Trenggalek, Nama dan Stigma

Mendengar kata Trenggalek niscaya muncul di benak kita sebuah imajinasi tentang kota kecil, suasana sepi, terpelihara dari kejumudan hingar-bingar perkotaan. Bila dibanding dengan kabupaten sebelah, tata kota Trenggalek agak berbeda. Secara geografis, wilayah Trenggalek identik dengan pegunungan dan suasana pedesaan yang dikitari sawah, dengan laut selatan menjadi pelengkap. Kontur tanah Trenggalek memang lebih merepresentasikan daerah ndesa daripada khuta.

Kabupaten Trenggalek tergolong daerah “tertinggal” di Jawa timur. Berbagai ketertinggalan itu antara lain: dari angka kemiskinan, hutan yang telah banyak digunduli, hingga kultur khas ndesa-nya membuat Trenggalek berbeda dengan daerah lain.

Dari sisi historis masa silamnya, Trenggalek dahulu pernah dicoret dalam peta. Begitu pula pada masa kolonial Belanda, Trenggalek pernah dihapus oleh pemerintahan Hindia Belanda dan beberapa wilayahnya digabungkan ke beberapa kabupaten tetangga. Mungkin karena daerah ini, secara ekonomi, kurang dapat memberi masukan pada pemerintah kolonial.

Nama Trenggalek, dianggap memiliki konotasi negatif dengan bermacam stigma. Mitos yang berkembang, kata Trenggalek merepresetasikan ke-ndesa-an, orangnya terbelakang, dan sangat udik. Misbahus Surur, yang lebih dari 3 tahun menulis naskah berkaitan dengan wilayah Trenggalek itu (belum terbit), pernah menulis sebuah artikel berjudul “Tiga Tokoh Hebat yang Mengubah Kota Trenggalek”, mengatakan bahwa nama Trenggalek berasosiasi terbelakang, stagnan di segala bidang, orang-orangnya bermental pecundang, gampang putus asa dll. Sebagian besar orang Trenggalek harus selalu siap menunggu dan menanggung stigma kurang enak. Trenggalek adalah daerah serba minus, yang dirasa cukup memilukan untuk diakui, demikian tulis Misbahus Surur dalam artikelnya.

Baru pada masa pemerintahan Bupati Soetran di tahun 1968-1970, Trenggalek mengalami “geger” tentang arti sebuah nama. Nama adalah doa dan pengharapan. Namun sebagaimana setiap doa dan pengharapan, tulis Puthut EA dalam Menanam Padi di Langit (2015: 36), ada yang bisa menjadi kenyataan, tetapi bisa juga tidak. Setiap pemberian nama, adalah sebuah rentetan kisah (hlm. 43).

Nama Trenggalek sedemikan runyam, membuat Bupati Soetran hendak mengubah Trenggalek menjadi Trenggalih. Nama Trenggalih diyakini memiliki tuah lebih baik daripada nama Trenggalek. Trenggalih memiliki arti Terang ing Galih (terang ing manah), Terang di hati. Bila dibanding dengan Trenggalek, Trenggalih memiliki penjabaran makna signifikan. Trenggalih, menerangi hati setiap penghuninya.

Soetran berdalih, sebagaimana saya kutip dari satu artikel Misbahus Surur, penggunaan nama Trenggalek beralasan membebani dan lebih bersifat negatif. Dengan alasan itu, wacana pengubahan nama Trenggalek menjadi Trenggalih, dipercaya menjadi tuah, yang mampu mendongkrak daerah Trenggalek lebih maju dan berkembang dari sebelumnya, terutama menjadikan seseorang yang berasal dari Kabupaten Trenggalek tak lagi minder dan kurang percaya diri. Namun apalah daya, pengubahan nama tersebut berat diterima pemerintah, demikian keterangan Misbahus Surur lebih jauh, karena berbagai persoalan, sehingga Trenggalek tetaplah Trenggalek, dengan segudang stigma di pundak masyarakatnya.

Melawan

Trenggalek merupakan salah satu kabupaten tertinggal di Jawa Timur. Selain, Trenggalek juga sering menerima perlakuan “deskriminatif” dari orang luar. Mereka menyebut orang-orangnya anggun (anak nggunung). Sebutan yang secara sekilas bagus tapi konotasinya buruk. Stigma yang tersemat kepada masyarakatnya yaitu ndesa dan nggunung serta sangat terbelakang.

Sebagai daerah minus, Trenggalek memiliki citra buruk di mata orang luar. Bahkan, Trenggalek dianggap terbelakang, tidak bisa berkembang dan berhenti dari upaya pembangunan. Stigma tersebut mengakibatkan krisis identitas: kekurang-percayaan diri masyarakat. Meski begitu, konon, Trenggalek menyimpan potensi sumber daya alam yang luar biasa.

Pernah dulu saya ditanya oleh seorang dosen, terkait asal usul daerah. Saya lebih percaya diri menyebut asal dari Prigi, Watulimo, tinimbang dari Trenggalek. Saat saya masih kuliah di Tulungagung, dosen saya, pernah mendakwa Trenggalek daerah ndesit (ndesa, se-ndesandesa-nya). Kata ndesit ini berkonotasi negatif tinimbang kata ndesa. Ndesit—menurut dosen tersebut—adalah kata yang hampir setara primitif, sangat pelosok dan tak ada kota-kotanya sama sekali. Hal ini jelas tak enak didengar apalagi dipertontonkan kepada orang lain. Akibatnya, secara tidak langsung mempengaruhi psikologis seseorang yang berada di kota atau kabupaten tetangga.

Setidaknya ada beberapa faktor untuk mengaplikasikan semangat melawan stigma yang menggurita itu. Tentu bukan dengan memiliki bupati dan wakil bupati muda, serta memiliki ibu bupati artis. Itu hanya beberapa persen saja. Yang pertama dan lebih signifikan adalah menjadikan beberapa sektor menjadi komoditas (keunggulan daerah); baik sektor pertanian, pariwisata, perikanan. Dengan mengeksplorasi—bukan mengeksploitasi—sektor tadi, Kabupaten Trenggalek akan bangkit, dan memiliki ciri khas dengan keberlimpahan sumber daya alam yang dikandungnya.

Kedua, melawan stigma bukan dengan melakukan pembangunan yang membombastis, tanpa mengindahkan keseimbangan alam. Tetapi, juga harus memperhatikan etika dan estetika dalam pembangunan di setiap kawasan. Kalau perlu harus riset lokasi secara komprehensif. Karena kita tahu, Trenggalek terlahir dari kesahajaan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, semangat modernitas mestinya tidak mengesampingkan kesahajaan, juga kebudayaan yang sudah terbentuk sedari dulu. Dan kita, patut untuk menguri-uri. Karena Trenggalek bisa berdikari dengan ciri khasnya sendiri, untuk membentengi stigma itu. Begitu.

Artikel Baru

Artikel Terkait