“Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.”
– Soe Hok Gie –
Dari pengetahuan umum, kita tahu, organisasi Pecinta Alam yang mula-mula berdiri di antaranya adalah Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) Universitas Indonesia, pada 12 Desember 1964. Mapala ini dipelopori oleh seorang tokoh yang sangat dikenal oleh para pecinta alam. Ia bernama Soe Hok Gie. Selain pecinta alam adalah hobi pribadi Soe, ide dicetuskannya Mapala UI saat itu didasari atas faktor: untuk menjadi wadah para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa yang berbau politik, yang perkembangannya kerap menciptakan kondisi tak baik dalam hubungan antarorganisasi.
Dalam tulisannya di Bara Eka, 13 Maret 1966, Soe mengatakan: “Tujuan MAPALA ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa secara jujur, dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.” Diawali dengan berdirinya MAPALA Universitas Indonesia, para mahasiswa itu lalu menggunakan energi mudanya dengan merambah alam: dari lautan hingga puncak gunung.
Kelak semakin berkembang, organisasi pecinta alam tak hanya ada di kampus-kampus. Organisasi pecinta alam juga berkembang di kalangan masyarakat umum, begitu juga di sekolah-sekolah setingkat SMA. Meski tak hanya sisi positif, karena masih banyak juga yang memandang bahwa para pecinta alam adalah manusia-manusia urakan tanpa ada norma-norma yang diikuti dan unggah-ungguh yang dipatuhi. Ini tak benar, sungguh tak benar itu. Bagaimanapun juga, pecinta alam memiliki kode etik yang disusun dan disahkan bersama dalam acara Gladian ke-IV di Ujung Pandang, tahun 1974. Dan layaknya UUD 1945, kode etik pecinta alam adalah sesuatu yang harus dipatuhi oleh seluruh pecinta alam Indonesia.
NIPONK
Bermula tahun 1994, sekelompok pemuda yang berasal dari Watulimo, Kabupaten Trenggalek, aktif mengikuti berbagai even lomba jelajah alam di berbagai kota dan juga menekuni kecintaan pergi ke gunung-gunung. Saat itu tak ada kebakuan dan kekakuan tatanan organisasi, karena mereka tergabung semata-mata karena kesamaan minat. Beberapa waktu kemudian tebersit bahwa mereka sepertinya memang membutuhkan nama untuk perkumpulannya. Ada beberapa sebab yang membuat mereka berpikir seperti itu, salah satunya adalah syarat yang mengharuskan mereka memiliki nama organisasi tiap kali mereka harus mendaftar pada even lomba jelajah alam. Hingga akhirnya, pada tahun 1996, mereka menggunakan nama NIPONK untuk perkumpulan mereka.
NIPONK adalah kependekan dari Naluri Insan Petualang Ora Nate Kapok. Dengan usia yang kini sudah mencapai 20 tahun, NIPONK masih terus belajar untuk menjadi organisasi yang berguna, setidaknya untuk alam di sekitar.
Dalam lingkup sederhana, mereka selalu berusaha menjaga dan melestarikan alam Watulimo. Tak hanya itu, mereka juga mengedukasi masyarakat luas, bahwa alam Watulimo perlu dijaga kelestariannya. Tak hanya Watulimo, tapi juga harus seluruh alam di Trenggalek dalam skala yang lebih luas. Apalagi, kini dengan begitu gencarnya isu pembangunan yang merajalela ke berbagai pelosok desa dan hutan di Trenggalek, tidak bisa dipungkiri bahwa Watulimo juga merupakan target dari pelaku pembangunan tersebut. Bukannya apa-apa, NIPONK hanya khawatir terhadap pembangunan yang membabi buta dan tidak arif dalam memperlakukan alam; tanpa mempedulikan karakter alam yang ada di Watulimo. Terutama soal kebijakan para policymaker terhadap alam.
LJA LBPS-VII
Ibarat bola salju, yang semula hanya gumpalan kecil tapi semakin lama semakin membesar dan menjadi bola raksasa, begitu pula dengan isu global warming. Tak hanya individu, kelompok organisasi, secara kolektif lebih luas Negara pun, masing-masing di antara mereka memiliki solusi yang dikemukakan untuk mengatasi masalah global warming. Tapi sepertinya, dengan banyaknya solusi, seolah justru semakin banyak perusakan yang dialami bumi yang kita tempati ini. Pelakunya? Tentu saja kita sendiri. Manusia.
Indonesia, sepertinya terlena dengan berbagai gelar yang disematkan kepadanya. Sebut saja sebagai pemilik paru-paru dunia (hutan tropis seluas 39.549.447 Hektar); pemilik terumbu karang terbanyak (18% dari total dunia); pemilik hutan bakau terbesar, peringkat 1 dalam produk pertanian, yaitu: cengkeh (cloves) & pala (nutmeg), serta no.2 dalam karet alam (Natural Rubber) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil). Tidak hanya itu, Indonesia adalah pengekspor terbesar kayu lapis (plywood), yaitu sekitar 80% di pasar dunia; Indonesia juga memiliki species ikan hiu terbanyak di dunia yaitu 150 species. Sudah? Masih ada lagi. Biodiversity Anggrek terbesar di dunia : 6 ribu jenis anggrek, mulai dari yang terbesar (Anggrek Macan atau Grammatophyllum Speciosum) sampai yang terkecil (Taeniophyllum yang tidak berdaun), termasuk Anggrek Hitam yang langka dan hanya terdapat di Papua.
Semua keunggulan tersebut menunjukkan bahwa alam di Indonesia begitu luar biasa. Tapi ketahuilah bahwa itu semua hanya gelar tanpa makna, jika kita tak mampu menjaga dan melestarikannya. Kita juga pasti tahu bahwa angka-angka hanyalah angka. Dari hari ke hari alam di Indonesia semakin rusak. Hutan di Kalimantan sudah sangat jauh berkurang pohon dan vegetasinya, terumbu karang yang tak dianggap penting, hutan bakau yang kalah pamor dengan reklamasi, ikan hiu yang terus diburu, anggrek yang merengek, itu semua minta tolong agar dijaga dan dilestarakan, dan tentu masih banyak lagi yang lainnya.
Trenggalek, jika kita mau merenung sejenak, beberapa tahun ke belakang, seberapa sering dihampiri bencana? Sangat jarang. Tapi kenapa tahun ini bencana begitu kerap menghantam Trenggalek? Berbagai jawaban muncul, salah satunya pernah dilontarkan dalam beberapa artikel yang dimuat nggalek.co beberapa hari kemarin.
Berawal dari semua yang tertulis di atas, NIPONK bermaksud akan mengadakan Lomba Jelajah Alam Lembah Bukit Pantai Selatan yang ke tujuh (LJA LBPS-VII). Berusaha melakukan yang terbaik untuk alam sekitar tak harus muluk-muluk dengan melakukan gerakan yang besar dan skala luas. Kegiatan jelajah alam ini adalah langkah kecil NIPONK untuk melatih kepekaan kita serta meningkatkan kesadaran bahwa kita memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga alam Indonesia, secara khusus alam Watulimo dan Trenggalek.
Even ini sebenarnya juga menjadi semacam celebration bagi NIPONK dengan mengundang semua ikut berpartisipasi. Perayaan yang dimaksud adalah hari jadi kota Trenggalek yang ke-822 dan HUT NIPONK yang ke-20. Ya, meskipun banyak yang mencibir bahwa anak-anak pecinta alam kurang peduli terhadap acara-acara seremonial tapi mereka memiliki cara tersendiri untuk meluapkan apa yang mereka rasakan, salah satunya adalah dengan jelajah alam.
Meningkatkan kesadaran untuk menjaga dan melestarikan alam adalah breakpoint awal dari kegiatan tersebut. Tindakan-tindakan untuk pelestarian alam (action) dari peserta kegiatan tersebut adalah tujuannya. Dimulai dari yang sederhana, semisal menanam dan merawat pohon, buang sampah pada tempatnya, kurangi menggunakan kendaraan bermotor, kurangi membakar sampah, dan masih banyak lagi yang bisa dilakukan untuk menjaga alam sekitar. Pemikiran, kesadaran, dan tindakan pecinta alam mutlak harus memberi contoh bagi masyarakat luas, berkaitan dengan tema menjaga alam. Bukan sekadar nama, seremonial, apalagi hanya untuk terlihat keren.
Sebab, menjadi pecinta alam itu bukan sekadar memakai sepatu atau sandal gunung. Menjadi pecinta alam tak sekadar menenteng tas carrier. Menjadi pecinta alam bukan pula sekadar selfie di puncak gunung dan yang sejenis itu. Menjadi pecinta alam adalah “tanggung jawab”, kawan!
Salam Lestari!