Merintis Hutan Bakau di Munjungan

Beberapa minggu lalu saya ke pinggir Pantai Blado dan mendapati pemandangan baru, betapa di beberapa lokasi sekitar pantai, tampak telah disulap menjadi kolam-kolam (tambak) dadakan. Di bagian timur, hanya tersisa sedikit kawasan hutan bakau (mangrove) mini yang (sedang) mendapat perhatian masyarakat sekitar, khususnya oleh kawan-kawan Komunitas Peduli Lingkungan (kopel), Among Mangrove. Di sepanjang pantai bagian timur ini, berjajar bangunan, baik permanen maupun semi permanen, dengan ujung paling timur lokasi keberadaan Tempat Penjualan Ikan (TPI) sederhana. Dalam konteks pesisir Trenggalek, nelayan-nelayan di pantai Munjungan (termasuk Ngadipuro) serta nelayan pantai Panggul, kerap terasosiasi sekunder, setelah nelayan Pantai Prigi.

Sekian lama hutan bakau Munjungan, di Teluk Sumbreng ini, telantar. Garis Pantai Munjungan cukup panjang, yakni sekitar 3 kilo meter. Namun hutan mangrove-nya punya wilayah yang cukup sempit. Di bagian barat pantai, sepanjang garis yang memanjang sisanya, hingga Desa Craken, adalah hamparan persawahan dan jajaran pohon kelapa. Mangrove yang tak seberapa luas ini, karena itu menjadi sangat penting keberadaannya sekaligus keberlangsungan hidupnya. Kendati mini, jika masuk ke dalam, tersaji suasana nyaman dan asri.

Di sini tumbuh beberapa jenis mangrove, di antaranya memiliki struktur kayu yang tinggi mencapai lebih dari 10-an meter. Ada pula bakau dari jenis nipah, dengan buah-buah yang menggelantung. Sungai membelah di tengah-tengah, meski hanya sungai yang buntu ketika kian mengarah ke barat. Di sebelah timurnya adalah pancer: muara aliran sungai yang berhulu dari dua arus, Kali Tengah (dari arah Desa Besuki) serta Kali Tumpak Nongko (dari arah Desa Bangun). Di samping itu, pertemuan sungai dengan laut di bagian hilir ini juga menjadi lokasi menjangkarkan perahu-perahu penangkap ikan nelayan Munjungan.

Merintis Hutan Bakau Munjungan 1

Hari itu saya ditawari melihat gerumbulan bakau di Teluk Sumbreng, ketika beberapa teman dari kopel Among Mangrove, Munjungan, tengah bergotong royong membabati gerumbulan semak yang mengganggu pertumbuhan bakau di sana. Beberapa mangrove yang tumbuh adalah dari jenis yang berkayu tinggi dengan akar-akar yang melengkung dan mencengkram ke bawah permukaan air (akar napas).

Kita tahu, bakau adalah jenis tumbuhan yang hidup di dunia ambang: wilayah pertemuan antara lautan dan daratan. Vegetasi ini memang kerap tumbuh dan hidup di sepanjang teluk. Bakau hidup di perairan, pada genangan pasang-surut air laut dengan kadar garam tertentu. Kita akan menemui lingkungan hidup mangrove ini, pada teluk-teluk di sepanjang garis pantainya. Kalau di Trenggalek, tentu saja di Munjungan (wilayah Teluk Sumbreng) lalu di Teluk Prigi dan di Teluk Panggul. Teluk-teluk di Trenggalek ini, tempat hidup ragam jenis mangrove tadi, kebetulan berada di antara lembah-lembah bukit, karena geografi Trenggalek adalah dataran tinggi.

Sebagaimana umumnya flora atau vegetasi daratan, yang terdiri dari berbagai jenis pohon, perdu, dan keluarga semak (belukar), vegetasi mangrove juga terdiri dari berbagai jenis flora yang serupa dengan vegetasi daratan. Ada yang berjenis pohonan tinggi, dan ada pula yang berjenis pohonan rendah. Jenis rhizophora mucronata misalnya, adalah jenis bakau yang ketinggiannya bisa mencapai 27 meter lebih, berbuah lonjong menggelantung dan panjang. Jenis ini bentuk daunnya elips dengan ujung meruncing. Jenis avicennia alba misalnya lagi, adalah mangrove dari keluarga belukar.

Di Teluk Sumbreng, jenis rhizophora mucronata lumayan mendominasi dan terletak di pematang sungai (dekat laut) atau bekas-bekas galian kolam yang sudah terbengkalai. Buahnya jatuh menggelincir ke bawah, sebagian telah tumbuh menjadi mangrove muda. Jenis ini tampaknya bila ditanam di pematang-pematang, akan melindungi tanah dari menggelontor. Selain itu, tampak indah dipandang dari kejauhan dengan keistimewaan akar napasnya.

Merintis Hutan Bakau Munjungan 3 Merintis Hutan Bakau Munjungan

Teman-teman dari Among Mangrove telah membuat jembatan sederhana di tengah sungai. Sampah masih tampak berserak di sana-sini dari limbah yang dibuang pengunjung pantai Teluk Sumbreng (Pantai Blado). Kata Mas Hanung, sampah mulai agak berkurang dibanding sebelumnya. Jalan yang dulu cuma beraspal ke arah timur, kini juga sudah bertambah ratusan meter ke arah barat. Pengunjung Pantai Blado bisa menikmati debur ombak dan semilir angin yang bertiup dari lautan sembari berjalan-jalan atau naik motor dengan agak lebih leluasa. Garis pantai yang bisa dibilang panjang di sini, sangat mendukung itu semua.

Lokasi mangrove di Munjungan ini sebetulnya juga berada di hilir sungai besar di Kecamatan Munjungan, yang hulunya adalah dua buah sungai yang kemudian menyatu. Kelokan-kelokan sungai di sini sebetulnya membentuk DAS (Daerah Aliran Sungai) yang unik. Selain lokasi pertemuan dua buah sungai yang telah menyatu di sekitar bawah jembatan Kali Tengah (begitu masyarakat sekitar menyebut sungai ini. Mungkin karena berada tepat di tengah-tengah wilayah kecamatan). Di wilayah hilirnya, yang membentuk delta berupa pulau kecil, juga menjadi tempat bermuara anak-anak sungai dari arah barat. Sementara di sebelah timur delta, adalah jajaran bukit. Bukit-bukit di sana menjadi tempat orang-orang sekitar mencari kayu bakar dan pakan ternak (rumput).

Pancer di dua sungai yang bersatu di hilir ini memang mempunyai hulu cukup besar karena keduanya bisa dibilang merupakan sungai terbesar di Munjungan. Ini tentu saja sungai besar yang membelah Munjungan menjadi dua. Sebelah timurnya ada Desa Tawing, Bendoroto dan Bangun, sementara sebelah baratnya adalah Desa Munjungan, Desa Masaran, Desa Craken, dan seterusnya. Saya ingat, zaman dahulu, ketika Kali Tengah belum dijembatani seperti sekarang, betapa susah orang-orang di barat sungai ingin pergi ke Desa Tawing dan sekitarnya. Dan sebaliknya, orang dari desa-desa di timur sungai juga kesulitan pergi ke pasar atau ke kota kecamatan, di saat musim hujan dan kebetulan banjir melanda.

Mereka masing-masing harus menyeberangi sungai yang ketika musim hujan sering membentuk aliran dengan arus yang deras, bahkan membandang. Karena penyeberangan ini tepat berada di bawah percabangan dua sungai, yang alirannya bersatu dan membuat arusnya makin deras dan cepat. Dahulu kerap ditemui orang dihanyutkan air bah, karena kesalahan memprediksi arus. Mereka nekat menyeberang dan musibah pun akhirnya menghampiri. Kadang banjir bandang lewat secara tiba-tiba ketika malam hari. Menenggelamkan rumah dan menggenang apa saja. Tak heran bila pondasi rumah-rumah penduduk Dusun Gemiring (Desa Tawing sebelah barat) kini rata-rata tinggi.

Sungai gabungan dua sungai besar ini sebelum mencapai laut berkelok-kelok sedemikian rupa. Terdapat percabangan yang sepertinya dibikin untuk mengairi sawah di sekitar sana, sehingga buntut sungai seolah memiliki percabangan yang rumit. Sampai di hilirnya, membentuk kedung yang luas, kendati mungkin tidak terlalu dalam. Ketika air laut surut, terbentuk dataran yang cukup luas. Hutan mangrove di sisi barat hilir sungai (pancer) ini, kalah luas bila dibanding hutan mangrove di Watulimo (Cengkrong) atau mungkin di Panggul. Namun meski mini, kita tahu, kelestarian hutan mangrove ini sangat-sangat penting karena berfungsi untuk menjaga lingkungan sekitar laut. Antara lain untuk mencegah abrasi, erosi pantai, banjir rob (banjir akibat pasang/meningginya air laut), hingga bencana tsunami. Meski banjir rob sendiri jarang terjadi karena daratan di Munjungan cukup tinggi.

Merintis Hutan Bakau Munjungan 2

Mestinya di lokasi pertemuan laut dan persawahan ini, selain ditumbuhi pohonan kelapa, baik pula dibudidayakan menjadi hutan mangrove. Apalagi kalau hutan mangrove bisa tumbuh di sepanjang garis pantai. Saya rasa kesadaran terhadap betapa pentingnya fungsi hutan mangrove, dari masyarakat pesisir Munjungan, masih belum seberapa tinggi. Semoga saja apa yang telah dirintis oleh teman-teman kopel Among Mangrove, dapat memberi penyadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan bakau (mangrove) di daerah-daerah pesisir.

Mangrove di Munjungan ini memang masih perlu dijaga dan direhabilitasi. Kesadaran masyarakatnya perlu digalakkan, dengan, misalnya, gerakan penghijauan wilayah pesisir menjadi hutanisasi mangrove (bisa menjadi wilayah konservasi, penelitian sekaligus edu-wisata). Bukankah aktivitas ini merupakan bagian dari ikhtiar besar menguatkan masyarakat sendiri: menguatkan eksistensi, ketangguhan dan karakter(istik) desa-desa pesisir. Begitu.

Artikel Baru

Artikel Terkait