Belakangan, berita tentang pizza kedaluwarsa memenuhi media daring dan media massa. Orang desa disuguhi berita seperti itu pasti acuh tanpa reaksi. Apalagi sampai reaktif. Tetapi bagi Kalian yang berlidah borjuis ikut berkomentar sampai berbusa-busa pun sah-sah saja. Toh, Kalian pasti pernah mencicipi makanan impor tersebut (?) Terlepas dari benar tidaknya investigasi Tempo tentang penggunaan bahan kedaluwarsa pizza hut, saya kok lebih tertarik membahas jajanan khas Trenggalek yang berbahan dasar kedelai. Jajanan apa itu? Tentu saja tempe keripik.
Saya memiliki perut dan lidah asli desa. Pun “gilingan” perut jelas lunak bila makan masakan ndesa. Tersebab, saya lebih mengakrabi dan menjunjung tinggi makanan tradisional daripada makanan impor. Jika ditawari pizza, pasti saya tolak, karena perut tak terbiasa mengolah makanan seperti itu. Sebab itu, saya tak ikut urun rembug tentang makanan orang parlente kaum berkantong tebal itu. Boro-boro ikut berkelakar, lihat pizza secara langsung saja belum. Barangkali bagi orang pedesaan, makanan impor itu, baik kedaluwarsa maupun tidak, rasanya tetap sama: tak karuan.
Saya lebih tergerak menikmati kuliner khas kota sendiri: sega gegok, nasi pecel, sompil, nasi thiwul, dan jajanan: tempe kripik, alen-alen, sale, manco dan beberapa jenis jajanan yang dipajang di balik kaca toko-toko di daerah sendiri. Tempe keripik merupakan kombinasi proporsional sebagai lauk di atas meja makan keluarga. Setya Ningsih dalam Bermula Buku, Berakhir Telepon (2016: 104) pernah menulis, “tanpa kehadiran lauk tempe, peristiwa makan telah mengalami kehampaan sekaligus keganjilan. Daripada daging (apalagi pizza) yang terkesan elite, tempe memang menu sosialis yang bisa dijangkau oleh kaum kere sampai parlente.” Apalagi kalau tempe (keripik) hasil gorengan dan kreasi ibu sendiri. Perpaduan pedesaan yang pawonan-nya mengepul dengan sumber api alami hasil pembakaran kayu bakar. Hasilnya, sudah pasti nikmat. Lantas, nikmat mana yang kau dustai dari masakan ibu sendiri?
Tempe (keripik) menjadi identitas peradaban sebuah wilayah yang menjunjung tinggi kesederhanaan, kesahajaan dan kedamaian. Lebih lagi, tempe keripik khas Trenggalek pernah mendapatkan penghargaan sebagai camilan pembuka selamat datang pada acara Internationale Tourismus Borche di Berlin Jerman tahun 1996 (infotrenggalek.com, 30/11/2015). Tempe keripik merupakan tuan rumah dari jajanan khas suatu wilayah: Trenggalek. Jadi, tidak berlebihan bila tempe keripik sempat mendapat apresiasi hangat dari masyarakat Eropa kepada pemerintah, yang saat itu diwakili pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kita tahu, tempe merupakan salah satu panganan warisan budaya dunia, yang terdaftar dalam United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Sementara menurut Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia dan Forum Tempe Indonesia, bahwa tempe mengandung gizi vitamin B 12. Jika tempe (keripik) benar mengandung gizi B 12, maka lirik dalam lagu “Mangga Tindak Trenggalek”: Poro sederek mangga tindak Trenggalek./ Kutha cilik pabrike tempe kripik./ Alen-alen wis ana wiwit biyen./ Uga jajan warno-warno camilan.., Sadar atau tidak kalau Trenggalek merupakan kampung berpenghasilan gizi B 12 terbesar di Jawa Timur.
Di satu sisi, kata tempe pernah jadi ejekan berkonotasi negatif. Kata tempe disambung dengan kata otak, menjadi “otak tempe”, merepresentasikan kebodohan, kenaifan dan ketidakbecusan diri secara intelektual. Di sisi lain, tempe juga sering dikaitkan dengan hidup miskin (kaum proletar) yang menderita. Di level rumah tangga mapan, kalimat “cuma lauk tempe” acapkali muncul jadi keluhan hidup. Menu tempe sering menjadi keluhan, kekalahan dan rasa gengsi di ranah rumah tangga.
Namun terlepas dari kandungan gizi dan statemen negatif, tempe telah masuk dunia kesusastraan Jawa sejak lama. Kita tak pernah tahu orang yang pertama meracik kedelai menjadi tempe. Tetapi beberapa karya mendokumentasikan bahan pangan bernama kedelai sampai menjadi tempe. Cerita tempe pernah muncul dalam novel Umar Kayam berjudul Para Priyayi (2012). Bagi Umar Kayam, tempe merupakan lakon kesabaran dan perjuangan melalui narasi laku hidup orang. Tempe adalah salah satu warisan budaya leluhur yang wajib kita lestarikan sebagai menu wajib bagi keseimbangan rumah tangga.
Dalam buku Setya Ningsih disebutkan bahwa di tahun 1957-an, Asrul Tumenggung pernah menulis buku Petundjuk Bersuami yang ditujukan bagi para calon istri menghadapi mahligai rumah tangga. Menu berbahan tempe pun turut hadir dalam melanggengkan hubungan rumah tangga tersebut. Untuk menghindari kebosanan suami, calon istri diharap pandai mengatur variasi menu masakan. Kudapan tempe tampil dalam menu makan siang dan malam secara acak dalam seminggu. Daftar menu tersebut seolah membongkar mitos “tiada hari tanpa tempe”.
Tempe telah menjadi koentji dalam kerukunan dan kelanggengan hubungan suami, istri dan anak-anak bahkan hingga hubungan politik. Tidak dipungkiri bahwa barisan Presiden Republik Indonesia—mulai Ir. Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, Soesilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo sekarang ini, yang kelahiran Jawa—tak menghadirkan tempe dalam dapur Istana. Pun mustahil, tempe tidak melenggang di meja makan dalam jamuan bersama di Istana Negara.
Sementara bagi masyarakat Kabupaten Trenggalek, menu tempe seolah menemukan lahan basah. Inovasi tempe yang dibuat jadi keripik menjadi salah satu inovasi dalam membuka karakter daerah. Tempe diinovasi menjadi tempe keripik karena perebutan daya saing bisnis seperti telah menjamurnya tempe penyet, tempe goreng dan kreasi tempe-tempe yang lainnya. Tempe (kripik) merepresentasikan hidup bersahaja, nrima, sabar dan sadar diri.
Dalam salah satu film Warkop DKI (Dono, Kasino Indro) yang fenomenal itu (lupa judulnya), saya menyaksikan scene Dono menghadap dosen pembimbing berbekal tempe keripik. Dengan sebungkus tempe keripik dan dandanan ala Elvis Presley, Dono mengisyaratkan bahwa tempe menjadi perekat emosional antara mahasiswa dan dosen. Meski terkesan sederhana, tempe keripik memang kerap menjadi buah tangan dari perantauan bahkan untuk calon mertua.
Tempe (keripik) melebur dalam aktivitas eksklusif penuh keakraban dan keharmonisan keluarga. Jika harga kedelai mengalami goncangan, kegalauan nampak bukan saja terjadi di kalangan ibu-ibu rumah tangga, rumah tangga negara pun bisa ikut geger soal kedelai ini. Dengan kultur pedesaan, jajanan khas Trenggalek ini (baca: tempe kripik) tampil menjadi koentji menjaga kestabilan dan kerukunan antarkerabat, juga keharmonisan hubungan rumah tangga, baik pribadi maupun negara.