Landmark Kota dan Strategi Penataan RTH di Trenggalek

Apa kira-kira tetenger yang berkesan ketika orang mendatangi Kabupaten Trenggalek? Tetenger (atau penanda) yang setidaknya membuat orang bisa menceritakan sesuatu yang merebut perhatiannya ketika tinggal atau sekadar melintasi kota Trenggalek, ketika mereka kembali ke rumah. Sebagai orang yang sering mondar-mandir di Trenggalek, saya masih kesulitan menemukan ”penanda kota” yang membuat saya gampang mengidentifikasi kota saya sendiri. Pencarian saya untuk menandainya, hingga hari ini, tak pernah berhasil. Selalu saja saya memperhitungkan (serta mengembalikan) daerah ini dari faktor letak dan topografinya, sebab Trenggalek memang sudah dari dulu berkarakter pegunungan-perbukitan di hampir seluruh wilayahnya, ditambah pesisir(an) di bagian-bagian selatannya. Mestinya, penanda kota (bahasa familiarnya, landmark) kelak dibangun dari sana: hamparan persawahan yang dibatasi pegunungan-perbukitan (agraris) serta karakter pantai dan lautnya (pesisir/maritim).

Betul, di Trenggalek memang sudah ada taman kota di beberapa titik, baik yang areanya cukup luas maupun yang berada di pinggir-pinggir jalan, termasuk hutan kota yang berada di kaki berbukitan. Kebanyakan, secara letak kurang strategis. Entah karena kesulitan mencari lokasi yang tepat atau karena ada pertimbangan-pertimbangan lain. Pemerintah kabupaten sendiri kerap tergoda lagi terkuras tenaganya untuk memikirkan ”Desa Wisata”. Meski sebetulnya, Desa Wisata bisa dikreasi masyarakatnya, seperti Desa Wisata di Sawahan, Watulimo. Perkecualian Desa Wisata Dompyong, yang dikelola masyarakat atas gagasan pemerintah kabupaten, dan nyatanya tak lagi terdengar kabarnya atau karena tak  benar-benar jelas secara konsep.

Apakah di Trenggalek harus ada ”kebun raya”, ”hutan kota” di wilayah datarannya, atau mungkin mesti punya semacam ”jalur hijau” di dalam kota yang dipenuhi baik vertical maupun horizontal garden dan para-para yang penuh berbagai tanaman hias. Bagaimana sebetulnya landmark yang kelak akan dibangun pemerintah Trenggalek? Apakah pembangunan yang sudah dan sedang dilakukan betul-betul menaati kajian tata-kota dengan prisip konfigurasi ekologi, planologi, arsitektur, struktur, juga karakter kotanya?

Maksud saya di sini, bahwa landmark bisa dikreasi dari memfungsikan kembali gagasan RTH (Ruang Terbuka Hijau). Jadi mengkaji kembali RTH yang salah satu arahnya untuk membangun landmark kota. Sebab, selain punya fungsi ekologis (keseimbangan antara pembangunan dengan alam sekitar), planologis, RTH yang baik juga bisa berfungsi secara sinergis dengan rancang-bangun arsitektur-kebudayaan. Terus terang, selama ini saya tak menemukan landmark Kota Trenggalek yang secara simbolis gampang dikenali lagi mudah ditemukan, ketika orang dari luar kota (para pendatang) mengunjungi Trenggalek. Selama ini, apa kira-kira simbol kota ini dari jenis bangunan, keberadaan taman, rancang arsitektur atau apapun yang tampak, yang dengan cepat dapat menandai kota? Kira-kira kita akan sepakat menjawab, bahwa sepertinya belum begitu nampak.

Papan nama kota di bagian selatan alun-alun, tak cukup memberi sesuatu yang ”mengesankan” bagi wilayah perkotaan. Meski, secara letak, menurut saya, bangunan itu berada di tempat yang sangat tepat, guna memapak para pendatang ketika hendak memasuki area alun-alun dari arah selatan. Sepertinya, hamparan sawah dan gunung—terutama setelah melewati Jembatan Ngasinan—meski hanya memberi kesan sekilas, adalah yang  paling mudah dibaca oleh pendatang, bahwa Trenggalek memang kota pegunungan dan persawahan. Setelah saya amat-amati, nyaris memang tak benar-benar ketemu landmark khusus, selain hamparan sawah yang dipapak oleh rangkaian gunung di kejauhan sana. Saya jadi berpikir, nanti kalau kota ini ingin membangun landmark-nya, ya mesti digagas dengan menimbang bahwa Trenggalek adalah lahan subur bagi tradisi dan seni-budaya agraris yang kuat, begitu pula karakter lingkungan pesisirnya yang juga solid.

Dari sekian faktor bertalian dengan dunia agraris dan maritim-pesisir yang dimiliki Trenggalek, kota ini tentu bisa menciptakan landmark-nya dari, sejauh mana pemerintah kabupaten tanggap untuk menggagas dan mengembangkan Ruang Terbuka Hijau-nya. Apalagi, sebetulnya, di tiap ruang kecil hingga besar dalam konsep tata-ruang (kosmosmologi), mengharuskan adanya ruang terbuka hijau. Saya tertarik membahas ihwal dan konsep ini mula-mula dari perbincangan saya dengan Pak Andi, seorang pegiat LMDH Trenggalek, pada suatu hari di warung kopi. Jadi, memang secara demografi dan ekologi, tiap wilayah atau daerah dari satuan terkecil hingga satuan terbesarnya, wajib punya semacam ”ruang terbuka hijau” dari tahap minimalis seperti pekarangan, kebun obat di belakang rumah, hutan kota dalam skala kabupaten hingga hutan lindung di tingkat propinsi untuk skala gigantis. Lalu, kira-kira sudah sejauh mana aturan begini dipraktikkan serta diadopsi oleh umat manusia, di sini khususnya, oleh pemerintah dan masyarakat Kabupaten Trenggalek?

Saya baru tahu, dan benar-benar baru tahu, kalau ternyata ada aturan atau arah kebijakan: bahwa di setiap ruang dalam wilayah administratif dari tingkat RT hingga negara, diharuskan ada RTH dari tingkat minimalis hingga tingkat gigantis (di antaranya hutan lindung) tadi. Jadi, konsep RTH itu memang mesti ada dari skala kecil di skala perumahan: dari tingkat Rukun Tetangga dan Rukun Warga, tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, hingga RTH di tingkat kabupaten, dan seterusnya. Inilah yang dinamakan membangun RTH yang menaati konfigurasi planologis (yang dalam skala kabupaten diterjemahkan di antaranya menjadi konsep RTRW/Rencana Tata Ruang & Wilayah) itu.

Kota yang baik, yang bisa mempertimbangkan rancang-bangunnya dengan memenuhi lagi mengarifi karakter wilayah, unsur ekologi, unsur planologi, sekaligus unsur-unsur alamiah dari sebuah kota, kelak akan membuatnya menjadi sustainable city (kota-kota yang berkelanjutan). Kota seperti itu meski dari tahun ke tahun terus berganti pemimpinnya, semoga akan tetap terpelihara karakternya. Dan kota-kota yang begitu, tentu didesain lagi dirancang dengan mempertimbangkan ”keseimbangan-keseimbangan kosmologis”. Tak memaksakan kehendak pembangunan, kalau bertabrakan dengan dampak-dampak lingkungan. Lagi tak mengedepankan nafsu yang timbul sekadar demi mereguk keuntungan-keuntungan jangka pendek.

Saya boleh tanya? Kini, apakah di sekitar pekarangan Anda; di kanan-kiri rumah terdapat tanaman obat atau tanaman pot dari berbagai jenis? Apakah di tingkat RT di sekitar rumah kita, sudah terdapat lahan khusus berisi hijaunya tanaman dan pohonan? Apakah di desa kita ada lahan khusus yang digunakan untuk penghijauan? Apakah di area kecamatan, ada hutan khusus yang digunakan sebagai semacam ”hutan lindung” yang betul-betul ditanami pohon-pohon besar—bukan sekadar dipenuhi pohon dan tumbuhan produktif? Apakah di tingkat kabupaten, ada semacam RTH, yang benar-benar diperhatikan lagi berfungsi dengan baik?

RTH yang terkonfigurasi dengan baik, tentu akan berjalan-beriring fungsinya sebagai penyerap polutan (dengan ketersediaan pohon dengan keanekaragamannya), meresapakan air hujan dan mengatasi banjir, di satu sisi, dan fungsi estetis dan budaya, di sisi lain. RTH dari jenis hutan kota, taman-taman, dan ruang hijau lain, termasuk dalam kategori mengembangkan konsep RTH. Dan sebetulnya, RTH ini kalau dimaksimalkan bisa berfungsi untuk melahirkan kreasi landmark kota, sebagai penanda bagi para pendatang dan pengelana untuk mengingat secara kuat bahwa sebuah kota kabupaten memiliki kesan yang sulit hilang. Lalu, apakah pemanfaatan lahan di Trenggalek, kira-kira sudah sesuai dengan kaidah tata-ruang dan semangat untuk mengkonservasi alam? Apakah pembangunan daerah (hutan) sudah berwawaskan lingkungan dan kebijakan planologi? Bagaimana kebijakan pemerintah dan perhutani dengan, misalnya peristiwa longsor dan banjir, yang dari tahun ke tahun kerap menghajar Trenggalek?

***

Membuat landmark kota memang harus menaati karakter sebuah kota. Sebab, kalau landmark dibuat tak menyesuaikan karakter kota, konsepsinya bakal lebih menyulitkan. Pada akhirnya juga akan menghambat orientasi dan kesan para pendatang atau warga kotanya sendiri. Kendati landmark bisa menimbulkan kesan: ketika dibangun dari bahan-bahan yang mudah dilihat (visual). Ya, bagaimanapun landmark yang tepat dan bagus, bisa mengarahkan orang secara cepat membaca orientasi sebuah kota, dan melahirkan kesan. Sebuah simbol yang yang menancap, entah gedung, taman atau bangunan aristektur kota, antara lain, bisa cepat membuat orang terarahkan orientasinya, bahkan guna membaca keseluruhan orientasi kota. Sebuah kota yang pendatangnya mudah menemukan arah dan orientasi—tanpa disadari penduduknya—juga akan mudah membaca gerak sebuah kota, tengah menuju ke mana.

Landmark adalah penanda yang berada di ruang, yang membentuk lanskap sebuah kota. Tapi, ia juga bisa menjadi penanda bagi keunikan sebuah daerah yang tak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Bahkan, kalau bisa, keunikan yang berbeda dari segala tempat di dunia. Landmark kalau bentuknya simbolis, memang mestinya terletak di tempat-tempat strategis, mudah dilihat pendatang serta dikunjungi orang. Tapi tak gampang untuk menciptakan landmark yang bukan hanya simbolis, lagi tak membuat orang jenuh. Tulisan ”Trenggalek” yang berada di bagian selatan alun-alun—yang sempat kontroversial karena menggunakan ”t” kecil, untuk nama sebuah kota yang mestinya menggunakan ”T” besar—saat ini memang banyak disukai orang untuk berfoto-selfie, sekadar duduk-duduk di depannya mencari suasana dan menghilangkan penat di rumah. Tapi, saya tak bisa menjamin beberapa tahun ke depan, orang-orang tidak akan mengalami kebosanan dengan bangunan tersebut? Kadang-kadang, ketika saya melintasi sepanjang jalan mulai dari pertigaan Jarakan hingga Jembatan Ngasinan, tampak trotoar di sepanjang jalan tersebut tak lagi berfungsi dan enak ditapaki kaki. Sepanjang jalan tadi, pohon-pohon yang agak tinggi tampak sudah menjuntai ke tengah jalan, dan membuat jalanan tampak semrawut saat dipandang.

Kota ini andai memang membuat landmark harus beda, minimal jangan sampai meniru-niru gaya macam Kota Kediri dengan ”simpang lima gumul”-nya yang dimirip-miripkan dengan Arc de Triomphe di Paris. Sebuah landmark yang punya sisi historis dan daya ingat kebudayaan yang kuat, lebih mampu memunculkan kesan kuat, ketimbang benda-benda yang baru dibuat. Bisa kita lihat Jam Gadang di Bukittinggi, Piramida di Mesir, Taj Mahal di Kota Agra, adalah di antara landmark yang kuat, karena diangkat dari ciri khas dan karakter sebuah kota. Sementara Trenggalek sendiri tak punya bangunan-bangunan bersejarah tinggalan masa lampau, karena barangkali sudah ludes diratakan dengan tanah dan dibikin bangunan baru. Nah, saatnya memang kalau kabupaten ini kelak membuat landmark, mesti menyesuaikan karakter kotanya, misal dari sungai, karakter tata-kota agraris atau maritim dengan keindahan bukit dan gunung atau pesisir-pesisir pantainya. Oke, biar ini menjadi pikiran Bupati dan Wabup-nya, sekaligus urusan para perancang kota yang ditugasi, asal kelak pembangunan jangan sampai meninggalkan karakter dan kekhasan wilayah lagi segala bentuk kearifan lokal di Trenggalek. Semoga.

Sumber gambar: Taman Buring Malang (exnus.blogspot.co.id)

Artikel Baru

Artikel Terkait