganggunya.
Jarno dan Sukirman sudah mengetahui betul cerita hutan Kumbokarno. Karena penduduk sekitar sudah umum bercerita dari mulut ke mulut, tentang gunung yang ada di Pantai Prigi.
Kali ini mereka ingin kembali berburu dengan beberapa teman di gunung tersebut, yang menyimpan hal mistis dalam sejarah sekitar pesisir selatan Trenggalek. Meski pesisir ini juga memiliki eksotisme tersendiri. Misalnya terlihat tempat rekreasi yang patut dikunjungi, karena di bawah Gunung Kumbokarno terdapat Gua Merah. Gua yang ada di dalam laut, satu-satunya yang ada di pesisir selatan pantai di Trenggalek.
Jarno, laki-laki tua yang usianya sekitar 40 tahun itu, biasa berburu hewan-hewan buas, seperti; babi hutan, ular, dll. Ia bertekad untuk melanjutkan jelajahnya yang dahulu belum dicapai.
Kali ini misi berburunya mendapat dukungan dari teman-temannya. Mereka menyusun rencana dengan sedemikian matang. Sebelum berburu, ia melakukan sebuah ritual, memohon supaya dimudahkan dalam berburu. Mereka mengumpulkan kembang tujuh rupa, kemenyan dan benda lainnya, kemudian diruwat ketika akan melakukan ritual.
Satu hari, sebelum berangkat berburu, mereka “bancakan”. Jarno bersama keempat temannya, berdoa supaya selama berburu dan di dalam hutan, tidak terjadi hal yang tak diinginkan. Ternyata, dalam ritual tersebut masih ada yang kurang, yakni bunga berwarna hijau. Karena sulit dicari, ia menggantinya dengan warna kuning semi hijau.
Sukirman menanyakan kepada Jarno soal keganjilan ritual tersebut.
“Kang, adakah yang ganjil dari ritual ini?” tanya Sukirman
“Seperti yang Sampeyan lihat sekarang! Kemarin aku mencari bunga yang warnanya hijau sulit dan tidak ketemu!” jawab Jarno
“Kang, apakah ini firasat buruk bagi kita?” tanya Anton, temannya yang lain.
“Entahlah, aku kemarin sudah berusaha mencari ke mana-mana, namun tak menemukan bunga yang warnanya hijau.”
Sambil mencari cara, mereka memeras otak untuk mencari kembang yang kurang tadi. Dan segera bertindak untuk berusaha mencari bunga yang warnanya hijau. Lima orang berpencar dan pergi ke pemukiman warga. Karena takut ada bencana yang menimpa sewaktu di hutan. Tetapi belum juga ketemu bunga yang dicari. Mereka pun tetap berusaha lantaran bunga yang menjadi syarat ritual tersebut belum juga ditemukan. Untuk mencari bunga itu, mereka sampai di pekarangan-pekarangan milik orang.
Ya, waktu tinggal beberapa jam saja untuk ritual. Alhasil, dengan tergopoh-gopoh mereka berlima kembali mencari kembang berwarna hijau, untuk dipakai ritual. Karena waktu yang digunakan ritual semakin mepet, kira-kira kurang dua jam. Tanpa sepengetahuan pemilik kebun, Sukirman pun mencabut bunga di salah satu pekarangan.
Padahal, dalam perjanjian tidak diperbolehkan mengambil milik orang lain. Namun Sukirman mengabaikan kesepakatan itu. Tanpa berpikir panjang Sukirman berjalan pulang ke tempat semula dengan membawa bunga berwarna hijau.
Kembalilah Sukirman ke tempat ritual. Sedangkan keempat temannya tadi, termasuk Jarno, belum juga kembali. Waktu pun semakin menunjukkan detik-detik yang sakral. Sukirman seperti kebakaran jenggot.
“Lantas, bagaimana ini waktu untuk ritual sudah akan tiba?” gumam Sukirman dalam hati.
Namun teman-temannya belum juga manampakkan batang hidung. Selang lima menit kemudian, mereka semua berlarian seperti dikejar setan di siang bolong. Dengan nafas tersendat-sendat, ritual dimulai dengan hening. Akan tetapi, Sukirman gelisah dan takut, akibat perbuatannya mengambil bunga yang didapat dari kebun orang.
Ritual pun dipimpin oleh Jarno dengan khidmat, dan membaca doa-doa dan mantra-mantra yang sakral. Setengah jam berlalu, ritual tersebut selesai dengan lancar. Mereka menyiapkan barang yang akan dibawa ke gunung, serta bekal untuk persediaan selama berburu.
Tapi Sukirman masih menyimpan rasa takut akan terjadi hal buruk. Karena orang-orang terdahulu mesti ada yang meninggal dan sakit, apabila perburuannya gagal. Ini terjadi, sebab kurangnya persiapan dalam ritual, maupun dalam perbekalan.
Setelah selesai ruwatan, mereka berlima berjalan kaki, menaiki jalan setapak di kaki gunung. Melewati lembah dan semak-semak belukar, terjal nan curam pula. Ditambah lagi hujan yang cukup lebat. Akibatnya, jalan menjadi licin dan sulit untuk dilalui.
Sukirman pun mempunyai firasat yang buruk dan akan terjadi marabahaya. Sebelum sampai tempat tujuan, mereka harus melalui medan yang memang lumayan sulit, nanjak pula. Karena perjalanan masih cukup jauh, ia memutuskan untuk istirahat dan berteduh sebentar di bawah pohon besar.
“Akan terjadi musibah besar memimpa kita!” kata Karni. (Ini tanda-tanda yang tak baik) gumamnya dalam benak.
Tanpa ada yang menjawab, rasa takut Sukirman semakin bertambah besar. Hingga dia punya keinginan untuk tidak melanjutkan perburuan dan mau kembali pulang saja. Karena situasi yang tidak memungkinkan untuk berburu. Jarno dan teman lainnya memutuskan masih tetap melanjutkan perburuannya. Selang setengah jam mereka berteduh, hujan pun sudah reda. Dan mereka melanjutkan untuk terus menelusuri jalan berlumpur dan licin pula. Sesekali mereka jatuh bangun dengan sendirinya, karena kondisi tanah sudah basah dan licin. Hingga tanah liat pun menempel di sepatu mereka. Ini membuat beban barang bawaan sedikit bertambah berat. Barangkali, itu adalah tanda-tanda hal buruk akan menghampiri.
Kemudian Sukirman minta untuk izin pulang. Ia tidak ingin melanjutkan masuk semakin ke dalam ke hutan. Terjadilah berdebatan di tengah hutan. Sukirman masih tetap dengan keputusannya, yang ingin tidak melanjutkan perjalanannya, dan ingin kembali pulang ke kampung, karena ia sudah mengetahui sejak awal, akan ada musibah yang terjadi. Ia pun memilih untuk kembali ke jalan yang ia lalui tadi. Tanpa memberi tahu teman-temannya, soal bunga yang dicuri tadi siang. Ia pun menyelonong saja, seakan tidak menanggung dosa dan masalah yang akan menimpanya juga teman-temannya.
Setelah terjadi perdebatan, hampir terjadi perkelahian di dalam hutan, dengan berat hati, Jarno mengiyakan Sukirman untuk tidak ikut dalam rombongan tersebut. Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditentang, meski proses panjang telah direntang. Baru selesai di tengah jalan, ternyata tidak bisa melanjutkannya. Dan tidak meneruskan perjalanan ke tempat yang biasanya hewan-hewan buruan tersebut bersembunyi. Dengan hati yang tidak karuan, Sukirman turun dengan berbekal nekad dan penerangan seadanya.
Sementara, perjalanan pun mereka teruskan berempat. Hal itu sama sekali bukan menjadi penghalang. Di tengah perjalanan mereka dikejutkan dengan ular yang cukup besar yang menyerangnya. Ular tersebut merasa terganggu dengan kedatangan keempat orang tersebut. Tanpa ada persiapan untuk mengelak, Anton terkena gigitan ular yang berbahaya, ular itu dikenal apabila terkena bias-nya akan mengalami kelumpuhan, padahal tadi ia tergigit hingga berdarah.
“Awaaaaaaasss!” teriak Hasan
“Brrrrkkk.” Suara pukulan.
Namun ular itu semakin ganas, dan semakin buas. Entah, entah dari mana Hasan mendapatkan kayu tersebut.
Mereka berempat punya firasat buruk dengan musibah yang menimpanya. Kemudian mereka melawan dengan alat seadanya. Ular pun menjauh dan meninggalkan bisa di kaki Anton. Walau begitu, mereka urungkan untuk melanjutkan perjalanannya. Mereka membantu Anton yang kakinya terus mengeluarkan darah dengan balutan kain yang disobek. Bibirnya juga pucat seperti kehabisan cairan.
“Sepertinya, ular tadi adalah ular siluman,” celetuk suara dari arah kiri.
Iya, pikiran tersebut terlintas begitu saja oleh Jarno.
“Bisa juga, Kang!” ujar Hasan.
Karena hutan Kumbo Karno dahulu, masih hutan lebat dan jarang orang yang masuk ke hutan ini.
Mereka berempat memutuskan untuk kembali pulang ke kampung waktu itu juga. Merah merona senja kelihatan dari langit jauh. Sang Surya sudah tak mau untuk menampakkan batang hidungnya. Hingga temaram senja sudah kelihatan sejengkal dari muka bumi. Seperti mengabarkan kabar duka yang sedang terjadi di tengah hutan itu.
Dengan alat seadanya, mereka berjalan pontang-panting. Kondisi tanah yang basah, dan licin sisa hujan tadi siang. Anton tertatih-tatih untuk berjalan dengan kondisi yang memprihatinkan dan bantuan tandu dari badan teman-temannya. Ia berjalan dengan penerangan kunang-kunang. Karena jalanan yang licin nan susah dan berlumpur. Ia semakin kesulitan untuk membantu Anton.
Dengan tenaga yang tersisa, Anton menguatkan diri sampai di rumahnya. Mereka pun menemukan jalan pintas yang mengarah ke kampung dan medannya yang lumayan mudah. Di tengah perjalanan sampai di kaki Gunung, mereka berpapasan dengan orang yang hendak pulang kampung. Orang itu baru saja selesai berkebun di kaki hutan, dan mengendarai motor tua. Mereka menghentikan orang tua yang menaiki motor yang hendak pulang ke perkampungan.
“Stop, stop, Pak, stop!” Teriak Jarno dengan nada meninggi.
Mengingat temannya yang semakin menurun kondisinya, ia memanggil orang tua tersebut.
“Ini ada apa, Pak? Kok wajahnya sudah pucat sekali dan sudah tak punya tenaga?” tanya orang yang mengendarai motor tua itu.
“Tadi waktu berburu di Gunung Kumbokarno, tergigit ular besar!” tutur Jarno.
Si pengendara motor tua itu semakin percepat laju motornya. Karena takut lelaki paruh baya itu tidak bisa ditolong lagi. Karena banyak kejadian di kampung, setelah tergigit ular berbisa, tidak bisa dikasih penawar. Sehingga korban langsung pingsan setelah tergigit beberapa menit kemudian. Sementara Sukirman tetap dengan masalah yang menghantuinya. Pikirannya terdoktrin dengan hal buruk, yang sedang menimpa teman-temannya. Setelah sampai di rumah, Anton, bertiga dengan temannya disambut isak tangis istri dan kedua anaknya. Air mata pun pecah tak bisa dibendung.
Sementara, Hasan dan kedua temannya jalan kaki dengan sangat cepat. Sehingga perjalanan pulangnya bagaikan dalam antrian BLSM. Sampai di rumah, Anton langsung dicarikan tabib untuk mengeluarkan bisa bekas gigitan ular. Setelah dijompa-jampi dan dibacakan amalan-amalan oleh tabib. Selang beberapa menit, Anton bisa siuman. Kemudian luka bekas luka tadi di-cecep (dihisap) untuk mengeluarkan bisa yang ada dalam tubuh. Kemudian baru ia bisa menyapa teman-temannya.
Dengan merasa bersalah Sukirman menyandarkan kepalanya di saka teras rumah Anton. Dan ia ingin bercerita kepada keempat temannya. Namun dia takut untuk membeberkan akar mula masalah yang terjadi.
Sukirman memangil keempat temannya dengan mata berlinang. Ketika sudah berkumpul, ia pun memulai bercerita. Untuk memulai mengawalinya pun kesulitan, dan berujar dengan terbata-bata.
“Ada apa, Kang?” tanya Jarno.
“Anu-anu eeee anu, ada hal yang ingin aku bicara kepada kalian semua, Kang” jawab Sukirman dengan nada seret.
“Memang ada apa, Kang, kok sepertinya serius sekali?” tambah Karni
“Eeee, ini ada hubungannya dengan kejadian sore tadi, Kang!” jawab Sukirman, mencoba untuk mengumpan kepada teman-temannya.
Tanpa ba-bi-bu. Jarno meninggikan suaranya.
“Iya Kang, ada apa?” sergap Jarno, Karni dan temannya yang lain bersamaan”.
“Tapi kalian semua harus memaafkan aku, ya!”
“Memangnya kenapa?” jawab Karni, dengan nada emosi.
“Tadi siang waktu kita mencari Bunga berwarna Hijau, aku ngambilnya dari kebun orang tanpa sepengetahuan pemiliknya.”
“Apaaaa, kang? Serentak mereka semua kaget, seperti kesambar petir di siang bolong.
“Iya, tadi siang aku mengambil bunga dari pekarangan orang tanpa izin pemiliknya, namun tidak bercerita pada kalian, takut waktu ritual gagal dan tidak tepat waktu” tambah Sukirman.
Dengan nada emosi dan hampir saja pukulan menghujat ke muka Sukirman. Namun ia bisa mengendalikannya, Jarno pun mengempuskan nafasnya yang sempat tersendat ketika mendengar cerita Sukirman.
“Kamu, kamu memang Eeidan, sekarang keadaan seperti ini! Tega sekali kamu, Kir! Aku tak bisa membayangkan, betapa mengenaskannya saudara kita itu” jawab Jarno dengan nada emosi.
Setelah memastikan kondisi Anton, mereka semua memutuskan kembali ke rumahnya masing-masing.
Hari demi hari kondisinya semakin membaik, setelah melewati masa kritisnya, Anton sudah mau beraktivitas kembali. Tujuh hari kemudian, semenjak beraktivitas dengan intensitas yang cukup berat, Dan mulai saat itu, kondisi Anton semakin memburuk. Karena ia mengira sudah tidak akan kambuh lagi. Namun apalah daya? Kondisinya semakin memprihatinkan.
Jarno dan teman lainnya, Setelah mendengar berita kondisi Anton semakin memburuk. Mereka berlarian ke rumah duka. Ternyata sampai di rumah Anton sudah terpasang bendera kuning. Bertanda ada seseorang yang meninggal dunia, dan kemudian sudah penuh orang yang takziyah dan turut berbela sungkawa.
Anton akhirnya meninggal dunia. Innalillahi wainnaillahi rajiun. Ia disemayamkan, disholatkan dan dikafani dsb, di rumah duka.
Mereka semua hening seketika. Setelah mendapat kabar bahwa sahabatnya telah tiada untuk selama-selamanya. Mereka perlahan-lahan termenung dan kembali berkumpul di rumah warga, yang sedang bertakziyah. Setelah semua selesai dengan aktivitas pengurusan, jenasahnya dikebumikan. Dan keluarga semoga tabah menerima cobaan yang mereka terima. Mungkin ini adalah hikmah untuk tetap selalu berbuat baik ketika keadaan menjepit dan terus terang dengan apa yang terjadi kepada kita.
Kini, semakin banyak aktivitas yang terjadi di kaki gunung tersebut, hingga akhirnya pada tahun 90-an itu sempat terjadi kebakaran di hutan tersebut. Ini menandakan ada kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk membuka lahan baru. Dan betul, hutan tersebut sekarang sudah di sulap menjadi lahan pertanian. Lambat laun, berita tersebut semakin hilang. Namun, Kumbokarno, selain keindahannya, juga tetap terkenal dengan mitos keangkerannya. Hingga saat ini, belum ada lagi cerita bahwa ada orang yang berani berburu di gunung tersebut.