Tradisi (N)jegurne Perahu

Perahu merupakan salah satu alat transportasi wajib bagi nelayan, sebagai sarana untuk berlayar mencari ikan. Laut Prigi adalah perairan yang membentang luas. Perahu menjadi satu-satunya tumpangan nelayan untuk mengais rezeki di laut.

Di kawasan perairan Pantai Prigi ada banyak perahu khas, sebut saja perahu Slerek atau Por sence dan perahu pancingan, dengan kedua ujung lancip. Perahu ini adalah kombinasi antara slerek dengan ukuran sedang—ujung lancip dan belakang tumpul. Jamak digunakan untuk memancing. Perahu slerek menjadi ciri khas bagi nelayan Trenggalek. Selain ikonik karena bentuknya, juga memiliki warna tiga lapis; dasaran, tengah dan atas. Inilah ciri khas itu.

Berbicara perahu, terdapat tradisi (n)jegurne perahu yang dilakukan oleh masyarakat Prigi. Pembuatan perahu jamaknya dilakukan nelayan di pancer atau lokasi dekat di bibir pantai. Karena, saat air laut naik, perahu mudah di-sosokan dan tak perlu banyak bantuan manusia. Hari Sabtu (04 Juni 2016), tetangga saya memiliki hajat (n)jegurne perahu. Saya masih ingat, pak Pur—pemilik perahu—pernah membuat perahu dua kali. Yang pertama, tempat pembuatannya di rumah—jelas rutenya lebih sulit. Kalau tidak salah pada tahun 2000-an. Dan, kali ini membuat lagi di dekat jalan raya, rutenya lebih mudah dari yang sebelumnya. Perahu ini dinamai “Hamdalah”. Sebuah ungkapan rasa syukur atas nikmat dan karunia Ilahi. Bisa dibayangkan betapa repot dan beratnya ngarak perahu yang panjangnya tujuh sampai sepuluh depa itu.

Penduduk desa melakukan gotong royong menyeret perahu yang baru jadi menuju pantai. Photo ini diambil oleh Mas Rokhim di daerah pantai prigi

(N)jegurne perahu ini menarik. Di mana, tradisi itu sebagian besar dibantuan tarikan tenaga manusia. Bagi orang dulu, tradisi ini lumrah karena nenek moyang kita memang terkenal sebagai pelaut“njekek”. Tradisi (n)jegurne perahu ini unik dan semakin langka. Tetapi, semakin ke sini, tradisi nyurung perahu menggunakan tenaga manusia mulai ditinggal dan lenyap bersamaan dengan hadirnya alat modern.

Saya pikir, tradisi (n)jegurne perahu ini patut dilestarikan. Sebab, akan ada suatu hal yang hilang dan tidak ada yang diwariskan kepada anak cucu kelak: metodologi njegurne perahu secara tradisional. Bila tradisi ini (atau apapun tradisi dan adat istiadat) benar-benar hilang ditelan modernitas, maka akan ada yang hilang pula dari identitas suatu masyarakat. Untuk itu, apapun tradisi yang telah diwariskan oleh orang terdahulu, wajib kita uri-uri.

Syahdan, sebelum awal prosesi tradisi (n)jegurne perahu ini dimulai, ada tradisi yang biasa dilakukan para khalayak, yakni kenduri. Di daerah saya terkenal dengan sebutan Slametan atau amen-amen. Berbeda dengan sadranan semboyo atau labuh laut, kenduren (n)jegurne perahu di sini tak terlalu sakral. Cukup memanggil kyai atau tukang kajat yang memimpin dan memanjatkan doa untuk kelancaran, keselamatan perahu atau kedaton dan nelayannya dalam mengarungi laut.

Kenduren atau Amen-Amen selesai. Artinya, persiapan ubo rampe perahu dimulai. Banyak masyarakat berdatangan. Ternyata roda untuk menjalankan perahu ini masih bergantian dengan tempat lain, yang kebetulan sama-sama (n)jegurne perahu.  Masyarakat pun bisa menikmati keluangannya dengan ngobrol atau jagongan ngalor-ngidul. Baru pukul sepuluh siang, roda itu pun datang, dan masyarakat yang didominasi oleh kaum adam itu pun benar-benar membantu: mulai dari meletakkan roda, kayu-kayu yang diperlukan, hingga persiapan ndebook (batang pisang) untuk mengganjal bawah badan perahu dengan roda yang terpasang. Persiapan kali ini lumayan cukup lama.

Di sela-sela menunggu persiapan roda, saya bertanya sanak saudara si empunya perahu, “Perahu ini dikerjakan lebih dari tujuh bulan. Karena terlalu lama ditinggal kerja pemiliknya. Pembuatan perahu slerek dengan ukuran perahu ‘pancingan’ini paling lama antara lima-enam bulan.” Ujar Pak Supar.

Lama memang! Proses pembuatan perahu dimulai dari sambung-menyambung; pelunakan kayu dengan cara pembakaran atau pemanasan agar kayu mudah dibentuk sesuai dengan yang diinginkan; dirakit dengan perpaduan paku, mur, baut dan untuk merekatkan susunan kayu di perahu. Begitu, sampai terbentuk kerangka perahu.

Dalam pembuatan perahu hal yang paling penting diperhatikan adalah pemilihan kayu. Kayu yang digunakan bukan sembarang kayu. Kayu yang sering dipakai adalah kayu laban, kayu jati dan beberapa kayu yang memang kuat—tahan dengan air, terutama air laut. Sebab, perahu yang digunakan harus kuat membendung terjangan gelombang, dan plarusan hingga bisa tahan bertahun-tahun. “Aku membuat perahu ini habis lebih dari 50 juta.” Lanjut Yuli Purwanto, pemilik kapal. “Pembuatan perahu pancing itu biasanya tidak mati sampai 50-75 juta. Karena kayu yang digunakan cukup banyak dan harganya juga cukup menguras kantong.” Pungkasnya dengan terkekeh.

Aktivitas meruwat perahu supaya mudah digerakkan dan diarak perlu waktu tidak singkat. Butuh tangan-tangan prigel, yang sudah malang melintang di dunia (per)perahu(an), dan orang banyak. Pembuatan perahu slerek maupun perahu pancingan memang tidak singkat. Membutuhkan ilmu perkayuan dan pertukangan yang spesialis di perkapalan. Mereka mendapat teknik dan ilmu yang tidak dari bangku sekolah, melainkan pelajaran dan pengetahuan dari nenek moyang yang mendermakan dirinya sebagai seorang pelaut.

Penduduk desa melakukan gotong royong menyeret perahu yang baru jadi menuju pantai. Photo ini diambil oleh Mas Rokhim di daerah pantai prigi

Kita mahfum, perahu beratnya tak terkira. Oleh karena itu, membutuhkan tangan dingin para pemuda, tetangga dan sanak famili. Mereka menyatukan satu persepsi satu komando. Satu angkatan, satu teriakan. Satu arahan, satu perintah, yang kiranya suaranya keras. Saat aba-aba:siji, loro, telu! Semua orang mengangkat dan menaruh lunas perahu di atas kayu yang ditumpuk.

Suara sorak riuh ramai nan rendah menemani aktivitas masyarakat. Di tengah sorotan sinar matahari yang semakin meninggi, menjadikan penyemangat dikompilasikan guyonan-celetukkan yang menghadirkan gelak tawa. Di sini, keutuhan, kecerian, kebahagian, rasa kekeluargaan dan anderbeni (rasa nduweni) tertanam dalam kebersamaan, guyub rukun jadi satu saling membantu.

Kembali ke persiapan perahu tadi. Persiapan sudah, roda sudah terpasang. Tinggal mendorong atau ditarik. Perahu mulai diarah-arahkan. Digerak-gerakkan hingga benar-benar menghadap di jalan, prosesi inilah yang ditunggu-tunggu. Kami mengarak, dengan tarikan manusia. Masyarakat sekitar banyak yang menyaksikan tradisi ini. Saya kira, masyarakat sudah mulai haus dengan tradisi yang dulu sering dilakukan. Sementara pengguna jalan, baik roda dua maupun roda empat, diminta untuk berhenti menepi. Bukan perkara untuk menghormati seperti orang meninggal. Tetapi besar kemungkinan lebar perahu dan arak-arakan masyarakat telah memenuhi lebar hingga di bahu jalan.

Oh iya, hampir ada yang lupa. Ada beberapa sesaji yang ditaruh di atas perahu dan diwadahi gerabah. Di sana ada kembang beberapa jenis, kain jarik, telur, pisang matang saktundun, dan tebu hitam. Entah apa maksudnya, yang jelas, pisang yag ditaruh di atas perahu belum berangkat saja sudah mulai ludes dimakan. Begitu pun tebu hitam, bagi sebagian orang, tebu itu serupa es soda gembira yang menggoda di tengah terik matahari dan serbuan rasa dahaga. Srruuuupuuut! Segeeerr…!

Waktu telah mendengarkan Adzan Dhuhur. Biasanya pelepasan perahu dilakukan pesisir atau peden. Tetapi kemarin, penjeburan perahu ini di Pantai Cengkrong, yang jaraknya lumayan jauh. Akhirnya, penarik perahu pun diganti oleh mobil pick up. Dan orang-orang ganti menaiki punggung perahu hingga sampai pancer Pantai Cengkrong bawah jembatan “Suramadu”nya Watulimo, hahaha. Dan, proses (n)jegurne perahu pun tak terlalu sulit, karena tanah bercampur pasir padat ketika air belum pasang. Dus, prosesi (n)jegurne perahu tradisional selesai. Tinggal kita yang tak akan selesai: karena punya tanggungan-tanggungan untuk melestarikan berbagai warisan nenek moyang kita.

Artikel Baru

Artikel Terkait