Surat untuk Dilan

Senja selalu bercerita tentang bentang romantika, kisah hari yang belum usai serta detik yang beriringan antara tenggelamnya surya dengan songsong petang mencari hakikat malam.

Petang itu Prigi dalam detik yang lain, gemuruh ombak pun saling menggulung, membentuk pasang. Sepoi angin menjatuhkan dahan dan daun dari pepohonan. Masih dalam berdiriku, siluet karang berlapiskan deburan ombak. Kicau camar serta keringat pekerja pantai yang tengah bercucuran menambah kian tegas pemandangan sore di pantai. Sebuah pemandangan yang semoga kapan saja dapat kau temui di sini: tempatku berdiri sambil menyaksikan surya tenggelam dengan warna jingga yang indah.

Dan benar saja, di petang itu aku enggan pulang. Dengan berdiri, beberapa langkah, jalan dan duduk di atas pasir. Menikmati Minggu petang dengan mengamati sepotong senja yang ranum bersama gemuruh ombak menyapu pantai. Minggu adalah hari yang panjang untuk menyusuri perjalanan sebelum tiba pada Senin yang sibuk. Di mana temaram adalah saat paling indah menghabiskan terik yang sejak siang tadi membuat tubuh mengeluh lelah. Hingga senja datang memancar sinar bulat kemerahan menampilkan siluet karang diiringi kicauan burung camar berwarna keabu-abuan sebelum gelap datang.

Alam pesisir jauh menatap semangat para nelayan di pantai Prigi petang ini. Semangat dengan meneguh harap dalam hati yang damai. Paduan semilir angin saat sinar kemerahan memantul pada wajah pekerja lepas di laut yang penuh peluh. Tak ketinggalan anak pantai yang sedang berkejaran di pesisir dengan begitu bahagia. Semua berpadu dalam bahasa kehidupan. Sebuah pemandangan tanpa mengesampingkan beban keluarga dan harapan akan masa depan anak-anak. Aku sangat kagum dengan mereka.

***

Aku tak menyangka syindrom traveller menjangkitiku juga. Aku suka mengunjungi banyak tempat, ikut komunitas pendakian dan mengeksplorasi daerah eksotis sebagai tempat wajib kunjung. Mensyukuri bentangan alam, dari dataran rendah hingga dataran tinggi yang pernah membesarkan kita. Dan Prigi sebagai mana dulu, masih indah seperti saat kita menghabiskan masa kecil dengan bermain layang-layang di pinggir pantai itu. Itulah kenapa kau perlu pulang, Dilan.

Oh, ya, bagaimana kabarmu? Rasanya sudah lama kita tidak berbalas sapa. Ini juga alasanku mengirim surat untukmu. Dan semoga saja suratku sampai.

Kabarku di sini sangat baik. Selain menggemari penampakan alam, hariku ramai dengan riuh celoteh anak-anak. Aku berkesempatan mengajar di sebuah sekolah kecil di pinggir pesisir. Daerah yang tak jauh dari tempat kita pernah memperoleh kelas dasar dalam pendidikan. Tak ketinggalan lingkungan yang nyaman dengan penduduk ramah serta guyub rukun  masyarakatnya gambaran nyata sebuah kultur desa.

Aku pikir, hanya sebuah kesalahan jika mencitrakan semua anak pantai sebagai sosok nakal dan kumal. Ada sisi lain yang kerap kita lewatkan pada mereka yang terpinggirkan oleh kondisi alam, yaitu semangat memperoleh kesetaraan dalam pendidikan. Aku harus tersenyum malu jika datang ke sekolah, sementara harus kudapati mereka sudah berada di sana. Menunggu dengan hormat di teras atau ruang-ruang kelas ala kadarnya. Ruang kelas di desa sebagaimana adanya dengan fasilitas penunjang yang cukup minim. Namun hal tersebut tidak sedikitpun mengurangi semangat mengikuti pelajaran. Bukankah kesempatanmu belajar sampai ke luar negeri tidak menafikan dari mana kamu berasal? Juga andai kita berasal dari pesisir ini.

Bagaimana kau di sana?

Apa mungkin, di tempatmu sekarang, kau mendapati panorama indah seperti ceritaku di sini? Pulanglah saat liburan musim dingin tiba. Ambillah beberapa hari untuk cuti. Selain pantai, ada banyak penampakan alam yang tak kalah dengan Pulau Honshu di tempatmu sekarang. Pulau indah yang nampak teduh di bawah hujan salju dan meronanya bunga sakura.

***

Dilan, apa jadinya kalau purnama kali ini panen nelayan tak melimpah. Ketakutanku selain pada pendapatan ekonomi juga kurang mampunya orang tua memperhatikan pola makan anak-anak pada usia pertumbuhan. Aku takut, anak-anak didikku kurang asupan gizi. Aku takut kehilangan gelak tawa mereka di ruang-ruang yang aku ajar. Adakah gelak tawa seceria mereka, di sana, di tempatmu? Dengan keterbatasan dan minimnya fasilitas yang kadang harus menempuh sekolah dengan jalan sekalipun tanpa alas kaki?

Tapi detik selalu bercerita tentang pergantiannya. Musim kemarau telah usai, Desember ini tanah kami diguyur hujan. Banjir dan robohnya pohon besar tidak terelakkan di bulan ini. Aku sedikit bingung, sekolah terpaksa aku liburkan beberapa hari. Aku tak bisa menikmati senja di sore hari saat liburan datang, juga tak dapat melihat senyum ceria anak nan polos di pagi hari.

Tapi, selain surat ini, aku lampirkan sepotong senja untukmu, itu oleh-olehku Minggu ini di pantai prigi. Barangkali surat adalah caraku membahas dan menyampaikan kondisiku, maka kalau sempat, balaslah. Tentu aku akan sangat senang  dengan itu aku mengerti kalau sepotong senjaku sudah kau lihat dan kau terima.

Artikel Baru

Artikel Terkait

Panggil Aku Ayah

Tanah Warisan

Minah Budhek

Dialog Dua Dunia