Lahir di Trenggalek adalah keniscayaan, bangga menyandang identitas Cah Nggalek adalah pilihan. Bukan dalam rangka ashabiyyah alias fanatisme golongan, namun kebanggaan akan identitas adalah bentuk upaya mendekatkan rasa-kasih dalam bingkai kekeluargaan. Saat identitas dijadikan landasan memperkuat tali silaturahmi, berjabat kasih dan bertukar gagasan untuk kemashlahatan, maka identitas tersebut dapat mengundang keberkahan.
Pasca terbentuknya “Trenggalek” sebagai sebuah identitas, yang secara “formal-kolonial” disahkan pada tahun 1830 (masuk dalam administrasi pemerintahan Hindia-Belanda), dan secara “formal-kemerdekaan” disahkan pada tahun 1950, Trenggalek sebagai sebuah identitas melanjutkan perjalanannya dalam melahirkan dan mendidik generasi penerus.
Zaman lalu berubah dan waktu juga berlalu dalam ruang dunia yang demikian luasnya. Tidak heran apabila kemudian, sepetak kabupaten ini tidak mencukupi ruang kepuasan sebagaian anak daerah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, edukasi, dan karir. Maka kemudian, hijrah dan merantau menjadi sebuah pilihan ideal yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
“Kota kecil”, memang menjadi landasan yang kuat untuk berdiaspora. Masih terbatasnya sarana dan prasarana Trenggalek dalam berbagai bidang, mulai pendidikan hingga pekerjaan, menguatkan kaki “anak-anaknya” untuk melangkah ke wilayah-wilayah lain untuk lunga. Menambang ilmu dan nafkah di tanah orang. Akhirnya, Trenggalek sebagai sebuah kerangka mulai mengalami pemisahan “tulang-belulangnya”; berdiaspora, Mencari lahan lain yang dirasa lebih menjanjikan kesejahteraan.
Maka kemudian, Belulang yang terpisah ini, penting kiranya untuk direkatkan kembali dalam sebuah bingkai yang mengasyikkan. Seperti yang pernah diujar Kang Bonari dalam artikel terdahulu, bahwa bertemunya “balung pisah” ini di tanah rantau, dapat menumbuhkan rasa senang dan suasana yang asyik meskipun belum pernah kenal sama sekali, sebatas paham bahwa mereka berasal dari kerangka yang sama: Trenggalek. Hal ini pernah penulis alami sendiri saat menjadi kaum urban di Tanah Depok, Jawa bagian barat. Saat itu penulis bekerja di sebuah digital printing, dan pada suatu hari ada seseorang yang mencetak sebuah banner. Saat hendak mencetak, penulis sempat terkejut karena desain banner tersebut adalah sebuah kegiatan yang akan diselenggarakan di Prigi. Ternyata bapak itu adalah sopir dari seorang pejabat perikanan Trenggalek. Katanya ada pertemuan di pusat, dan sebelum pulang mampir mencetak banner sekalian, karena di Tenggalek belum ada digital printing. Kejadian itu terjadi tahun 2008 silam.
Selanjutnya bisa Anda tebak. Kami kemudian terlibat dalam obrolan yang gayeng dan suasana yang mengasyikkan. Kami tidak kenal sama sekali sebelumnya, namun obrolan tentang tanah kelahiran seakan tidak ada habisnya meski berjam-jam dikisahkan ulang. Kami seperti keluarga yang telah terpisah jauh, dan akhirnya bertemu untuk bercengkrama bersama lagi.
Saya menjadi sadar, bahwa ternyata Trenggalek tidak sekadar nama sepi makna, namun dia sudah menjadi identitas yang pantas untuk disandang. Identitas yang dapat mempererat kekeluargaan. Nampaknya kesadaran ini dialami pula oleh para personil nggalek.co, yang menginspirasi sebuah agenda “ngumpulne balung pisah’’. Sebuah agenda yang bertujuan mempererat tali silaturahmi cah nggalek yang terpisah. Menggagas kemashlahatan masa depan. Dan ngobrol gayeng perihal pernak-pernik Trenggalek secara nyantai dan asyik.
Lebih lanjut, agenda ini juga buah dari kesadaran bahwa kota kecil tidak selamanya pantas untuk dijadikan sebagai alasan untuk terus terpuruk apalagi ‘malu’ menyandang identitas ke-nggalek-an. Kota besar dengan kemegahan ekonomi dan individualismenya tak juga selamanya pantas menjadi kebanggaan. Sebuah kota kecil yang seringkali dicap ndesa, mempunyai kebanggaan tersendiri yaitu kebersamaan.
Sudah kita pahami bersama, bahwa ndesa adalah sebuah julukan bagi kaum pinggiran, kurang modern, jauh dari kemajuan ekonomi dan tekhnologi. Namun di balik itu semua, orang ndesa menyimpan sesuatu yang mengagumkan: kekeluargaan. Nalar gotong royong ini tidak bisa ditatap sebelah mata, karena ia bisa menjadi perbaikan peradaban.
Selama ini kita sudah terlalu banyak menerima doktrin bahwa modal-kapital adalah ujung tombak dari kemajuan. Sebuah daerah yang dianggap miskin, baik sumber alam maupun daya manusianya, perlahan ditinggalkan bahkan oleh anak-anak daerahnya. Padahal, saat kita tidak mampu mengandalkan kekuatan modal, kita masih bisa mengandalkan kerjasama, kebersamaan, saling menyokong untuk melangkah maju. Dan kebersamaan ini adalah jalan ideal yang bisa ditempuh kota kecil semisal Trenggalek untuk merancang kemashlahatan di masa selanjutnya.
Maka, mari berkumpul, ngobrol, bersilaturahmi fikri, bertukar gagasan untuk kebaikan Trenggalek kita… atau sekedar bernostalgia, asyik juga, he.