Le, kalau kau mengingini istri modern berparas ayu, yang pandai bersolek dan lihai memoles gincu, maka temukanlah ia, di antaranya, di tengah riuh rendah lalu lintas kota. Akan tetapi, le, jika kau menghendaki istri yang cakap mengatur dapur dan sumur; setia merapihkan kasurmu; terampil mengasuh dan mengasihi anak-anakmu, maka berjalan-jalanlah ke desa, temukan ia di kaki gunung. Pinanglah ia dan bersiaplah menjadi suami yang paling beruntung.
Saya mengandai-andai barangkali seperti inilah bunyi petuah dari orang tua Jawa terhadap anak jejakanya yang tengah gundah, perihal memilih calon pendamping hidup.
Pada masanya, keasrian desa di kaki gunung tak hanya menyajikan pemandangan alam yang subur dan ijo royo-royo di mata orang-orang asing yang melayangkan pandang dari kejauhan. Adalah pesona lain dari desa yang konon cespleng menjadi pukat asmara bagi pria-pria yang sedang berkelana mencari cinta. Pesona yang dimaksud tak lain dan tak bukan, ya perempuannya. Kota dan desa, sama-sama perempuannya, lantas apa yang menarik dari perempuan desa?
Budaya patriarki berbicara tentang dominasi kaum lelaki terhadap kaum hawa dalam tatanan hidup sosial pada umumnya, termasuk salah satunya pada sektor rumah tangga. Lelaki adalah pemasok nafkah utama, pembuat keputusan dan panutan yang mutlak di-tut mburi oleh istrinya. Sementara perempuan adalah sosok yang selayaknya ditempatkan sebagai juru kendali atas setiap tetek-bengek urusan domestik yang wilayah teritorial dan zona ekonomi ekslusif-nya membentang dari segala penjuru dapur, bolak-balik belok ke sumur, dan malamnya masih kudu manut berlanjut menunaikan ibadah sunnah rasul yang aduhai indahnya di atas kasur.
Dan rasanya sungguh ora ilok dan ora samar baginya melengos mengelesi kodrat yang telah mewarisi banyak generasi ini. Lain halnya jika ia memang legawa dikutuki oleh suami, mertua bahkan ibu kandungnya sendiri.
Nah, jenis perempuan yang ideal mendampingi lelaki penganut budaya patriarki seperti ini umumnya lebih mudah didapati di desa-desa di kaki gunung. Katakanlah di Desa Bangun, Ngerdani, Ponggok dan Buluroto. Maaf, desa-desa di daerah dataran rendah dan perkotaan, misal Surodakan dan sekitarnya, untuk kali ini tidak dimasukkan list.
Adakah yang melatarbelakangi kecenderungan ini? Kota merupakan titik utama di mana berbagai arus kemajuan bertemu dan berpusat. Seiring datangnya kemajuan pada suatu daerah, biasanya turut terbawa pula suatu fenomena baru. Mereka yang mengusung, menyokong dan mendorong lahirnya suatu kemajuan satu per satu memperkenalkan hal-hal baru, baik itu berupa benda, konsep gaya hidup terdepan, rancang bangun tata-kota, maupun suatu paham dan pemikiran-pemikiran revolusioner yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Nah, akhir-akhir ini paham feminisme santer didengungkan ke pendengaran perempuan-perempuan di banyak tempat di belahan dunia, terkhusus di mana keadilan, hak dan kemerdekaan di kalangan kaum perempuan berbanding terbalik terhadap laki-laki.
Feminisme sebetulnya bukan barang baru. Gerakan ini sudah dimulai pada akhir abad ke 18. Feminisme lahir sebagai protes akan dominasi laki-laki yang imbasnya melemahkan daya dan peran perempuan. Membatasi lingkup gerak perempuan di luar urusan domestik, sekalipun tidak menutup kemungkinan bila mereka memiliki kapasitas dan kemampuan yang sebanding dengan laki-laki. Terkait ini, film Suffragette (2015) yang diaktisi Carey Mulligan, garapan Sarah Gavron cukup mewakili untuk ditonton.
Feminisme menghendaki adanya emansipasi, kesetaraan gender dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Bahwa perempuan juga memiliki hak dan kesempatan yang sama serta patut dihargai dan diperlakukan secara adil. Gerakan “menggugat kodrat” ini sempat heboh sekali pada tahun 1960-an setelah seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Betty Friedan, pada 1963 menerbitkan sebuah buku berjudul The Feminine Mystique. Buku ini si biang kerok dari lahirnya “equal pay right” dan “equal right act” yaitu semacam deklarasi yang menyatakan bahwa perempuan berhak mendapatkan gaji yang setara dengan gaji laki-laki, dan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk melakukan sesuatu.
Sik sik sik…wong kita tadi tengah berbincang-bincang seputar desa di kaki gunung dan Surodakan kan yak, la kok bisa moro-moro jlong melenggang ke mamarika? Memang hubungannya, apa?
Kurang lebih begini, perempuan-perempuan kota adalah perempuan-perempuan yang lebih dulu mengenal gerakan feminisme, secara hal-hal baru tadi pertama-tama menyambangi daerah urban, bukan? Jadi, perempuan-perempuan kota jatuhnya tidak jauh-jauh dari karier dan babakan kesibukan pekerjaan sebagaimana yang diemban oleh kaum laki-lakinya. Terlepas dari jenjang karier dan tingkat pangkat pekerjaan, toh sudah menjadi hal yang lumrah bagi perempuan-perempuan kota pada umumnya turut merasakan suasana pekerjaan kantoran yang dahulu kala hanya sebatas terbayang dalam angan RA Kartini.
Sehingga tentang keterampilan pada sektor domestik (tiga ur) bukan lagi menjadi satu-satunya fokus pekerjaan istri. Jadi, ikhlas tidak ikhlas, sang suami ya harap maklum bilamana sang istri tidak stand by di rumah sepanjang waktu, masak pun agak anyep, hasil menyapu pun malah membuat berewok sang suami tambah subur.
Calon istri berakreditasi 3 UR semakin langka ditemui di perkotaan, maka para pria single, entah jejaka entah duda, menjajal keberuntungannya memenangkan hati perempuan dengan berekspansi ke desa-desa. Blunusan dan blusukan ke gunung-gunung berharap dunia masih menyisakan satu perempuan lugu dan bersahaja untuknya. Namun, rupanya, hari ini perempuan-perempuan desa pun sedikit banyak telah terpapar paham feminisme juga.
Mereka sedapatnya mencoba menangkap maknanya melalui gambar-gambar bergerak yang keluar dari layar kaca di atas lemari.
Walaupun mereka yang awam dan utun ini tidak memahami sejarah dan hal ihwal yang berhubungan dengan feminism. Tetapi, setidaknya tidak sulit loh menemukan perawan-perawan kencur yang pandai membangkang, saat sang ibu memintanya memasak, beres-beres rumah hingga barang blekethekan pribadi. “Ah, perempuan memangnya harus bisa masak? Harus melakukan pekerjaan rumah tangga melulu? Laki-laki mau menikahi perempuan apa pembantu?” Demikian kira-kira sanggahan dedek-dedek gemes kekinian yang latah mengalamatkan feminisme—yang lucunya mereka sendiri masa bodoh untuk membaca sejarahnya—sebagai dalih kemalasan yang sudah memasuki taraf memprihatinkan.
Coba sodorkan setampah rempah-rempah pada mereka, belum tentu mereka bisa membedakan yang mana ketumbar, yang mana merica; yang mana jahe, yang mana langkuas; yang mana daun serai, yang mana daun bawang? Coba tes mereka memasak menu sayur bening bayam masak kunci. Jangan sampai mereka mencemplungkan kunci pintu atau kunci lemari ke dalam kuah sayur bayam.
Ini sama konyolnya dengan adik saya (cowok) yang datang membawa beberapa lembar daun jambu air, saat mamak memintanya memetikkan daun salam di kebun. Kekeliruan ini ditolerir mamak lantaran terjadi terhadap seseorang yang tidak bersentuhan langsung dengan dapur, bumbon dan empon-empon. Akan lain ceritanya, jika saya sampai harus sekonyol itu. Begini-begini, saya bisa masak loh, meski bothok lengkuru pertama yang saya masak rasanya mirip oralit. Karena di awal, saya kebablasan menambahkan garam dan gula, yang semestinya cukup menjadi penyeimbang rasa, dengan serampangan, saya ubah menjadi bumbu utamanya.
Sementara itu, tidak di kota tidak desa, akhir-akhir ini muncul fenomena baru di kalangan kaum pria. Yakni mereka semakin longgar tidak lagi sekolot dulu dalam mematok standar dan kriteria yang harus dipenuhi calon istrinya kelak. Mereka tidak menuntut untuk dimasakkan makanan lezat dan dicucikan sempak dan kolornya. Hal-hal yang menyangkut ranah pekerjaan domestik tidaklah mengapa ditolerir ketidaksempurnaannya, karena yang jauh lebih penting adalah manyelamatkan pria-pria ini dari wabah jones akut. Mengingat tipikal pria lajang ini tambah membludak jumlahnya dan terkesan tersisih dari bursa perjodohan seiring bertambahnya perempuan materialis yang lebih sreg dipinang pria berdompet tebal.
Fenomena ini kiranya telah mengilhami tergubahnya sebuah lagu dangdut yang sekiranya cocok dijadikan theme song para jejaka jones stadium akut dalam hal jodoh masuk akalnya cukup mempertimbangkan dua pilihan saja; Bingung pilih yang mana, perawan atau janda. Perawan memang menawan, janda lebih menggoda. Tak sempat menggagas perempuan dan feminisme dan tetek bengeknya, dua pilihan ini saja sudah banyak melibatkan peranan keberuntungan. Demikian.