Astronomi menempati tempat yang luhung dalam sejarah umat manusia, bukan hanya dalam sejarah ilmu pengetahuan dan sains. Astronomi ialah bukti betapa gandrungnya manusia menjelajahi batas-batas—yang dari kurun ke kurun batas-batas itu terus didesak hingga sejauh-jauhnya.
“The history of astronomy is a history of receding horizons,” kata Edwin Hubble, astronom Amrik yang termasyhur itu.
Yang pernah belajar sejarah, termasuk sejarah filsafat bahkan teologi, sedikit banyak tentu paham pentingnya astronomi. Hampir semua peradaban besar, baik di Barat atau Timur, memberi tempat yang serius bagi ilmu satu ini. Bangunan-bangunan purba yang masih bisa kita saksikan di zaman ini seringkali memperlihatkan jejak dan peranan ilmu astronomi di dalamnya. Sangat biasa, jika bukan hampir semua, pemikir-pemikir klasik akrab dengan hitung-hitungan astronomi—ini juga berlaku di peradaban Barat atau Timur: dari Democritus dan Aristoteles hingga Ibn Sina dan Ommar Khayam.
Masa kecil kita pasti pernah diisi dengan perasaan tak tepermanai saat melihat langit pada malam hari. Langit malam yang terang oleh kerlip bintang dan semburat cahaya bulan selalu menakjubkan bagi anak-anak kecil yang kepalanya masih sangat terbuka kepada berbagai hal luar biasa yang mempesona. Anak-anak yang diberkahi daya imajinasi yang (nyaris) tak terbatas—karena batas-batas memang tak dikenali dengan baik oleh anak-anak—seperti menemukan tempat bermain yang begitu luas untuk dijelajahi–dengan pikiran dan imajinasi.
Saya ingat pernah terlambat pulang ke rumah setelah selesai mengaji di surau karena melihat lesatan benda langit yang jatuh jauh ke tengah sawah yang letaknya di atas lapangan sepakbola kampung. Nyaris tanpa perhitungan saya memburu ke arah jatuhnya benda itu, bersama beberapa kawan. Kami tidak menemukan apa-apa, karena suasana begitu gelap. Namun saya ingat bagaimana kami semua, saya dan beberapa teman, terus menatap ke arah langit dan berharap akan datang lagi lesatan cahaya.
Kami sudah cukup besar, sekitar kelas 4 SD, sehingga lagu “Bintang Kecil” tentu saja terasa kelewat kekanak-kanakan. Namun malam itu, sambil berjalan pulang, kami menyanyikan lagu itu bersama-sama, entah siapa yang memulai, sambil terus menatap langit. Rasanya lagu itu terasa enak sekali dinyanyikan kembali. Mungkin karena keterbatasan referensi musik itulah yang membuat pilihan tidak bisa tidak hanya kepada lagu satu itu. Kami bertiga, atau berempat, tidak lekas-lekas pulang ke rumah masing-masing, tapi duduk-duduk di pinggir lapangan sepakbola sambil–lagi-lagi–terus menatap langit. Salah seorang dari kami, mungkin saya, menukil cerita pencarian Tuhan ala Ibrahim yang berkali-kali menduga benda-benda langit sebagai Sang Maha Pencipta.
Ketakjuban pada langit malam tidak pernah benar-benar punah bahkan walau kita semua sudah beranjak dewasa. Ada saat di mana kita, atau saya, sampai pada suasana-tak-tentu, atau situasi selo, pada malam-malam yang mungkin sedih atau bahagia, atau biasa-biasa saja, lalu tertegun menatap langit. Diselipi pretensi astronomik atau tidak, langit pada malam hari masih dapat memberikan efek yang kuat.
Saya tentu masih cukup sering menikmati langit malam hari. Kendati, tentu saja, langit hari ini jelas tak sama dengan langit yang saya lihat bertahun-tahun lalu saat masih bocah. Langit tidak sebersih dulu. Udara semakin kotor, cahaya listrik sudah kelewat berhasil menyibak kegelapan alami yang dulu sama-sama pernah kita nikmati pada malam-malam setelah mengaji di surau, atau setelah mengerjakan PR di ruang tamu ditemani bapak dan ibu.
Mungkin karena nostalgik itulah saya menulis sebuah cerita anak tentang perkawanan seorang gadis kecil dengan bintang dari langit selatan. Cerita itu sedianya akan dicetak untuk kado ulang tahun anak saya, Daya, yang keempat. Namun rencana itu urung karena satu dan lain hal, terutama aspek ilustrasi, kendati cerita sudah selesai saya tulis. Hanya tinggal tunggu waktu saja, sih, buku itu untuk diterbitkan.
Saya juga pernah terpesona, beberapa tahun lalu, saat membaca cerita dari majalah TEMPO tentang seorang bocah ndesit dari Trenggalek yang, dengan segala keterbatasan, berhasil menjadi juara Olimpiade Astronomi di Ukraina. Ia bocah kampung, yang bukan hanya tidak memiliki peralatan tapi juga tidak memiliki guru yang bisa sungguh-sungguh dapat menjadi teman diskusi soal benda-benda langit dan alam semesta.
Ia baru belajar astronomi secara serius, termasuk cara menggunakan teleskop, justru saat pelatihan dan persiapan menjelang tahap seleksi tim olimpiade itu. Dalam laporan lain, saya membaca bagaimana bocah itu menghitung letak bulan dengan kepalan tangan.
TEMPO menulis: “Pada malam hari, ia terpekur mengamati langit dengan mata telanjang. ‘Lampu depan rumah dimatikan agar melihatnya bisa jelas,’ kata Mariati, sang bunda. Ya, ia hanya melihat bintang itu dengan matanya, karena teropong tak ia miliki.”
Ilmu astronomi di Indonesia, yang di luar negeri begitu prestisius, seperti punya “bintang” baru yang hendak mengorbit. Sebab memang sangat sedikit yang tertarik belajar astronomi di perguruan tinggi. Ilmu astronomi adalah salah satu jurusan yang sedikit peminatnya di ITB. Menurut laporan TEMPO kala itu, hanya 10 mahasiswa saja rata-rata tiap angkatan. Dari 330-an kursi di seluruh jurusan Fakultas MIPA ITB, hanya 8-10 saja yang mendaftar di jurusan astronomi.
Bocah itu jelas patut menjadi harapan. Bocah bernama Zefrizal, yang menjadi juara Olimpiade Astronomi di Ukraina kala masih berusia 14 tahun, ternyata tidak mengambil kuliah di ITB. Ia memilih kuliah di Universitas Airlangga. Lalu ia dikabarkan menghilang, sampai kemudian… ia dikabarkan bergabung dengan ISIS.
(catatan ini diambil dari dinding fesbuk Zen Rs atas izinnya)