Desa dan Kegagapan Penduduknya

Apa yang bisa diberikan oleh dunia bagi masyarakat (desa) dalam melakoni beban hidup di era yang hingar-bingar seperti sekarang ini? Kini, di desa maupun di kota, sangat kuat ditandai peran dan kuasa hasil-hasil rekayasa manusia itu sendiri.

Di tahun 2008, Radhar Panca Dahana, esais cum sastrawan pernah mengatakan bahwa manusia direkayasa oleh teknologi media, militer, ekonomi dsb. Tentang perkembangan teknologi, kita memang sedang di-lolohi oleh teknologi super canggih tanpa kita bisa membendung dengan (tangan) terbuka. Sadar atau tidak, teknologi telah menyatu dan menyelinap di ruang-ruang privat keluarga—yang dahulu tak sempat terpikir, bakal hidup menikmati layanan super canggih nan cepat seperti sekarang.

Dulu, wajah desa kita kenal dengan kehidupan yang damai, penuh keakraban dan kehangatan antartetangga, interaksi sosial antarwarga juga kesahajaannya. Penduduk desa selalu hidup berdampingan: mementingkan kepentingan bersama, menjunjung tinggi keputusan dan mufakat. Selalu merawat silaturahim atau sanja di rumah-rumah tetangga. Hidup pun jadi rukun, damai dan sentosa. Tersebab, penduduk desa meyakini bahwa manusia paling mulia adalah manusia yang migunani marang liyan.

Pendek kata, watak relasi sosial masyarakat desa identik dengan watak guyup rukun, bukan manut grubyuk—mem-buntut-i perubahan dari  luar. Kolektivitas kehidupan bermasyarakat warga desa dijaga dan dirawat demi kehidupan harmoni.

Namun kini—meski tidak semua—pedesaan dan perkotaan “hampir” tidak ada sekat yang membedakan. Perbedaan stereotipe antara desa dan kota demikian tidak jelas lagi. Karakter sosial masyarakat desa dan kota sulit dibedakan. Kecuali desa-desa adat yang dengan susah payah menjaga hukum-hukum adat, penduduk desa telah mengikuti tren berpikir masyarakat kota. Masyarakat desa, meski secara geografis termasuk desa, digiring untuk mengikuti nalar penduduk kota.

Kita, orang desa, telah di-cekok-i oleh iklan, media dan teknologi yang serba kekinian. Mau tidak mau, kita meniru gaya dan mengikuti arus orang kota. Parameternya pun juga berubah. Bila parameter sebuah kemajuan adalah televisi, montor, mobil dan barangkali internet, maka indikator semua itu telah berada di teras rumah warga desa. Semuanya hadir dan menjadi barang primer bagi orang desa. Dan, tentunya hal ini dicapai sekadar memburu status prestise dan pengakuan atas martabat sosial dari orang lain. Namun, yang tidak banyak disadari orang desa—yang nota bene sebagai penikmat teknologi dan informasi, dan sedang rakus-rakusnya—menjadi permasalahan sendiri di lingkungan desa itu sendiri.

Berbicara tentang teknologi, memang memberikan sumbangsih dan peran demi kesetaraan antara desa dan kota. Tetapi sesungguhnya dengan kemajuan teknologi ini berimplikasi dengan permasalahan di desa. Menurut Rahmat Petuguran (2014) “Teknologi dianggap sebagai produk budaya adi luhung sehingga harus dimiliki meski dengan perjuangan. Teknologi, sebagai metafora kemajuan, menjadi simbol kemakmuran. Masyarakat mulai gila teknologi karena berkait dengan prestise taraf hidup pada derajat tertentu.” Oleh sebab itu, saat ini tidak sedikit petani menjual lahan gaga untuk beli sepeda motor atau mobil.

Teknologi, diakui atau tidak, mulai menggantikan peran-peran sosial yang dahulu diperankan oleh manusia. Orang lebih suka menghabiskan waktu dengan teknologi daripada bertatap muka dengan orang lain. Lebih suka berkirim surat via online meski jarak beberapa langkah. Sebelum televisi dan handphone belum menjadi “teman karib”, warga desa saling memiliki banyak waktu luang dan gemar saling mengunjungi dan ber-sanja. Namun kini televisi dan handphone—yang diyakini sebagai simbol kemajuan—mampu menahan para pengguna teknologi ini untuk tetap duduk, stay, tidak ke mana-mana, setia dengan teknologinya yang berada di depan mata.

Selain itu, teknologi kerap mempersempit ruang-ruang interaksi sosial masyarakat. Kita mafhumi bersama, anak-anak yang lahir di generasi 80 dan 90-an, yang belum tersentuh langsung dunia digital, sangat senang bermain di luar rumah; berinteraksi antarteman di ruang terbuka. Berbeda dengan anak-anak yang lahir pada generasi digital, interaksi antarsesama sangat terbatas. Karenanya, mereka lebih suka berdiam diri di dalam rumah, dan asik bersama gadgetnya ketimbang bergaul dengan teman-teman di luar.

Dan yang lebih fresh, di lingkungan rumah dan kuat dugaan saya, dampak dari teknologi; smartphone atau android berakibat interaksi sosial warga jadi terbatas. Tradisi jagong bayi yang seharusnya dan sudah dari dahulu selepas Magrib, pemuda desa selalu berkumpul di rumah di rumah si empunya momongan. Mereka dengan  gayeng berkumpul dan ngobrol  ngalorngidul sambil makan cemilan tradisional. Akan tetapi, tradisi tersebut sedikit-demi sedikit mulai ditinggal. Tradisi jagong bayi ini hanya segelintir orang saja yang melakukan sanja untuk jagong bayi. Padahal dahulu tradisi jagong bayi ini ramai dan selalu ditunggu-tunggu.

Secara implisit, di ruang tradisi jagong bayi ini bakal ada interaksi yang kuat. Obrolan seluk-beluk tentang politik, keadaan desa, tentang utang-piutang dan tentang perselingkuhan pun kerap menguap di tengah berkumpulnya orang-orang desa tersebut. Tradisi yang seharusnya dijaga sebagai sarana srawung-sesrawungan perlahan ditinggalkan. Mereka lebih asik duduk dan berdiam diri di depan kotak berlayar dengan tontonan yang menawarkan hiburan dan doktrin konsumtif.

Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun)—dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya (2013) di tahun 1975 memberi wejangan, “Kita seharusnya lebih berhati-hati menterjemahkan makna kemajuan.” Oleh karena itu, atas perkembangan dan kemajuan teknologi (militer dan ekonomi), kiranya kita telah digerakkan oleh tangan-tangan kapitalis menjadi manusia naif. Yang didorong dan dipaksa untuk mengikuti kultur orang kota. Yang melupakan kebiasaan orang-orang desa dahulu; dan menganggap peristiwa upacara adat yang dijaga oleh generasi ke generasi sebagai peristiwa seremonial. Puncaknya, penduduk desa kerap meniru tradisi luar, dan kerap berpikir pragmatis untuk menyelesaikan segala persoalan.

Artikel Baru

Artikel Terkait