Sungai merupakan instrumen penting dalam peradaban manusia. Awal berbagai peradaban dunia bermula dari peran penting sungai. Sebab, ketika tak lagi hidup berpindah-pindah, sebagian manusia menghuni daerah di sekitar sungai. Tentu dengan maksud bahwa tinggal di dekat sungai lebih dekat dengan kebutuhan hidup, yaitu air. Selain itu, manusia juga dapat memanfaatkan sungai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain.
Di Nusantara, Kerajaan Sriwijaya di Palembang berada di tepian Sungai Musi. Di Kalimantan, berbagai kerajaan juga tak jauh dari keberadaan sungai besar yang ada di sana. Sebut saja Sungai Kapuas, Sungai Mahakam dan Sungai Barito. Peradaban manusia Nusantara di Jawa Timur tak bisa lepas dari peran serta Sungai Brantas. Bergeser ke Jawa Tengah ada sungai legendaris, yaitu Sungai Bengawan Solo yang menjadi sungai terpanjang di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian, banyak fosil yang ditemukan di wilayah sepanjang teras Sungai Bengawan Solo. Seperti penemuan tengkorak dan tulang Homo Erectus serta penemuan rangka utuh gajah purba. Penemuan-penemuan tersebut merupakan di antara bukti bahwa Bengawan Solo merupakan tonggak penting dalam sejarah peradaban manusia Nusantara.
Sungai menjadi salah satu sumber mata air bagi kehidupan tak hanya bagi manusia, namun juga sumber kehidupan makhluk hidup lainnya. Ekosistem yang berada di sekitar sungai haruslah terawat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa ekosistem adalah suatu interaksi yang melibatkan makhluk hidup dengan lingkungannya. Komponen biotik dan abiotik merupakan komponen-komponen yang dimiliki oleh semua jenis ekosistem, termasuk ekosistem sungai.
Ekosistem sungai mempunyai banyak sekali komponen biotik, seperti tumbuhan (contoh: ganggang, enceng gondok, lumut, dan lain sebagainya), binatang (contoh: keong, kerang, udang , ular, serangga dan lain sebagainya), serta organisme lainnya. Sedangkan komponen abiotik adalah merupakan komponen ekosistem yang berbentuk benda-benda tak hidup, namun keberadaan benda-benda tersebut tetap berpengaruh terhadap kelangsungan hidup komponen biotik yang ada di ekosistem tersebut. Beberapa komponen abiotik yang berada di ekosistem sungai antara lain: bebatuan, suhu, cahaya matahari, kelembaban udara dan lain sebagainya.
Kabupaten Trenggalek terdiri dari 28 sungai dengan panjang antara 2 km hingga 41,5 km (trenggalekkab.go.id). Kota Trenggalek juga dibelah oleh beberapa sungai. Sungai yang merupakan sumber kehidupan pada awal-awal peradaban di Trenggalek, pastilah begitu luar biasa bagaimana masyarakat saat itu menjaganya. Karena mereka sangat paham bagaimana kehidupan terjadi ketika sungai tak lagi mereka jaga. Sungai saat itu benar-benar berfungsi sebagaimana adanya: sumber air minum, sarana transportasi, dan sumber air bagi pertanian, peternakan dan perikanan.
Kini dengan semakin modern, fungsi sungai tak hanya terbatas seperti tersebut di atas. Menjadi sumber energi, tempat budidaya ikan, kepiting, dan lain-lain, tempat rekreasi, wahana olahraga, serta menjadi media riset dan penelitian. Namun, semakin modern polah tingkah manusia terhadap sungai justru kampungan.
Di Trenggalek, dengan melihat akibat yang telah terjadi pada kita semua, kita tahu bagaimana perilaku kita terhadap sungai. Ya, ada faktor lain penyebab dari banjir semisal hutan yang tak lagi menjadi “hutan”. Tapi peran serta masyarakat yang mengalihkan fungsi sungai menjadi tempat sampah juga tak bisa dikesampingkan.
Terus terang saya tak begitu paham bagaimana kondisi sungai di kecamatan-kecamatan lain di Trenggalek, namun di daerah saya, kecamatan Watulimo, kondisi sungainya sudah berada di level yang memprihatinkan. Di hulu, kondisinya masih dapat dikatakan lumayan baik. Tapi mulai dari pertengahan hingga ke wilayah hilir, kondisi sungainya sungguh sangat memprihatinkan. Berbagai sampah dan limbah sudah menjadi pemandangan yang menutupi permukaan sungai di keseharian. Di Watulimo terdapat limbah? Lho, jangan salah! Watulimo juga memiliki banyak tempat usaha mulai dari skala rumahan hingga perusahaan. Dan hampir dari semuanya itu menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir limbah produksi dari usahanya.
Pada tahun 2006, kita pernah mengalami musibah banjir yang luar biasa, di tahun 2016 kembali terulang hingga merenggut korban jiwa. Jika salah satu kawan saya bilang bahwa kesadaran itu begitu murah, seharusnya secepatnya masyarakat Trenggalek sadar bahwa sungai bukanlah tempat sampah. Juga harus secepatnya sadar bahwa kebiasaan kita membuang sampah sembarangan bukanlah hal sepele yang tidak berakibat fatal.
Untuk awal, harapan saya agar sungai-sungai di Trenggalek menjadi sungai yang bersih dari sampah. Setelah itu, berusaha mengembalikan ekosistem sungai yang telah rusak.
Seperti di Yogjakarta, ada Bapak Dr. Ir. Agus Maryono yang menjadi pelopor restorasi sungai Indonesia; ada juga Bapak Totok Pratopo dari komunitas Kali Code. Saya memimpikan di Trenggalek ada satu komunitas yang menjadi pelopor untuk bergerak mengembalikan sungai ke fungsinya. Sudah ada tha? Syukurlah…
Salam Lestari!