Bulan kemarin, tepatnya tanggal 25 September, telah terlaksana lomba jelajah alam yang dilaksanakan oleh organisasi pecinta alam NIPONK dari Watulimo, Trenggalek. Even rutinan tersebut adalah yang ketujuh kalinya mereka adakan. Medan yang dijadikan rute jelajah adalah alam Watulimo. Dengan mengeksplorasi hutan, pegunungan, perbukitan, lembah dan sungai-sungai yang ada di Watulimo, di antara tujuan kegiatan NIPONK ini, tak lain adalah ingin memperkenalkan alam Watulimo dengan segala kealamiahan dan keindahannya.
Di even yang ketujuh tahun 2016 ini, NIPONK juga bekerja sama dengan Komunitas Restorasi Sungai Trenggalek . Wujud kerja sama mereka salah satunya adalah peserta lomba jelajah alam tersebut diharuskan menyusuri sungai. Sekitar 30– 40% rute yang dilewati adalah sungai. Mengapa begitu, bukan tanpa maksud, ini semua adalah untuk kembali mengenalkan peserta kepada sungai. Dengan mengenal, harapannya peserta akan lebih “menyayangi” sungai. Tak kenal maka tak sayang, bukan?
Komunitas Restorasi Sungai Trenggalek terdaftar di Komunitas Restorasi Sungai Nasional dengan nomor register 22. Meskipun masih berusia muda, tepatnya diresmikan pada tanggal 03 September 2016 kemarin, tapi kiprah mereka tak bisa diremehkan. Berbekal semangat berbakti untuk alam, mereka tak sekadar ngumpul, tapi juga bergerak aktif menjalankan misi. Berbagai kegiatan awal dalam merestorasi sungai sudah mereka laksanakan.
Restorasi sungai, dalam pemahaman saya adalah usaha mengembalikan fungsi alami dari sungai. Di Indonesia, pemikiran restorasi sungai sudah berkembang sejak lama. Dari tahun 2001 pemikiran-pemikiran ini mulai disebarluaskan melalui forum-forum ilmiah dan media massa ke seluruh tanah air oleh banyak pihak. Paling tidak, seperti itulah yang ditulis oleh Dr. Ing., Ir. Agus Maryono, pakar dan pemrakarsa restorasi sungai, penerima penghargaan restorasi sungai dari Presiden Republik Indonesia di bukunya yang berjudul “Restorasi Sungai”.
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Komunitas Restorasi Sungai Trenggalek tidak hanya pada sungai semata, namun juga ekosistem yang berkaitan dengan sungai. Dimulai dari pendataan sungai-sungai yang ada di Watulimo, kondisinya, ekosistem (biotik dan abiotik) yang ada di sungai serta lingkungan sekitar daerah aliran sungai (DAS). Yang terbaru, tanggal 9 Oktober kemarin, mereka melakukan kegiatan susur Sungai Sabrangan. Pada di sungai ini terdapat jurug yang kini menjadi lokasi wisata baru di Watulimo, tepatnya di Desa Slawe, Watulimo.
Susur sungai yang baru saja mereka lakukan adalah salah satu aksi nyata dalam menjaga alam, tentunya selain melaksanakan program me-restorasi sungai. Dalam kegiatan tersebut, mereka melakukan pendataan: hewan-hewan dan tumbuhan-tumbuhan apa saja yang ada di daerah aliran Sungai Sabrangan, bagaimana kemurnian air sungainya, sampah-sampah yang ada di sungai dan lain-lain, yang mendukung kegiatan dalam me-restorasi sungai.
Seperti pada komunitas restorasi sungai daerah lain, kebanyakan dari mereka bergerak atas kepedulian terhadap alam. Di Trenggalek, hingga saat ini peran pemerintah dalam pelestarian sungai, khususnya restorasi sungai sangat minim. Apalagi dengan kondisi sungai-sungai yang ada di Trenggalek ini, seharusnya sudah sejak lama terdapat suatu satuan kerja yang mengurusi itu. Tapi entahlah, mungkin keberadaan sungai bukanlah sesuatu yang penting bagi pemerintah.
Kesungguhan niat mereka dalam berbakti untuk alam mengatasi tekanan atas tanggung jawab dan tugas berat yang sudah mereka ketahui dan sadari sedari awal, ketika mereka bergabung dalam Komunitas Restorasi Sungai Trenggalek. Caranya? Sudah mereka tunjukkan. Dan dengan berbagai kegiatan yang sudah mereka laksanakan, Komunitas Restorasi Sungai Trenggalek bukan sekadar seremonial, kan?
Semoga apa yang mereka lakukan tidak hanya menjadi sinisme, bagi pihak lain, untuk lebih peduli sungai. Namun menjadi sebuah tamparan keras.
Salam Lestari!