Climate Change dan Pembangunan Daerah

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
(Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono)

Sajak Sapardi di atas ditulis tahun 1994 ketika musim hujan masih teratur pada titi mangsa yang sudah lama berjalan, yang hampir-hampir diyakini sepenuhnya tidak berubah, antara bulan November sampai Maret. Bulan berikutnya masyarakat bersiap untuk menghadapi kemarau di sebagian besar wilayah di Indonesia. Di tengah musim kemarau hujan di bulan Juni memberi semacam oase, kejutan yang menyenangkan bagi sebagian besar orang. Mungkin ada yang dirugikan juga, seperti petani tembakau misalnya, menderita kerugian karena kerusakan tanamannya terkena hujan. Hujan yang tidak pada jadwal titi mangsa sering disebut “udan salah mongso.”

Namun, di awal Juni 2016, dan beberapa tahun belakangan ini, hujan sudah sepenuhnya “salah mangsa” karena hujan deras justru muncul di bulan Juni ini sebagai akibat dari  El Nino dan El Nina .Negara yang banyak tergantung dengan pertanian dan perikanan seperti Indonesia sangat terpengaruh oleh El Nino dan La Nina. Istilah “El Niño” dalam bahasa Spanyol berarti “anak laki-laki” merujuk nama Yesus ketika kecil. Nama ini disematkan pada fenomena alam, memanasnya suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik di bulan Natal. El Nino ini awalnya muncul setiap tiga atau lima tahun sekali dan berpengaruh pada  kondisi iklim global. Ketika El Nino melintasi ekuator, maka akan mengakibatkan badai dan hujan lebat di beberapa wilayah dan kekeringan di wilayah yang lain. Setelah beberapa bulan, maka akan muncul gelombang dingin pada suhu air samudera Pasifik yang juga  mengakibatkan kekacauan cuaca yang disebut El Nina (Giddens, 2009: 27).

Kita menyaksikan hujan deras di bulan Juni yang berakibat banjir  pada beberapa wilayah di Indonesia: Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Meskipun muncul 25 titik panas terpantau BMKG di Sumatera-Riau sebagai penyumbang terbanyak (Okezone, 10 Mei 2016) namun berpotensi curah hujan tinggi. Di Kuala Lumpur, Malaysia, mengakibatkan berbagai kerusakan. Di Cina, El Nino mengakibatkan banjir yang melanda wilayah dengan ratusan ribu penduduk. Di Texas, Amerika Serikat, hujan badai awal Juni ini mengakibatkan banjir yang menewaskan 16 orang dan ratusan dievakuasi. Di Eropa, hujan deras mengakibatkan banjir bandang di Jerman-Bavaria dan Baden-Wurttenberg, menewaskan 11 orang dan lebih dari 50 orang luka-luka (The Sunday Times, 6 Juni 2016, A20-25). Kota Paris diguyur hujan deras, sehingga sungai Seine meluap setinggi 6.10 meter, 3 Juni 2016, mengakibatkan empat orang tewas dan ratusan mengungsi. Inilah banjir terburuk dalam 34 tahun terakhir. Tahun 1982, Sungai Seine meluap setinggi 6.18 meter. Museum Louvre, Museum Orsay, The Grand Palace, The Discovery Palace serta Perpustakaan Nasional yang berada di dekat sungai Seine tidak luput dari terjangan banjir sehingga banyak koleksi berharga museum-museum tersebut harus diungsikan ke tempat yang aman.

Di Kabupaten Pekalongan dan Cilacap, Jateng, lebih dari 1000-an warga masih mengungsi karena rumah mereka terendam rob atau banjir akibat gelombang besar setinggi 4-6 meter di pesisir selatan Jateng (Kompas 11 Juni 2016). Banjir juga merendam tiga desa di Muncar, Banyuwangi, karena hujan deras lebih dari enam jam dan meluapnya aliran Sungai Wagud. Banjir rob di wilayah Blitar, Prigi dan Tulungagung (Jawa pos, 9 Juni dan 12 Juni 2016) berdampak pada kerusakan tempat tinggal, kapal, maupun infrastruktur jalan.

Yang terkini, banjir dan longsor di 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah mengakibatkan lebih dari 40 orang tewas 25 orang dinyatakan hilang  dan ratusan rumah rusak. Kabupaten/Kota tersebut adalah Purworejo, Banjarnegara, Kendal, Sragen, Purbalingga, Banyumas, Sukoharjo, Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Klaten, Magelang, Wonogiri, Cilacap, Karanganyar dan kota Solo.

Perubahan iklim berdampak pada kerusakan lingkungan dan eksistensi manusia.Tahun 2007, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengidentifikasi bahwa gas rumah kaca terutama karbon dioksida  sebagaipenyebab utama.  Menurut perhitungan –dengan 90 % probabilitasnya—pemanasan global merupakan akibat dari aktivitas manusia yang melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer. Aktivitas ini berasal dari konsumsi bahan bakar fosil yang digunakan oleh industri dan transportasi, perubahan penggunaan lahan, dan pengolahan lahan pertanian. Akibatnya, kenaikan suhu 4 derajat Celsius per tahun dan peningkatan permukaan air laut sebesar 48 sentimeter. IPCC dan Komisi Eropa menetapkan kebijakan kontrol emisi karbon dengan tujuan membatasi kenaikan suhu agar tidak lebih dari 2 derajat Celcius per tahun, yang oleh banyak kalangan dianggap tidak mungkin (Giddens, 2009:21-22).

Desember 2015, Indonesia menghadiri Konferensi Perubahan Iklim ke-21 di Paris, Perancis. Konferensi ini menyepakati penurunan emisi karbon, dengan target total 55 negara meratifikasi dan mencapai 55% dari total emisi global. Tahun ini Indonesia menyiapkan ratifikasi kesepakatan Paris yang ditandatangani di New York AS, April 2016 (Kompas, 11 Juni 2016). Robert Glasser, Utusan Khusus PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana menyatakan ada lebih dari 160 negara akan meratifikasi Kesepakatan Paris (unic-jakarta.org, 22-04-2016). Banyaknya negara yang meratifikasi kesepakatan ini menunjukkan kesungguhan untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dan pemanasan global.

Pada tataran lokal, dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah. Bencana alam seperti longsor, banjir dan badai, harus siap ditangani. Namun yang tidak kalah penting adalah membuat perencanaan pembangunan yang peka terhadap dampak dari perubahan iklim. Bencana alam tidak hanya cukup direspon setelah bencana terjadi. Otonomi daerah seharusnya tidak menjadikan pemerintah daerah cuek dengan persoalan perubahan iklim dan pemanasan global. Pemerintah daerah harus literate  dengan menjadikan green movement sebagai pendekatan dan strategi pembangunan. Sehingga, penurunan emisi karbon yang diakibatkan oleh penggunaan bahan bakar fosil untuk industri dan transportasi, serta  perubahan penggunaan lahan, semestinya diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.

Peran kepemimpinan daerah merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.  Yakni,  pembangunan yang mengintegrasikan gagasan untuk menghemat energi dan sekaligus mengembangkan energi alternatif terbarukan, mengurangi jejak karbon dan meningkatkan investasi untuk pembangunan berkelanjutan.

Artikel Baru

Artikel Terkait