Sisi Lain Lebaran

Saat hari lebaran hingga masuk Syawal (lebaran ketupat), media sosial viral menampilkan ucapan maaf. Bagi mereka yang tak bisa berjabat tangan secara langsung, bisa menyampaikannya di dunia maya. Ada celetukan meme yang membuat saya nyengir, seraya saya minta maaf kepada orangtua, andai nanti juga melakukan hal demikian.

Meme tersebut mengilustrasikan seorang pemuda yang sudah lama meninggalkan desa, lama tidak pulang juga tentu sudah lama tidak bertemu dengan ibunya. Sebagai wujud sayangnya kepada ibu, ia membawa satu bungkus biskuit sebagai oleh-oleh. Dengan keadaan kepala masih terbungkus helm; tas masih di punggung, ia cium tangan meminta maaf kepada ibunya. Suasana tersebut penuh haru biru serta isak tangis yang pecah. Anggap saja begitu. Orangtua dan anak yang sudah lama tidak ketemu, dipertemukan dalam suasana penuh suka cita, di hari raya Idul Fitri tersebut. Situasi dramatisasi jelas terasa di momen ini.

Tetapi kondisi tersebut nampak kontras, saat si pemuda itu pamit untuk kembali ke kota. Suasana di sini sangat dilematis. Seorang anak yang datang hanya dengan sebungkus biskuit, tetapi saat pulang, ia seakan membawa berbagai macam “kekayaan” dari rumah orangtuanya. Ia memboyong—dalam ilustrasi itu—Beras 50 Kg, Gula 2 Kg, nguthuk anak pitek (sepasang anak ayam), bontotan (?), kuping gajah, rengginang, dll. Peristiwa ini jelas tidak enak jika dihayati, apalagi kita tiru. Bagi seorang anak, yang sudah mapan dan berpenghasilan sendiri, termasuk anak semacam saya, yang masuk usia ideal menikah jika melakukan hal serupa, jelas tidak etis dan pamali.

Ya, seharusnya kita, sebagai anak, layaknya memberi, bukannya “merampas” kepunyaan orangtua. Tetapi, biasanya, memang seperti orangtua untuk membahagiakan anaknya yang lama tidak ketemu dan jauh di perantauan, di kota tertentu misalnya. Fenomena demikian sepertinya tidak jauh ada di sekitar kita, dan kita juga pernah melakukannya: membawa makanan dari desa untuk kita nikmati di kota.

***

Ramadhan sudah pergi. Orang-orang yang merayakan hari kemenangan dengan euforia juga sudah mulai habis. Suara-suara petasan lamat-lamat mulai tidak terdengar. Tinggal meninggalkan sobekan-sobekan kertas di tepi jalan. Toples-toples berisi jajan lebaran mulai ditutup, dibersihkan kemudian ditaruh di lemari. Lebaran sudah usai. Masyarakat juga sudah melaksanakan aktivitas seperti sediakala. Karyawan kantor sudah siap bermacet-macet ria dan bekerja sesuai durasiyang ditetapkan oleh instansi masing-masing. Anak-anak sudah siap untuk belajar di sekolah. Mereka dengan riang memakai seragam baru. Singkat kata, hari sudah normal kembali dengan segala aktivitas yang bakal menyita waktu.

Namun di balik hingar-bingar perayaan hari raya, setiap pemudik memiliki cerita yang mengasyikkan, menjengkelkan, mengharukan, menyedihkan, dan suka cita. Orang kota, yang memiliki sanak famili di desa, tentu memiliki cerita yang menyedihkan juga menarik.

Dan, mereka, orang kota, memiliki cerita yang mengesankan saat masih hidup di desa, sehingga mereka dengan rela dan mau memenuhi stasiun, terminal dan jalan raya supaya bisa mudik di kampung halaman. Berkumpul bersama orangtua, sanak saudara, dan teman. Mereka beranggapan hanya ada momen satu tahun sekali ini liburan sekaligus sungkem kepada orangtua, saudara dan teman-teman di kampung.

Lantas apa penyebab orang kota cepat-cepat berkunjung ke desa, tempat masa kecilnya dulu? Saya kira, selain untuk sungkem dan silaturahmi, lebaran bagi sebagian orang kota, juga punya fungsi untuk mengunjungi kenangan yang dahulu dilakukan. Saat lebaran, yang tidak biasa dari kita adalah kulinernya. Masakan seperti opor ayam, rawon, ketupat dan yang tidak kalah menarik dan ditunggu-tunggu yakni tradisi makan bareng setelah shalat ied. Menu makanannya biasanya sego gurih, yang di atasnya ditaruh ayam lodho (nasi yang di atasnya ditumpangi ayam lodho), ada juga telur dan lain-lainnya.

Berbicara tentang kuliner, Pak Warsito, warga Kediri yang bertugas di koramil di Tuban, bersama keluarganya, rela mempercepat mudiknya hanya ingin ikut shalat ied di masjid dan makan bersama dengan menu lodho.“Saya pulang cepat-cepat ini biar bisa makan nasi gurih dan lodho di masjid seperti dulu,” katanya saat saya tanyai. Pun, mereka kangen dengan masakan orangtua, yang sudah lama tidak dirasakannya.

Dengan makan masakannya orangtua, lidah kita seperti bernostalgia dengan kerinduan pada apa yang pernah kita makan saat kanak-kanak. Seperti yang ditulis Irham Thoriq dalam salah satu artikelnya, Ketika Lidah Pulang Kampung, kita seolah sedang bercakap-cakap dengan masa lalu kita. Kau tahu, lidah sebagaimana pikiran, juga mempunyai ‘kenangan’ yang kerinduannya harus dibayar tuntas.

Oleh karena itu, tradisi inilah yang membuat orang kota tertarik dan “iri” untuk segera pulang ke desa. Mereka, orang kota rela berjubel supaya sampai di desa bisa ikut makan bersama, berkuliner ria bersama tetangga teparo di masjid.

Desa memang memiliki tradisi atau sebuah adat yang tidak dimiliki oleh orang kota. Desa menawarkan kelebihan yang tidak dipunyai kota. Tentang adat istiadat atau kearifan lokalnya. Kearifan lokal yang dibentuk oleh orang desa, menjadi daya tarik orang kota untuk menarik kembali ke desa. Desa adalah tempat kakek-nenek, orangtua kami bertarung untuk bertahan hidup. Desa adalah tempat, bagi anak-anak bermain dan belajar menapaki kedewasaan diri, ketabahan, kesahajaan hingga kearifan. Di desa, orang-orang kota yang memiliki pertalian darah dengan orang desa sangat sulit untuk tidak berkunjung ke desa.

Romantisme di desa inilah bagi anak-anak (entah bapak-ibu-bulik-paklik dan sanak saudara), bertempat tinggal di kota rela menghabiskan puluhan hingga jutaan untuk pulang ke kampung. Orang kota yang merupakan bagian dari masyarakat industri, tidak memiliki kesempatan untuk memikirnya hal sederhana macam tradisi itu. Oleh karena itu, kesempatan lebaran seperti itu, direlakan untuk pulang. Kata pulang menjadi barang langka. Yang bisa mereka dinikmati menunggu cuti panjang atau saat momen lebaran tiba.

Seperti yang dilakukan oleh Pak Warsito menjadi menarik. Hanya karena kerinduan yang membuncah dengan tradisi makan lodho bareng di masjid, ia rela pulang kampung. Tentu selain untuk sungkem, saling minta maaf kepada orangtua dan saudaranya. Desa yang masih menjunjung adat istiadat, membuat orang kota untuk pulang ke desa, menengok kabar desa, yang dahulu pernah mengajari mereka arti kerja keras, kesabaran dan ketelatenan.

Jangankan orang kota, tentara Belanda saja pernah terkecoh karena kuliner. Pada tahun 1930, Raja Yogjakarta, Hamengku Buwono VIII, berencana melakukan suksesi kepada putranya Pangeran Darojatun. Sang raja ketika itu sakit-sakitan. Namun, kekuasaan pemerintah kolonial masih kuat, membuat Hamengku Buwono VIII memiliki siasat untuk mengalihkan perhatian memanjakan Belanda dengan aneka makanan enak serta hiburan tari-tarian. Singkat cerita, karena keasyikan, mereka tidak memperhatikan apa yang terjadi di keraton. Dan, prosesi di keraton sukses. Pangeran Darojatun naik tahta.

Libur lebaran adalah kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga beserta kenangan masa lalu, setelah satu tahun atau bertahun-tahun sudah terpisah. Bagi perantau, orang kota, bertemu dan memiliki kesempatan hanya sekali dalam setahun. Kami orang pribumi, yang menjaga kuat nan erat rasa persaudaraan, kekeluargaan dan kebersamaan dari orang desa.

Di titik ini kemudian saya sadar, kota tidak ada kesempatan untuk memikirkan sesuatu yang menjunjung tinggi tradisi.Tidak ada tradisi bawa ambeng untuk dimakan bersama warga, sebagai wujud syukur kepada Allah Swt. Di kota, setelah shalat ied, ya sudah pulang, ya paling banter, meninggalkan sampah berupa koran bekas, sebagai alas shalat di lapangan atau halaman. Sekali lagi, lebaran tidak hanya untuk bertemu keluarga di kampung, lebih dari itu adalah bernostalgia dengan makanan tradisional dan suasananya yang penuh dengan kebersamaan dan kesederhanaan.

Artikel Baru

Artikel Terkait