Teringat pemandangan beberapa bulan kemarin. Ketika saya menjadi panitia bantuan di even WMBC Adventure Series tahun 2016. Acara adventure menggunakan sepeda gunung di Kecamatan Watulimo. Acara tersebut dilaksanakan oleh WMBC (Watulimo Mountain Bike Club), sebuah komunitas pecinta olahraga bersepeda di Watulimo.
Saat itu saya diberi tanggung jawab membantu panitia bertugas mendokumentasikan kegiatan. Mulai dari pemberangkatan yang dibuka oleh Wakil Bupati Trenggalek, hingga giat sarapan pagi bersama Wakil Bupati didampingi anggota DPRD kabupaten, camat Watulimo, kepala desa Gemaharjo juga beberapa panitia WMBC.
Selama saya membantu panitia, ada beberapa hal yang menarik. Utamanya adalah saat akan mendokumentasikan giat sarapan pagi dan bincang-bincang dengan wakil bupati bersama camat Watulimo, kades Gemaharjo, dan panitia even WMBC. Giat tersebut kebetulan berada di Kebun Salak Watulimo, Desa Gemaharjo. Saat itu, saya sedikit terlambat mengikuti wakil bupati, sehingga segera saya menyusul ke lokasi.
Saya bersama Pak Khusnul Mutholib, seorang direktur lembaga pendidikan anak usia dini, yang belum lama ini lembaganya mendapatkan gelar terbaik dalam bidang managemen. Di tengah kesibukannya mengurusi lembaga dan berbagai organisasi yang beliau ikuti, Pak Tholib masih memiliki kepedulian yang luar biasa terhadap lingkungan.
Menuju Kebun Salak Watulimo, jalan ke sana sedikit turun. Nah, di tengah perjalanan itulah, saya dan pak Mutholib menyaksikan pemandangan: ada orang buang sampah di sungai! Tidak seharusnya buang sampah di sungai, sebab sungai ini telah menjadi salah satu ikon dari Kebun Salak Watulimo. Lokasi wisata yang sengaja didesain untuk menyuguhkan keasrian wilayah. Bagaimana akan menjadi lokasi wisata yang asri jika kesadaran masyarakat sekitar untuk menjaga lingkungan rendah?
Kebun Salak Watulimo memang menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Selain lokasi yang asri dan segar, kebetulan di pinggir sungai, juga terdapat warung yang menyediakan makanan pedesaan serta olahan buah khas Watulimo, khususnya buah salak seperti kolak salak. Jalanan di tempat tersebut juga sangat bersih karena sudah di-semen. Meskipun begitu, konsep tata bangunan yang disuguhkan tetap suasana pedesaan. Dan menurut saya, itu adalah salah satu faktor yang membuat Kebun Salak Watulimo menjadi asri dan menarik.
Sungai, yang merupakan view dari lokasi wisata tersebut, tak sekadar menambah keindahan. Namun juga bisa menjadi arena bermain dan bersosialisasi antarpengunjung. Menurut saya, justru sungai itulah yang menjadi pokok penilaian pengunjung terhadap lokasi wisata di sini. Baik buruknya Kebun Salak Watulimo yang akan disampaikan oleh pengunjung ke sanak saudara, dan teman-temannya (calon pengunjung lain), berhubungan dengan bagaimana masyarakat penampilkan latar sungainya.
Jadi, jika penampilan sungai adalah salah satu yang terpenting, maka sepertinya kewajiban melestarikan dan menjaga lingkungan di lokasi Kebun Salak, khususnya sungai, bukan mutlak tanggung jawab pengelola lokasi wisata, namun juga tanggung jawab seluruh masyarakat sekitarnya.
Memang sih mengajak orang lain untuk tidak buang sampah di sungai bukan perkara gampang. Wong mengajari diri sendiri untuk tidak buang sampah sembarangan saja, susahnya minta ampun. Iya, kan?
Selain kesadaran individu, diperlukan juga penyadaran berulang-ulang dari orang-orang di sekitar. Masyarakat yang sadar lingkungan tidaklah serta merta terbentuk begitu saja, terdapat proses yang tidak gampang dan sebentar. Bisa dimulai dari satu orang, dua orang, dan seterusnya. Mula-mula minimal saling mengingatkan bahwa sungai tidak patut dijadikan tempat sampah atau membuang segala jenis limbah rumah tangga.
Salam Lestari!