Udara desa masih dingin menggigit kulit. Pagi itu aku membuka halaman demi halaman buku harian yang aku tulis beberapa tahun lalu. Menghalangi rasa dingin dengan menjelajahi kembali tulisan-tulisan lampau. Membacanya ibarat membuka kran kenangan yang menggenang. Tanganku berhenti pada halaman ini:
Sabtu, 12 Agustus 2006
Hari terakhir di desa. Seharusnya kau tahu bahwa sejak saat itu doaku selalu sama: semoga kita bisa kembali seperti sedia kala.
Awalnya aku ragu Tuhan bakal mengabulkan doa-doa naif. Namun biarpun begitu aku tak lepas-lepas mendoa, siang, malam, dan setiap embun pagi jatuh aku selalu menitipkan doa.
Bayanganku, kita bisa kembali seperti sedia kala. Seperti saat kita masih bocah. Saat kita sama-sama menghirup udara yang bercampur wangi bunga kopi. Atau memainkan uang logam milik abahmu. Uang yang disimpan dari buyutmu (koin Hindia Belanda), lalu kita gunakan untuk bermain jual-jualan; peranku sebagai pembeli dan kau penjual.
Atau menghabiskan waktu di sekitar pabrik kopi peninggalan Belanda itu. Memetik bunga kopi dan masing-masing di antara kita menyelipkan bunga kopi pada daun telinga. Waktu itu kau terlihat sangat cantik.
Percuma, kita tak akan bisa kembali seperti dulu.
Tuk-tuk-tuk…
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Ibu, pikirku. Aku biarkan saja ketukan itu menggema.
Aku belum beranjak dari tempat duduk. Tapi buku harian sudah aku tutup. Lalu aku mengambil pigura yang ada di laci. Di dalam pigura itu tersimpan foto Ka dan fotoku wajahnya dan wajahku yang masih kecil membuat aku ingin menembus kembali ke masa lalu. Kembali sebagai kanak-kanak yang tak pernah merasa patah hati. Kembali bermain dengannya tanpa mengenal rasa sakit kehilangan.
Tuk-tuk-tuk…
Lagi-lagi ketukan pintu. Terdengar berisik dan menyebalkan, aku bergegas menuju pintu.
“Sarapan dhisek, le!” Bujuk Ibu.
“Mengke mawon, Ibu,” jawabku. “Masih ngerjaake yang kemarin, nanggung.”
“Apa le namanya,” Ibu menjeda, “ masih ngetik?”
“Enggeh, Bu, ngetik novel.”
“E… tunggu sebentar, le. Jangan ditutup dulu pintunya.”
“Wonten napa maleh, Bu?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, Ibu melongok mengintip kamarku. Sementara kamar dan meja belajarku berantakan. Komputer, kertas, buku, cangkir, pigura yang baru saja aku ambil, berserakan. Di dinding kamar tertempel sebuah poster: Multatuli. Aku menyukai imajinasinya yang liar. Novelnya Max Havellaar yang berlatar kebun kopi mirip dengan desa.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala, hoalah le… Tole, berantakan temen kamarmu, kata Ibu.
“Yawes lek ngono…tapi aja sampek kesiangan olehmu sarapan mengko!”
Beberapa saat kemudian aku membuka jendela membuat celah sehingga cahaya masuk ke dalam kamar. Tepat di samping kamar tumbuh pohon-pohon kopi. Dari jendela aku leluasa memandangi daun hijaunya. Jika musim bunga bau harumnya akan menyusup ke dalam kamar. Lalu membawa kembali kenangan masa kecil bersama Ka.
Kenangan seperti, saat kita saling mendahului untuk mencium bunga kopi, dari satu pohon pindah ke pohon lainnya terus seperti itu hingga hidung kita lesu. Lalu mengakhiri ritual itu dengan memetik bunga kopi. Lalu menyelipkan bunga kopi itu pada daun telinga kita masing-masing. Aku rindu. Aku membuka kembali buku harian.
Sabtu, 26 Juni 2006
Hari pertama di desa. Untuk dua bulan ke depan aku akan lama tinggal di desa. Setelah itu aku kembali lagi ke luar kota melanjutkan kuliah. Aku beraharap dua bulan ke depan kita bisa bertemu. Kata tetangga setahun belakangan kau tidak pulang. Sebenarnya aku malu menanyakan perihal keberadaanmu, nanti aku dikira naksir, eh, bukankah benar jika aku naksir kepadamu?
Aku ingin bertemu denganmu, sebab kau harus mendengar beberapa ceritaku. Kau harus mendengar cerita tentang kota-kota yang aku kunjungi. Tempat-tempat yang pernah aku jelajahi. Tapi dari sekian banyak perjalanan, ada satu hal yang membuatku yakin, bahwa desa kita adalah tempat yang mengagumkan. Barangkali suatu saat akan menjadi desa wisata.
Aku mempunyai alasan untuk itu. Pertama, sejak dulu desa kita dipilih sebagai tempat kemah pramuka, artinya desa kita punya potensi alam. Kedua, desa kita punya latar sejarah, misalnya pabrik kopi bekas peninggalan Belanda itu. Ketiga, desa kita udaranya dingin, seperti di Batu. Keempat, masih tersisa bangunan-bangunan bekas Belanda. Kelima, dulu desa kita pernah menjadi kebun kopi yang hijau nan luas. Bukan hal mustahil untuk mengembalikan kebun kopi yang hilang itu. Konon kebun kopi di desa kita pernah puluhan hektar luasnya.
Kau tahu dari mana kopi di desa kita berasal?
Mulanya biji kopi tersebar pada tahun 1707, atas usul Walikota Amsterdam Nicolas Witsen, mereka membagi-bagikan kopi kepada para Bupati se-Jawa Barat.[1] Lalu kopi disebarkan ke seluruh Hindia Belanda.
Lagi pula, nama daerah kita Dilem[2], bukankah ‘dilem’ dalam bahasa Indonesia berarti ‘disanjung’. Daerah yang pantas disanjung.
Perutku kemrucuk, lalu aku bergegas menuju dapur. Terhidang tiga bungkus nasi gegok dan empat iris tempe. Sudah dua hari ini Ibu memasakan nasi gegok[3], aku yang memintanya. Sebagai upaya untuk mengundang masa lalu. Sebagai upaya agar kisahku cepat rampung.
Dulu Ibu selalu membekali nasi gegok. Hingga aku bosan. Tapi aku tahu betul bahwa Ka sangat menyukai nasi gegok buatan Ibu. Entah karena harum daun salam, atau memang nasi gegok buatan Ibu jauh lebih enak daripada yang lain. Sesungguhnya aku tidak suka membawa bekal. Tapi apa boleh buat, karena Ka menyukainya, aku bawa juga bekal nasi gegok itu.
Namun nasi gegok yang terhidang di depanku detik ini rasanya hambar, masih seperti kemarin: hambar. Aku kira rasa hambar itu akan hilang sehari kemudian, ternyata tidak. Bahkan wajah Ka kini terlihat jelas di depan mataku. Saat dia sedang menggendong anaknya yang masih kecil. Dan saat dia menunduk ketika menyadari tatapanku.
Bukan itu yang mengganjal dalam pikiranku. Tapi ketika suatu hari diam-diam aku melihatnya sedang memetik bunga kopi dan menyelipkan bunga kopi itu pada daun telinganya. Kemudian air matanya menetes. Sebuah tanda bahwa dia sedang diliputi kesedihan. Aku tak tahan melihatnya, aku segera pergi. Hari berlalu dan kenangan itu terus terngiang.
Dengan emosi yang tak dapat aku definisikan, aku menelan habis tiga nasi gegok yang terhidang di depanku. Memaksanya masuk ke dalam perut. Aku berbisik di dalam hati sambil menelan suapan terakhir nasi gegok yang terasa hambar itu, “Ka, kini kita benar-benar dipisahkan, bukan hanya jarak, tapi juga takdir. Entah siapa yang bersalah, sebab mengungkit siapa yang bersalah sama saja omong kosong. Bahkan aku tidak menyalahkan takdir. Takdir kita dilahirkan sebagai keponakan. Yang berarti haram bagi kita untuk menikah—orang-orang yang menentang kita percaya itu. Tapi tenanglah, aku sedang berjuang merawat kenangan, lewat pohon-pohon kopi yang menghasilkan bunga, dan lewat kisah yang belum rampung aku tulis.”
[1] Dari artikel yang berjudul ‘Kopi untuk Ngopi’ halaman 66-77 majalah Intisari tahun 1984, No.257.
[2] Dilem adalah nama lokasi yang berada di Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek.
[3] Nasi gegok adalah makanan khas dari Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek. Nasi dan lauknya dimasak dengan cara dikukus bersamaan dengan bungkus daun pisang. Biasanya dibumbui daun salam sehingga rasanya menjadi khas.