Kabupaten Trenggalek sebagai salah satu dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, secara geografis merupakan daerah yang memiliki wilayah hutan cukup luas. Berdasarkan data wilayah, Trenggalek memiliki area yang terdiri dari wilayah darat seluas 126.140 Ha atau 1.261,40 km2 dan wilayah laut seluas ± 17.000 km2. Wilayah darat tersebut terdiri dari lahan pemajekan 64.917,70 Ha (51,46%) dan lahan Perhutani 61.222,30 Ha (48,54%); yang terdiri dari hutan produksi 45.040,30 Ha dan hutan lindung 16.182 Ha. Posisi wilayah yang hampir semuanya berdampingan dengan kawasan perhutani, membutuhkan policy pengelolaan hutan yang tepat agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kerugian ekosistem.
Berbagai upaya untuk melakukan tata-kelola hutan, pada prinsipnya telah dilakukan pemegang pengelolaan hutan. Semakin meningkatnya bencana ekologis akibat aksi liar pembalakan hutan, pada awal tahun1997, perhutani mencoba mereplikasi konsep CBFM (Community Based Forest Management) atau PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) seperti yang telah berhasil diterapkan oleh Filipina. Replikasi konsep yang setengah hati dan tidak diterapkan secara utuh sebagaimana konsep awalnya, menjadikan PHBM sebagai akronim yang sangat ironis, yakni “Pengelolaan Hutan Berbuah Masalah. Apalah arti sebuah nama kata William Shakespeare, nama adalah doa, harapan dan bahkan sebuah jati diri yang mengandung sejuta makna. Maka, perubahan nama PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) menjadi PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) berimplikasi jauh berbeda, yang bisa berakibat fatal seperti terjadinya kerusakan hutan di Trenggalek yang kita saksikan selama ini.
Perubahan konsep dari “Berbasis” menjadi “Bersama” secara sekilas memang tidak ada masalah signifikan, tetapi apabila kita cermati secara mendalam pada hakikatnya ada perubahan yang sangat substansial. Konsep berbasis memiliki makna bahwa masyarakat menjadi kekuatan dan aktor utama dalam proses pengelolaan hutan, dan sebaliknya pemerintah (perhutani) hanya menjadi supporting system pada masyarakat, selaku pengelola. Sementara itu konsep “Bersama” memiliki makna yang menempatkan masyarakat hanya berposisi sebagai sub-sistem yang berada di bawah pemerintah (perhutani). Dengan kata lain, masyarakat hanya ditempatkan pada posisi sebagai buruh penjaga hutan produksi yang tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apalagi memutuskan: sejak dari bentuk pengelolaannya bagaimana; jenis tanaman apa yang diinginkan dan pemanfaatan hasil serta bentuk hubungan hukum antara masyarakat dan hutan seperti apa. Untuk mengembalikan kedaulatan hutan lestari sebagai sebuah ekosistem, harus dikembalikan pada filosofi konsep dasar CBFM/PHBM kalau tidak menginginkan adanya pengelolaan hutan berbuah masalah.
Pembelokan dan penyimpangan makna dari suatu konsep PHBM, berdampak pada project oriented jangka pendek yang menjadikan pengelolaan hutan sebagai ajang seremonial dan pencitraan pejabat seperti penghijauan, konservasi alam, penanaman seribu pohon dan program sejenis lainnya. Padahal, program tersebut seringkali tidak sustainable dan sarat dengan muatan-muatan kepentingan antara penguasa (pemerintah/perhutani), pengusaha dan politisi. Sedang rakyat tidak memperoleh manfaat darinya. Kini saatnya bergegas melalui jargon revolusi mental pemerintahan baru Jokowi-JK, harus mampu melakukan changing paradigm di tubuh perhutani dengan tidak menempatkan hutan semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan politik, bahkan hutan tidak bisa dilihat hanya dengan hamparan tanaman kayu (hutan produksi) yang berfungsi hutan lindung. Sudah saatnya hutan dipahami sebagai sebuah ekosistem, yang di dalamya ada tumbuh-tumbuhan (flora), binatang (fauna) dan manusia, yakini Masyarakat Sekitar Desa Hutan (MSDH) yang saling tergantung dan membutuhkan.
Kebijakan pengeloan hutan sebagai sumber pendapatan negara (hutan produksi) menjadikan pemerintah (perhutani) terjebak pada logika ekonomi yang berbasis pada kepentingan kapitalis dan berorientasi timber extraction (untuk mengejar pendapatan) tanpa memperhatikan kebutuhan-kebutuhan MSDH. Apabila hal ini dibiarkan terus berlanjut, dikhawatirkan akan timbul pendekatan yang refresif. MSDH menjadi kehilangan akses terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sehingga hak-hak rakyat akan tersingkirkan dan pada gilirannya akan terjadi konflik yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Gagalnya pengelolaan hutan selama ini disebabkan oleh manajemen pengelolaan hutan yang tidak populis dan lebih mengedepankan pendekatan-pendekatan top down, masyarakat tidak pernah terlibat secara partisipatif sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dan monitoringnya. Melibatkan masyarakat hanya pada masa penanaman dan perawatan awal dengan kompensasi diberikan hak menggarap selama 2 tahun, tanpa memberikan hak atas kepemilikan tanamannya akan memperpanjang catatan kusam di seputar hutan kita. Perhutani harus menyadari bahwa masyarakat desa hutan di Trenggalek, khususnya adalah masyarakat petani subsisten yaitu petani yang menggantungkan lahan pertaniaannya pada lahan perhutani akibat dari keterbatasan kepemilikan lahan. Mereka perlu diberikan akses yang luas untuk terlibat dalam seluruh aspek pengelolaan hutan berbasis pada kebutuhan dan kepentinganya dengan tetap memberikan empowerment (pemberdayaan) akan perlunya pelestarian ekologi hutan sebagai sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui (unrenewable resources).
Pemaksaan kehendak perhutani dalam project homogenisasi penanaman pohon seperti jati, pinus, sono, mahoni yang terbukti gagal harus diakhiri dengan melakukan diversifiskasi tanaman. Sebab secara ekologis homogenisasi penanaman tumbuh-tumbuhan produksi seperti pinus, jati, sono dan mahoni merupakan jenis tanaman yang tidak ramah lingkungan. Tanaman tersebut dapat merusak ekosistem yang mengakibatkan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang. Kerusakan tanah akibat dari zat alelopati yang dikeluarkan tanaman itu dapat mengakibatkan kadar keasaman tanah, sehingga tidak ada tumbuh-tumbuhan lain selain rumput dan semak yang dapat tumbuh. Di samping itu, akar tunggang dari tanaman tersebut mengakibatkan hilangnya sumber mata air. Karena ia tidak mampu menahan laju serapan air seperti yang ada pada tumbuhan berakar serabut.
Pola pengelolaan hutan dengan homogenisasi tanaman akan mengakibatkan hilangnya species-species tumbuhan lain yang hidup di suatu wilayah. Hilangnya tumbuhan lain mengakibatkan musnahnya hewan-hewan (satwa) tertentu yang hidupnya tergantung pada tumbuh-tumbuhan tersebut. Bahkan lebih jauh, hilangnya tumbuh-tumbuhan dan hewan ini mengakibatkan adanya ketidakseimbangan ekosistem di alam. Dan yang terjadi adalah munculnya hama penyakit tanaman, perusakan tanaman dan kerusakan lingkungan di sekitar kita. Pada gilirannya, kemiskinan, rawan pangan-rawan lingkungan dan rawan pendidikan akan menghantui MSDH.
Untuk menjaga keseimbangan ekologi hutan sebagai sebuah ekosistem, mendesak dilakukan devolusi pengelolaan hutan yang menempatkan rakyat bukan saja sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek pengelola hutan. Model alternatif penanaman pohon lindung berbasis kebutuhan masyarakat seperti yang telah diinisiasi masyarakat hampir di seluruh wilayah hutan di Kabupaten Trenggalek perlu diapresiasi. Kisah sukses pengelolaan hutan rakyat dengan swadaya murni penanaman tanaman produktif yang sekaligus berfungsi sebagai hutan lindung seperti pohon durian, jengkol/jering (archidendron pauciflorum), petai (parkia speciosa), pucung/kluak/kepayang (pangium edule), kelapa, cengkih seharusnya diadopsi dan diproteksi melalui kebijakan pemerintah untuk menjamin kelestarian ekologis dan pembangunan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable development). Wallohu a’lam bi al-showwab.