Gegap gempita di alun-alun Trenggalek baru saja usai. Semenjak 2 hari yang lalu (mulai Sabtu sampai Minggu), episode “inbox” dihadirkan di Trenggalek lengkap dengan personil yang biasanya tampil di stasiun televisi SCTV ini. Di saat itu pula, gelombang manusia (bisa disebut demikian) di alun-alun Trenggalek terbentuk. Sebelum nanti membentuk lautan (kata sebuah media itu tu). Kumpulan manusia tergoda oleh pesona para artis Jakarta yang selama ini hanya bisa disaksikan di layar kaca.
Ini gebrakan baru, hanya di jaman Bupati Emil Dardak lah, para artis Jakarta mau berduyun-duyun datang ke kota kecil nan lugu semacam Trenggalek ini. Mereka seakan menjadi kurir branding yang telah di-setting sedemikian rupa, untuk membuat Trenggalek kian moncer di level nasional. Meskipun, kemonceran yang diharapkan dan diperlihatkan belum tentu bisa mewakili atau menyesuaikan dengan situasi (kultur) Trenggalek. Lebih tepatnya, hingar bingar yang semenjak bupati dan wakilnya dilantik ini, diakui sebagai upaya mereka mengenalkan Trenggalek.
Inbox, semacam acara konser yang menjadi ciri khas, bahkan bisa dibilang program unggulan SCTV, seperti halnya Opera Van Java di Trans 7, beberapa kali manajemen mereka mengadakan road show di beberapa kota untuk menampilkan wahana jingkrak-jingkrak yang bikin senut-senut kepala. Setelah beberapa waktu yang lalu sempat menggemparkan Kabupaten Tulungagung (kabarnya seperti itu), kini mereka ganti hadir di Trenggalek.
Pro-kontra pemaknaan Inbox di Trenggalek mesti ada. Tanpa adanya pemikiran berseberangan dalam suatu even, tentu tidak menjadikan even tersebut menarik untuk diperbincangkan. Jadi jangan apatis apabila saya memasukkan diri ke dalam golongan mereka yang kontra. Meskipun sedikit ada sisi lain, sehingga saya bisa pro. Mungkin bisa saya bocorkan kalau saya setuju dengan geyal-geyolnya Via Vallen, sang artis cantik dan montok yang kini tengah naik daun. Saya ini tipikal lelaki nggak munafik lho. Tidak seperti aktivitas kaum penyanjung di kadipaten yang kerjaan utamanya memuji langkah pemimpin dan pemerintah kabupaten, meski sudah tahu kalau itu kurang benar. Atau justru malah sengaja menciptakan semacam acara yang tampaknya lebih banyak memberi efek destruktif bagi daerah.
Membahas tontonan, mestinya tidak bisa lepas dari dukungan penonton. Dalam istilah pemasaran, penonton masuk dalam kategori target pasar. Jadi baik-buruknya sebuah acara, sering bisa langsung dinilai dari jumlah penonton. Dan, alhamdulillah banget ya, kehadiran penonton di Trenggalek memang banyak. Bahkan beberapa media yang tidak jelas kelaminnya mengatakan alun-alun dan sekitarnya menjadi lautan manusia. Kendati penonton yang mendominasi dalam acara tersebut adalah golongan manusia yang mempunyai umur berkisar antara 14 s/d 20 tahun. Sungguh Inbox di Trenggalek layaknya sumber mata air di Desa Cakul saat kemarau tiba (untuk tidak menyebut oase di tengah padang gersang). Kaum muda berjiwa alay nan kekinian seperti mendapatkan guyuran hujan lebat di tengah minimnya hiburan di kota kecil kita ini.
Mari kita flash back ke belakang. Dua hari sebelum festival ini digelar, ada rumor yang beredar di dunia maya, wabil khusus jamaah facebookiyah dan whatsappiyah menyebarkan isu-isu yang hampir menyerupai isu waktu di Boyolali sana. Pembaca tahu apa isi isu tersebut? Ok, saya kasih tahu. Isu tersebut membicarakan tentang rekomendasi Dinas Pendidikan agar sekolah-sekolah bisa hadir di acara Inbox. Tidak hanya di daerah buaya pikun (Boyolali), isu tersebut juga mampir di Trenggalek dan sempat ramai: ada indikasi bahwa Dinas Pendidikan mewajibkan beberapa sekolah yang ditunjuk untuk menggerakkan siswa-siswinya guna menonton acara Inbox. Barangkali karena berita tersebut dianggap bisa menimbulkan kontroversi hati juga kontroversi jabatan bila tersebar ke mana-mana, hadirlah pernyataan sang pemimpin: orang no. 1 di Trenggalek. Ia memberikan pernyataan cukup gentle namun kian mengundang rasa penasaran. Melalui akun twitter-nya, Pak Emil sempat berkicau:
Jelas ini adalah upaya Pak Bupati untuk meredam kekacauan para pemirsa yang masuk dalam kategori nyinyir: baik penyiyir beradab maupun para penyinyir setengah biadab. Dan terbukti, peryataan ini ampuh menghentikan jempol tangan pemirsa untuk terus membicarakan ihwal intruksi libur. Setidaknya, untuk sementara.
Ok, saya tidak akan membawa Anda masuk dalam ranah kebijakan Dinas Pendidikan. Apabila ingin mencari bukti silakan mendatangi kepala sekolah yang disinyalir mendapat instruksi. Apabila mereka idealis, tentu mengaku apa adanya. Saya sarankan untuk mengajak beliau-beliau di warung kopi biar obrolan lebih gayeng. Ada sesuatu yang akan saya bahas di sini yang ekpektasinya bisa dinilai lebih besar daripada sekadar mencari bukti ucapan maupun edaran (rekomendasi) pemerintah melalui Dinas Pendidikan.
Apa tendensi Inbox hadir di Trenggalek? Bahkan sampai 3 episode (2 episode di hari Sabtu [pagi dan sore] dan 1 episode pada pagi di hari Minggu). Apakah benar ini merupakan langkah kadipaten untuk mem-branding Trenggalek melalui layar kaca? Atau memang itu adalah upaya mereka, meski salah langkah? Apapun jawabannya, jangan sampai Anda berkomentar secara vulgar di kolom komentar di bawah. Apalagi mengungkapkan jawaban melalui facebook. Saya kasih tahu ya, jika mentalmu belum kuat, bisa jadi kamu akan mati kutu menerima serangan klarifikasi membabi buta dari pihak EO dan panitia festival.
Fakta menunjukkan bahwa pemirsa yang hadir pada festival Inbox lebih didominasi oleh kaum hijaber muda kekimcil-kimcilan (begitu bahasa gaulnya, tolong dibenarkan kalau salah). Itu sangat tampak ketika dilihat dari kamera terbang yang digendong drone. Tampak, jika disorot dari atas, kaum hijaber hampir tersebar membaur dengan yang lain. Menimbulkan pemandangan kepala yang tidak menghitam karena rambut, tapi kepala yang tertutup oleh jilbab. Sungguh pemandangan penonton yang bagus, tetapi pada tempat yang agak kurang layak (hati saya berkata demikian, soal kata hatimu nggak tak reken)
Mereka adalah pelajar, pahmud dan mahmud (papah dan mamah muda), pasukan sorak, pasukan alay, penjual asongan, para jomblower cowok dan cewek baik yang masih unyu-unyu atau yang sudah (hampir) terlambat dikatakan muda. Mereka semua tumplek-blek menyesaki alun-alun Trenggalek. Kadang menyampahi tanah, atau sekadar menginjaki rumput-rumput yang beberapa waktu lalu dirawat oleh petugas taman kabupaten.
Semua memiliki antusiasme tingkat dewa. Semangat dan saling menyemangati. Bersorak dan saling menyoraki; berteriak dan saling meneriaki. Keruwetan yang terjadi pada tontonan yang hanya bisa mendatangkan rasa seneng. Inbox adalah tontonan anak muda gaul dan kekinian, kendati yang ditampilkan hanyalah konsumerisme terhadap rating acara televisi yang berbaur dengan hedonisme. Namun, antusiasme warga Trenggalek dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan mengadakan acara Inbox yang kelanggengannya melebihi kelanggengan road show OVJ.
Ada yang terharu bahwa Trenggalek bisa masuk TV nasional dalam kemeriahan. Harapannya menjadi kian positif daripada tayangan yang memberitakan pemuda Trenggalek yang disinyalir masuk ISIS. Ada yang mengatakan ini adalah rezim hura-hura yang sering mengedepankan gebyar daripada mutu kegiatan. Ada yang bungah lantaran kuliner, destinasi wisata, produk crafting (kerajinan) juga ikut terpromosikan. Ada yang cuek-cuek saja. Semua boleh menilai sesuai kenyamanan udel masing-masing. Begitu seharusnya, karena hal ini berbanding lurus dengan niatan pemerintah yang juga kadang se-enak udel-nya sendiri.
Kalau Inbox dinilai sebagai sarana promosi Trenggalek, helooooooo… Ini agenda Inbox bro, bukan agenda Trenggalek. Jika ada potensi-potensi Trenggalek yang ditampilkan di layar kaca, itu hanya tampil sekian detik saja. Bahkan itu tidak mewakili apa arti dari yang ditampilkan. Pasti kamu yang saling mengelus keringat di alun-alun tidak melihat tayangan itu, ya to? Manajemen Inbox memiliki tujuan untuk menjaga eksistensi acaranya supaya tetap aman di singgasana rating pertelevision nasional. Tidak tahu rating? Itu lho yang seperti tayangan “UTARAN”.
Kalau manejemen tidak menemukan sisi keuntungan finansial dari tayangan, ya diganti. Macam ganti menteri-menteri itu. Sebaliknya jika tayangan TV memiliki penonton yang banyak, pasti tayangan itu diulang-ulang terus macam film Utaran yang (dulu) tayang mulai dari jam 14.00 s/d Isyak. Mblenger tenan to! Acara Inbox, masih sangat moncer. Jadi dia akan terus menyambangi kabupaten-kabupaten lain supaya para kaum alay-nya klepek-klepek digoyang Via Valen. Saya tidak menyebut ini hegemoni, tapi saya mencoba mengatakan apa yang saya tahu.
Kalau ingin melakukan branding terhadap potensi Trenggalek, ada hal pokok yang wajib diperhatikan. Bukan sekadar hingar-bingar di area pertunjukan, sehingga malah menghilangkan nilai strategis dari Trenggalek sendiri. Dan semoga, bapak ibu guru yang budiman kemarin tidak pernah merekomendasikan murid-muridnya yang butuh belajar dan sedang menikmati jam pelajaran untuk menonton Inbox. Sungguh itu perbuatan yang dapat menghilangkan martabat Trenggalek dan indikasi langkah mundur, bukan langkah maju.
Bagi saya, acara itu hanya mampu menangkap beberapa keistimewaan Trenggalek, yakni para penontonnya yang tetap tampil anggun dengan hijab yang berkibar di antara bau keringat para penentu kebijakan yang kehilangan arah jalan pulang untuk merenungi dirinya sendiri.