Menjadi Manusia Trenggalek yang Sadar Bencana

Orang Indonesia mengenal dua musim: musim kemarau (panas) dan musim penghujan. Musim panas tiba pada bulan April sampai September, sementara musim penghujan akan melanjutkannya pada bulan-bulan berikutnya: yakni bulan Oktober hingga Maret. Kemarau dan hujan masih berlangsung secara silih berganti di sekitar bulan-bulan tersebut, meski pergantian musim sudah tidak lagi tiba dengan ketepatan yang terprediksi, alias tidak lagi patuh dengan bulan-bulan yang tercatat dalam kalender. Musim bisa datang mendahului; bisa juga datang terlambat.

Sudah sejak dahulu agaknya menjadi penduduk yang tinggal di sekitaran kaki pegunungan di saat musim hujan tiba, sebagaimana mayoritas penduduk Trenggalek, yang daerahnya sebagian di lokasi-lokasi yang terkategori miring, kerap mendatangkan “pengalaman” tersendiri. Dengan keberadaan jalan-jalan antardesa dan kecamatannya yang juga berada di lereng-lereng pegunungan. Tatkala musim hujan sedang berlangsung, tak boleh tidak seperti selalu ada saja tanah yang melorot; entah tanah yang berada di tebing dekat jalan atau tanah-tanah yang kebetulan berada di atas pemukiman-pemukiman penduduk di kaki bukit.

jalan-longsor-trenggalek

Tanah-tanah di tebing yang longsor tidak jarang ngebruki rumah, yang kalau tak menghasilkan korban jiwa, sering menghasilkan kerugian material: kerusakan rumah beserta seluruh isi-perabotannya. Kalau kebetulan tanah atau lereng yang melorot di samping jalan, longsorannya bisa menutupi jalan dan sudah tentu membuat para pelintas menjadi terkendala dengan putusnya akses. Sudah jalan-jalannya lubang dan tergenang juga sebagian licin, harus ditambah longsor di sana-sini. Harus ekstra tabah, meski memaksa-maksakan diri untuk tabah. Kalau jalan tersebut tenyata lintasan penting antarkota: akses orang-orang yang biasanya pulang-pergi untuk keperluan pekerjaan sehari-hari seperti para pedagang, dan orang yang bekerja di luar kota, yang pada tiap minggunya pulang mengunjungi sanak keluarga. Padahal akses satu-satunya ya cuma jalan tersebut, bisa terasa agak sedikit nelangsa hidupnya.

Selain longsoran, yang tak kalah sengit mendatangi pemukiman penduduk Trenggalek adalah banjir. Banjir bukan cuma selebrasi air kuning bercampur lumpur yang meluberkan sungai, melainkan sering pula banjir mendatangi pemukiman dan menenggelamkan sawah-sawah. Banjir mendatangi pemukiman sejak dari tinggi sebetis orang dewasa hingga setinggi pusar. Kalau membandang, ia bisa menenggelamkan pemukiman, termasuk sawah-sawah, yang bisa membuat para petani gagal panen.

Kadang, ia datang malam hari, saat penduduk sedang enak-enaknya terlelap, dengan membuat aliran yang membandang membawa serta semua yang ditemuinya: gelondongan kayu, ranting-ranting pohon, sampah-sampah yang ditinggalkan manusia di daerah hulu. Banjir menggenang pemukiman bisa jadi karena alurnya di sungai-sungai mendangkal, oleh perbuatan masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) itu sendiri, yang menimbun rupa-rupa sampah dan segala residu rumah tangganya. Suka tidak suka, di pikiran masyarakat kita memang ada kebiasaan yang menganggap bahwa sungai adalah lokasi yang enak dan representatif untuk membuang sampah dan limbah yang dihasilkan manusia. Bukan cuma limbah dari barang-barang yang kita cerna, melainkan juga segala limbah yang diproduksi tangan dan kaki manusia.

Air dapat menciptakan longsor dan banjir. Air sungai yang berada di pinggir lintasan, pada saat banjir melanda, mampu menggerus jalan-jalan dan mengambrukkannya ke bawah. Ia tak akan melihat apakah jalan tersebut sudah diaspal atau cuma ditumpuki batu (jalan makadam); apakah itu jalur antarkota atau sekadar jalur antardesa. Banjir sungguh tak peduli perihal apakah yang hendak dibanjiri jalan penting atau kurang penting. Longsor beberapa bulan ini, baik yang melorotkan tebing di tepi jalan atau meruntuhinya serta yang memutuskan akses transportasi, rasa-rasanya seperti terus menyambangi jalanan antar-kecamatan di Kabupaten Trenggalek. Setelah Durenan-Watulimo dan Kampak-Munjungan sebulan yang lalu, kini beralih lokasi menimbun lintasan jalan di Kecamatan Tugu menuju Sawo, Ponorogo, serta merontokkan lintasan jalan antarkecamatan di Suruh-Dongko dan Dongko-Panggul, lintasan menuju Pacitan.

Longsor disebabkan tebing yang gundul dengan dipicu air hujan yang lebat beberapa hari kemarin terjadi di jalan Ponorogo-Trenggalek KM 16. Kalau kita lihat ke lokasi, beberapa tebing di sepanjang jalan Ponorogo-Trenggalek memang tampak rapuh. Akibatnya, ketika musim hujan tiba seperti beberapa hari ini, dengan curah yang rata-rata tinggi, pori-pori tanah kering yang sudah membuka akan rawan melorot saat musim hujan. Apalagi di atas lereng-lereng bukit di sepanjang jalur ini tampaknya memang minim pepohonan besar yang kita tahu, akar-akarnya sangat bermanfaat memperkuat tanah.

longsor-trengalek

Beberapa hari kemudian terjadi lagi peristiwa jalan amblas alias melorot di Suruh pada KM 14, yang membuat tembok penahan jalan ikut ambrol. Juga di ruas jalan Panggul-Trenggalek, tepanya di Desa Cakul, Dongko KM 41, yang diakibatkan oleh gerusan banjir yang meluap dan mengikis tebing yang di atasnya adalah jalan beraspal tembusan Trenggalek ke Pacitan. Kikisan atau gerusan air (erosi) di musim hujan yang terus-menerus tersebut menyebabkan tebing melorot ke sungai. Ketiga longsoran tersebut kebetulan berlokasi di jalur-jalur penting penghubung beberapa kabupaten di bagian barat daya Jawa Timur (Trenggalek-Ponorogo; Trenggalek-Pacitan).

Trenggalek sendiri adalah lingkungan alam yang topografinya dekat dengan bencana, baik longsor maupun banjir bandang. Karena itu, masyarakat harus mampu beradaptasi, selain dengan lingkungan yang nyaman dengan semilir angin, juga dengan kemungkinan buruk dari bencana yang timbul, dari banjir dan tanah longsor. Di titik ini, mitigasi bencana yang paling awal bagi masyarakat, saya kira adalah tetap kesadaran diri manusianya terhadap karakter lingkungan terdekatnya, sekaligus cepat tanggap sejak dari jauh-jauh hari dengan model lingkungan alamnya tersebut.

Kesadaran diri yang baik bisa menggerakkan masyarakat sekitar pegunungan untuk tak hanya defensif di saat tak sedang musim hujan, melainkan juga turut aktif menghindari kemungkinan bencana misal dengan mengurangi dan memperkecil efek buruk dari bencana. Menanami tebing yang gundul, tidak lagi membuang sampah di sungai, tidak menebang pohon sembarangan, meskipun lokasi pepohonan tidak berada di pegunungan.

Pendeknya, segala tindakan manusia terhadap alam sekitar, harus disadari masing-masing akan menghasilkan efek seperti apa. Untuk itu, membuang sampah tanpa memikirkan efek yang akan timbul setelah sampah jatuh di permukaan air adalah bagian dari tindakan ngawur dan tak sadar lingkungan. Perilaku serta tindakan yang buruk dan destruktif terhadap lingkungan bisa membuat kita tercerabut dari realitas lingkungan sekitar kita. Begitu pula tindakan menebangi pohon dan membiarkan tanah-tanah di sekitar pegunungan yang gundul atau digunduli adalah bagian dari tindakan destruktif dan tak sadar lingkungan juga.

Artikel Baru

Artikel Terkait