Poro sederek mangga tindak Trenggalek
Kutha cilik pabrike tempe kripik
Alen-alen wis ana wiwit biyen
Uga jajan warno-warno camilan
Menyebut nama Trenggalek, seketika yang keluar dari batok kepala saya adalah bayangan gadis-gadisnya yang masya Allah! Sebagai lelaki normal yang tercipta dengan kondisi ala kadarnya, saya dipaksa terkagum-kagum melihat betapa daerah ini sukses menelurkan bibit-bibit manusia unggul berjenis kelamin perempuan. Tidak semuanya, memang. Tapi, beberapa kawan perempuan dari daerah ini yang saya kenal, cukup membuat bayangan ekstrim atas kondisi geografisnya berubah seratus delapan puluh derajat.
Apakah itu berlebihan? Saya kira tidak. Sebab, sejauh petualangan saya mengunjungi daerah-daerah di pulau Jawa, baru di daerah ini saya menemukan kebenaran teori yang selama ini saya sembunyikan dari khalayak: “se-ndesa-ndesanya sebuah wilayah, pasti tersimpan gunungan emas di dalamnya.”
Baiklah. sebelumnya, mari kita luruskan kembali makna “ndesa”, supaya tidak terjadi kesalah-kaprahan lagi. Kata ndesa, jika di-indonesia-kan berarti desa. Wong ndesa berarti orang yang tinggal di desa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbaru (KBBI IV terbitan Badan Bahasa Kemendikbud), desa merupakan sebuah kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan. Mengasosiasikan ndesa sebagai sesuatu yang udik; ketinggalan zaman, dan istilah “bodoh’ lainnya adalah kesalahan besar.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman, perlu saya garisbawahi tebal-tebal di sini, catatan khusus soal gadis-gadis Trenggalek di atas, hanyalah sebentuk kekaguman terhadap kebesaran Tuhan semata, tidak lebih. Tanpa bermaksud pula mendiskreditkan perempuan dari daerah lain. Artinya, jika tiba-tiba ada gadis cantik dari Kediri, misalnya muncul di depan waktu saya sedang ngopi, bukan tidak mungkin saya akan mengatakan itu lebih cantik dari yang lainnya. Toh, penilaian yang bersifat subyektif bukan sesuatu yang dilarang, kan? Hehehe
Di awal tulisan ini, saya kutip penggalan lirik lagu dangdut koplo berjudul “Mangga Tindak Trenggalek”. Dengan bahasa yang sederhana, lirik tersebut saya kerucutkan maknanya pada sebuah kata bernama “promosi”. Barangkali, belum semua orang tahu tentang keisitimewaan Trenggalek ini. Daerah yang dihuni delapanratus ribu lebih penduduk ini ternyata mewariskan kekayaan alam dan budaya yang demikian banyak. Sebut saja salah satunya, pantai.
Beberapa kali saya berkesempatan jalan-jalan ke daerah Karanggongso, sebuah tempat yang cukup kesohor karena pasir putihnya. Sedikit ke arah barat lagi, masuk daerah Karanggandu, tepatnya di sekitar pantai Cengkrong, ada obyek wisata hutan mangrove alias hutan bakau.
Pantai dan hutan mangrove itu, bukanlah wilayah yang asing bagi saya. Kalau boleh sedikit berkoar, sebagian besar hidup saya berkisar di antara dua tempat itu. Di kampung halaman, di pulau Flores sana, saya adalah anak manusia yang dididik dan ditempa oleh alam. Bahkan, bicara lebih jauh lagi, pasir putih yang ada di Karanggongso itu tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pasir putih di kampung. Hahaha… jangan protes dulu. Mana ada orang yang mau menjatuhkan harga dirinya sendiri? wekwekwek…
Akan tetapi, ada satu hal yang menggelitik di benak saya, tatkala menyaksikan bagaimana pantai-pantainya disulap menjadi obyek wisata yang menghasilkan pemasukan bagi daerah. Dalam pikiran saya kala itu, kalau hanya begini saja, pantai di “tanah air” saya lebih berpeluang besar menarik minat para wisatawan, bahkan spektrumnya jauh lebih meluas. Namun apa daya, saya tidak bisa bicara lebih jauh mengingat akan muncul banyak alasan mendasar lainnya yang menjadi penyebab kenapa daerah saya tidak seperti Trenggalek.
Ada sebuah kesamaan yang coba saya benturkan dengan daerah saya. Secara geografis, wilayah keduanya dipenuhi oleh area pegunungan dan pantai. Bedanya, daerah pegunungan di Trenggalek memiliki curah hujan di atas rata-rata sehingga longsor bisa saja terjadi di musim kemarau. Sementara di daerah saya berupa pegunungan tandus, yang sejauh mata memandang hanya tampak rerumputan kering berwarna keperakan, jika diterpa terik matahari. Bagi saya, warga Trenggalek patut bersyukur karena telah dianugerahi tanah yang subur, pantai dengan panorama yang menawan, dan keanggunan para gadisnya.
Dalam hal hubungan personal dengan cah-cah Trenggalek, bisa dikatakan secara emosional sangat rapat. Harap diingat, di sini saya tidak sedang memuji. Sejauh pengalaman saya berada di perantauan, keberadaan mereka dalam hidup saya selama ini sedikit banyak memberikan warna. Dari mereka, saya tahu bahwa Trenggalek memiliki “ibu negara” yang uayu poll. Saya kira, mereka pantas berbangga dengan hal itu. lebih dari itu, ruang-ruang ilmiah yang terbangun sejauh ini, baik itu di warung kopi maupun di sekitar lingkungan kampus, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sosok-sosok mereka.
Saya percaya—sepertinya halnya saya sendiri—mereka banyak mimpi yang ingin diwujudkan untuk membangun daerahnya. Sebagai anak muda yang memilih menjauhkan diri sementara waktu dari kampung halaman, tentunya ada hasrat mulia yang terpendam, di mana setelah bekal dirasa cukup, akan kembali ke kampung halaman untuk menunaikan tanggung jawab jadi sebuah keniscayaan.