Kabupaten Trenggalek jamak dikenal dengan kawasan pesisir—garis pantai membujur di sisi selatan. Di samping itu, daerah ini dipenuhi gunung dan hutan. Kedua sektor tersebut saling menyejahterakan bagi penduduknya. Sektor maritim dengan hasil tangkapan ikan melimpah dan tempat pariwisata yang menawan nan eksotis, sektor agraris pun tidak kalah membanggakan untuk menambah pendapatan asli daerah lewat panenan beberapa tanaman yang potensial. Karena itu, para petinggi di kabupaten ini “menyombongkan” diri memilih slogan kota dengan sebutan Trenggalek Southern Paradise ketimbang Trenggalek Berteman Hati. Sebuah kota kecil yang memiliki sejuta pesona, dan potensi di dalamnya, yang membentuk surga kecil di Jawa.
Namun, entah kenapa ceritanya, laut selatan, khususnya pantai di Trenggalek, akhir-akhir ini sedang mengalami paceklik musim ikan? Laut tak lagi bertuah. Ikan pun lama tak jadi menu sarapan di atas meja keluarga dengan gratis. Melaut tidak bisa lagi diandalkan untuk mencukupi kebutuhan warga dalam sehari. Sebab, hampir satu tahun belakangan ini, para nelayan (terutama di daerah Prigi), tidak melaut karena ikan sulit didapat. Sementara, dari sektor wisata juga mengalami pengurangan pengunjung akibat akses jalan menuju tempat wisata sedikit mengalami kendala.
Seperti kata pepatah Jawa, janji gelem mlampah, ya bakal mamah. Pepatah utak-atik gatuk ini kiranya relevan dengan kondisi sekarang. Selama laut tak bisa menjadi sumber mata pencaharian, warga (para nelayan), yang memiliki gaga (lahan pertanian), memilih untuk mengolah tanah atau bertani. Mereka berkebun atau bertani di hutan, memanfaatkan tanah untuk ditanami berbagai jenis tumbuhan dan tanaman.
Selain pohon cengkih, pohon pisang, (durian, salak dan manggis, khusus hanya di beberapa desa), merupakan tanaman yang banyak ditanam di kawasan hutan. Meski secara tradisional pisang tidak dibudidayakan secara intensif atau dikembangkan secara masif, tetapi bagi para petani di lingkungan saya, banyak menanam pohon pisang di sela-sela pohon yang lain rasanya menyenangkan. Sebab, pohon pisang tak merusak tanaman lain, memiliki masa panen yang singkat, dan dapat ditanam di mangsa apa saja.
Kegunaan buah pisang banyak sekali. Selain menjadi bahan baku sriping dan sale, pisang juga bisa dibuat nagasari. Pisang dapat juga menjadi bahan baku makanan khas desa maupun pembuatan olahan masyarakat kaum urban. Manfaat pisang juga baik untuk kesehatan; memperlancar percernaan juga baik untuk diet. Satu sisi, pisang adalah makanan bergizi, jenis buah-buahan yang mengandung vitamin dan sumber energi.
Banyak penelitian menyebutkan, nilai energi pisang dua kali lipat lebih tinggi daripada apel. Energi yang terkandung di dalam buah pisang adalah air, gula, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Dan berkat tingginya nilai gizi yang dikandung, maka ia telah menjadi makanan penting (pokok) bagi banyak orang. Oleh karena itu, pisang merupakan tumbuhan yang kerap menjadi makanan primer di atas meja keluarga.
Banyak atlet sebelum bertanding atau jeda pertandingan mengonsumsi pisang sebagai cadangan energi. Meski dalam olahraga, pisang kerap dicitrakan sebagai simbol rasis. Banyak pemain bola yang menjadi sasaran cemooh bernada rasisme. Seorang pemain sepak bola pernah diejek karena warna kulitnya, seperti “monyet” yang mengonsumsi buah pisang.
Terlepas dari itu, bahwa Indonesia merupakan salah satu penghasil pisang terbanyak di dunia. Menurut data pada 2013, Indonesia merupakan negara terbesar ke tujuh produsen pisang di dunia. Kementerian pertanian mencatat produksi 6,2 juta ton/ tahun, situs worldknowing merilis angka 6,4 juta ton/ tahun. Sedangkan di dunia, produsen tertinggi penghasil pisang adalah negara India (29-30 juta ton/ tahun), China (11,6 juta ton/ tahun), Uganda (11,2 juta ton/ tahun), Filipina (9,4 juta ton/ tahun), Ekoador (8,2 juta ton/ tahun), dan di atas Indonesia, yang memiliki iklim hampir sama dengan Indonesia adalah Brazil dengan 7,6 juta ton/ tahun.
Pertumbuhan pisang tidak rewel. Ia hidup di iklim tropis, yang membutuhkan panas dan hujan secukupnya. Petani tinggal menancapkan anak pohon, diairi secukupnya (jika sedang kemarau). Ya, kalau bisa dipupuk biar hasil dan beratnya memuaskan. Tanpa itu pun, ia akan tumbuh dengan sendiri.
Namun harga pisang di daerah saya fluktuatif. Petani kerap jadi korban. Harga kerap turun jika pisang telah sampai di tangan tengkulak.
Mendengar cerita dari petani tersebut ada rasa prihatin seketika hinggap. Hal tersebut tidak berlaku untuk harga pisang saja, tetapi di wilayah pesisir, harga ikan saat musim ikan pun mengalami peristiwa demikian; murah meriah, seperti tidak ada harganya sama sekali. Jelas, ini tak sebanding proses dan jerih payah seorang petani maupun para nelayan.
Jika tahun 2011, Jawa Tmur merupakan penghasil terbesar pisang dengan rekor tertinggi 1,18 ton. Tahun pada 2015, Lampung menyalip Jawa Timur dan Jawa Barat di posisi tertinggi. Lampung di tahun itu nyaris menembus 2 juta tondengan luas lahan 15 ribu hektar. Jika capaian tersebut tak diimbangi dengan harga pisang yang pantas, tak dipungkiri, produksi pisang di Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Trenggalek, akan mengalami penyusutan dan beralih memproduksi tanaman lain.