Posisi diri berdiri dan jarak tumpu yang tak sejajar, sering menghasilkan penilaian yang tak sama. Di sana kerap menghadirkan sikap setuju juga posisi yang tak sepaham. Sisi setuju bagi mereka yang se-pemikiran dan memiliki satu prinsip. Dan sebaliknya, sisi kontra bagi mereka yang tidak memiliki alasan untuk menyesuaikan diri dengan pemikiran, konsep hingga prosedur pada sebuah gagasan. Kritik hadir sering karena sesuatu dilihat secara tak sama karena jarak dan posisi. Tapi kritik hadir menjadi sesuatu yang penting untuk mengingatkan (membangunkan).
Pada 3 Januari 1970, pernah terjadi soal balas-membalas kritik pada beberapa intelektual terkemuka Indonesia, di antaranya antara M. Rasjidi dan Nurcholish Madjid atau Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish Madjid. Cak Nur pernah menulis makalah yang tak sesuai dengan realitas. Akibatnya, kritik keras meluncur dari M. Rasjidi. Prof. Dr. H. M. Rasjidi “mendamprat” Cak Nur dengan menulis buku bertema sama sebagai sikap dan kritik kerasnya. Singkat cerita, kritik yang ditulis oleh M. Rasjidi tersebut ternyata cukup mempengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid. Dari situ, Cak Nur mencabut istilah yang kurang produktif, yang pernah ia tulis di makalahnya. Meski mendapatkan kritikan yang sangat tajam, secara personal, Cak Nur tetap hormat terhadap M. Rasjidi. Di situasi ini, kritik menjadi salah satu keragaman pemaknaan atas persoalan dari sudut yang berbeda.
Kita mafhum, sejak sebelum dan setelah Jokowi dilantik sebagai presiden, beberapa orang hadir bak pahlawan pengingat: mengajukan kritikan. Beberapa orang sempat mengenalkan kembali istilah “kritik yang membangun”. Sejatinya, istilah yang dimaksud adalah agar seseorang yang mengkritik tak sekadar mengkritik, tetapi juga memberi solusi atau jalan keluar: solusi alternatif. Mengkritik di sini, tidak dengan sentimen apalagi merusak.
Kritik itu bukan sekadar mengkritik, tetapi harus disertai dengan statemen yang membangun. Pertanyaannya sekarang, adakah kritik yang membangun? Sejatinya istilah “kritik yang membangun” kali pertama dikenalkan oleh rezim Orde Baru. Di zaman Orde Baru, di bawah pemimpin yang otoriter, banyak kebijakan yang tidak memihak pada rakyat atau merugikan. Sebab itu, kritik hadir sebagai “media” perantara yang proposional. Mengkritik “yang tak seharusnya dilakukan” sekaligus “mengingatkan yang seharusnya menjadi kewajiban untuk dilaksanakan”.
Menurut Rusdi Mathari, (Aleppo, 2016: 127), istilah “kritik yang membangun” sengaja dirancang lalu dipopulerkan bukan saja untuk menghalus-haluskan bahasa agar tidak mengacaukan, melainkan juga untuk menunjukkan bahwa rezim saat itu tidak antikritik. Mereka paham betul bahwa bahasa bisa merumuskan kekuasaan; dan kekuasaan bisa merumuskan bahasa.
Jika kita merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik adalah kecaman atau tanggapan, terkadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut, agaknya sedikit mulai jelas bahwa kritik sebetulnya samasekali tidak ada hubungannya dengan membangun, yang di dalam kamus diartikan sebagai bangkit berdiri, naik, mendirikan, atau membayar (denda, ganti rugi).
Trenggalek yang jauh berangan-angan ingin berbenah menjadi kabupaten yang diperhitungkan secara regional, nasional bahkan internasional, diperlukan partisipasi semua elemen. Dengan tagline Trenggalek Membangun, secara privasi maupun terbuka, Trenggalek sangat lunak menampung segala keluhan, masukan bahkan kritik. Jika ber-itikad untuk membangun, semestinya pula siap menampung setiap saran dan kritik yang tajam sekalipun. Secara personal, saya dan barangkali kita bersama, juga perlu berpikir secara dewasa. Meski setiap kritik yang dilontarkan oleh masyarakat grass root sekali pun, selayaknya memiliki rasa ewuh-pakewuh. Kritik yang muncul di sana sini, hadir untuk mengingatkan bukan malah mencibir atau mengolok.
Oleh sebab itu, Daniel Dhakidae, salah satu intelektual masyhur itu, pernah mengkritik dengan keras istilah “kritik yang membangun”. Dalam pandangan Daniel, yang saya kutip dalam tulisan Cak Rusdi, kritik harus tajam menghujam. Menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat. Menjelujur hingga ke jantung persoalan. Dan, karena itu, kritik tak mungkin disertai dengan bumbu pujian. Kritik dengan pujian tak akan menjadi kiritik.
Kritik jelas mudah dan menyakitkan, semudah lidah yang tidak bertulang menjulur keluar. Sementara membangun adalah sesuatu yang seharusnya mendapat pujian. Karena membangun memerlukan partisipasi bersama dan tingkat pemikiran yang luar biasa tinggi. Tersebab membangun merupakan semangat bangkit, menyatukan dan mempersatukan pola pikir secara bersama-sama.
Karena itu, Daniel mengusulkan agar “kritik yang membangun” diubah menjadi “membangun dengan kritik”. Sisi lainnya, kita juga hidup di negara demokratis, setiap pendapat dijamin oleh undang-undang, asal tidak bersifat hate speech. Sekali lagi, ingat, kita hidup di negara demokratis. Setiap pendapat, tanggapan, rasan-rasan hingga nyinyir-an sekalipun, harus kita kontrol dan jangan berubah emosi, apalagi sampai baper segala. Ingat! Di sini dibutuhkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kedewasaan berpikir. Karena, hal ini justru akan menjadi ruang diskusi dan perdebatan yang kreatif dan produktif.
Daniel pernah memberi alasan, seseorang yang dikritik, baik secara personal maupun jabatan, bukan objek yang pasif dan harus mempertahankan diri. Mereka adalah subjek yang siap dan seharusnya memperbaiki diri dengan kritik apa pun sebagai akibat dari jabatan publik yang melekat pada mereka. Dengan demikian, setiap kritik mestinya akan diterima dengan lapang dada dan disikapi dengan memperbaiki apapun yang dilakukan pada saat itu.
Benar, kritik merupakan cara pandang yang berbeda atas sesuatu persoalan, tetapi kritik tak mesti disikapi dengan pernyataan yang bernada bermusuhan, seperti yang diutarakan oleh Bonari Nabonenar, “Setiap kritik silakan tanggapi dengan kepala dingin.” Kritik merupakan kontribusi untuk mencerahkan kehidupan sosial. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak sesuai dapat di-counter oleh kritik itu tadi.
Tetapi, jika penyikapan atas kritik yang berlebihan yang hanya menjadikan permasalahan runyam, maka dibutuhkan satu cangkir kopi sinambi duduk bersama dengan gayeng. Bahkan, jika dipaksa dengan berlebihan, maka akan menjadi pribadi yang kerdil dan bebal. Selain itu, tentu tak akan memperkaya sudut pandang menghadapi setiap persoalan yang ada. Karena kritik merupakan cara pandang seseorang yang berbeda, bak seorang pendaki gunung dari sisi berbeda, yang akhirnya mencapai tujuan yang berbeda pula.
Oleh karena itu, jika ada seseorang yang tetap bersikukuh untuk tidak menerima kritik, ibarat seseorang yang sedang merindukan—meminjam istilah Cak Rusdi—rezim totaliter, negara yang mengawasi masyarakat di segala aspek kehidupan warganya. Tersebab, urusan masyarakat memang tidak semuanya bisa diserahkan pada mekanisme birokrasi. Karena birokrasi sendiri kerap—dengan meminjam Mohamad Sobary—“membuat dirinya sendiri tak bisa dipercaya.” Maka dari itu tetap diperlukan sarana untuk menyampaikan usulan yang berbau kritik. Demikian.