Mengenang masa lalu yang ranum, membuat kita tahu pernah memilikinya. Kadang kenangan itu rasanya menyenangkan, meski ada juga yang tak menyenangkan. Mungkin kita pernah memiliki masa lalu yang menyenangkan, dan kita menikmatinya begitu saja. Mungkin juga kita memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan, lantas kita bertanya, “Mengapa harus seperti ini? Ini semua tidak benar.”
Sungguh, dari itulah kita belajar, tahu, sadar, dan mau untuk melakukan satu hal.
Di masa lalu, saya mengalami dua hal—dan sampai saat ini, hanya dua hal itu yang saya tahu. Di rumah, saya belajar banyak hal. Saya belajar membersihkan diri, belajar berdoa, belajar permainan-permainan, belajar meminta, juga belajar untuk taat. Tapi terkadang saya merasa tak berhasil, karena saya tak mampu. Saya juga sering menolak untuk belajar, karena saya malas. Saya ingat hal ini. Sekarang saya tahu, kalau sebenarnya saat itu saya hanya sedang tidak tahu dengan “apa yang saya inginkan”. Saya hanya melakukan satu hal, karena ada banyak hal di sekitar saya yang memungkinkan saya untuk melakukannya.
Saya mulai mengetahui kalau belajar adalah suatu keharusan, dan malas adalah sesuatu yang terlarang. Begitu juga dengan taat dan melawan, diam dan membentak, disenangi dan dibenci. Selalu ada keharusan dan larangan, selayaknya hitam dan putih.
Bersama teman-teman di masa lau, saya juga belajar untuk berteman. Saya memiliki teman, dan entah mengapa saya merasa kesal ketika dia diejek. Kadang saya juga harus membelanya ketika ia diganggu anak lain. Saya juga memiliki musuh saya sendiri. Tiba-tiba saya sangat membenci anak itu, lalu saya melukainya. Tapi terkadang saya juga dibenci orang lain, saya tak tahu mengapa, tapi saya merasa harus membencinya juga. Dulu, tak pernah terpikirkan: “Mengapa saya melakukan hal ini?”
Di taman kanak-kanak saya belajar membaca, menulis dan berhitung, supaya di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengas Atas, saya bisa mengisi soal-soal yang ada di buku, atau sekadar menjawab pertanyaan guru. Begitulah cerita singkatnya.
Seiring dengan itu, ada semacam doktrin atau pengaruh tentang belajar yang membayang-bayangi pikiran saya. Seperti tuntutlah ilmu setinggi langit, belajar pangkal pandai, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan patuhilah gurumu seperti mematuhi orangtuamu. Hal itu benar, dan ia benar karena ia dianggap benar oleh banyak orang. Waktu kecil, nilai-nilai bisa ditanamkan begitu saja. Tanpa memperkirakan bagaimana jika di dalam nilai itu terdapat kemungkinan untuk tumbuhnya nilai yang tidak diinginkan; nilai yang tidak dianggap benar.
Adalah definisi dari kata “relatif” yang mempengaruhi pikiran saya untuk tidak menunggalkan “nilai yang baik”. Saya pertama mengenalnya di Sekolah Menengah Atas, dan baru memahami maknanya ketika di kampus.
Di Sekolah Dasar saya mengenal buku, cinta, belajar olah raga, seni, sejarah–di samping tetap belajar membaca, menghitung dan menulis. Untuk pelajaran sejarah, saya selalu tertarik kepadanya, karena ia mudah diingat dan tidak memakai rumus hitung-hitungan yang rumit. Saya tak tahu, kenapa waktu kecil saya tidak kecanduan dengan pelajaran sejarah?
Sementara pelajaran olah raga menyadarkan saya bahwa belajar di kelas itu membosankan dan tidak perlu, begitu juga dengan seni. Suatu waktu, pernah kami membolos satu mata pelajaran, untuk mandi di sungai.
Mandi di sungai adalah kemewahan di masa kecil. Ketika terjun ke sungai, rasanya seperti terbebas dari tugas-tugas sekolah, dan dari guru-guru galak. Rasanya juga menyenangkan, bisa menyatu dengan alam. Saya merasa seperti melayang dan terbang. Itu lebih menyenangkan dari berjalan, tapi setara dengan berlari. Kami menciptakan nilai-nilai kami sendiri, nilai yang kami inginkan.
Sekolah Menengah Pertama, tak jauh berbeda dengan Sekolah Dasar. Cuma terasa lebih sulit dan lebih keren saja. Juga lebih mahal. Teman, musuh, cinta, dan buku, semua masih ada. Sama. Tapi di Sekolah Menengah Pertama, saya kecanduan playstation. Hampir mirip dengan kasus mandi di sungai, saya pernah membolos satu hari, hanya untuk main playstation. Satu hari.
Di Sekolah Menengah Atas, saya semakin bosan untuk hidup. Maksud saya, bersekolah untuk memiliki bekal hidup. Saya mulai kehilangan cita-cita. Di Sekolah Dasar cita-cita saya adalah menjadi polisi, tapi karena tubuh saya kecil, saya ganti cita-cita. Di Sekolah Menengah Pertama, saya memilih cita-cita yang lebih rasional, dengan menjadi pegawai negeri sipil. Maka dari itu, saya mencoba masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, yang katanya bakal bisa menjamin hidup kita menjadi lebih sejahtera, dari jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, dan jurusan bahasa.
Sayangnya saya gagal, dan terpaksa masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. “Mungkin karena saya kurang pintar di hitung-hitungan, atau saya tidak cukup pandai,” pikir saya waktu itu. Akhirnya saya lebih menghabiskan waktu untuk bersibuk-sibuk di organisasi, main futsal, dan main playstation lagi.
Begitulah masa lalu yang ranum. Saat ini, saya masih sekolah, tepatnya di kampus. Untuk sekadar belajar.
Namun, saya menciptakan kriteria keberhasilan saya sendiri, dengan cara-cara belajar saya sendiri. Sekolah saya tak menilai kriteria yang saya buat-buat ini dalam penilaiannya. Saya paham itu, walaupun kadang guru-guru tak menjelaskan kekurangan dalam sistem penilaian mereka, bahwa nilai itu bisa diciptakan. Nilai bukanlah hal yang turun dari langit, dan harus dipatuhi begitu saja.
Jika nilai adalah sebuah kebenaran, Pramoedya pernah menulis, “kebenaran itu harus diperjuangkan,” saya pun membiarkan kata-kata itu mempengaruhi saya.
Tapi orang-orang harus tahu, bahwa apa yang kita pelajari, kebanyakan tak mempresentasikan kenyataan yang terjadi. Orang bisa masuk dalam kriteria tidak berhasil, jika mereka membantah pernyataan guru, dan itu membuat si dosen marah. Kampus bisa mengancam untuk membubarkan sebuah organisasi penalaran, ketika suara mereka dianggap mengancam –menulis berita tentang kasus korupsi di kampus misalnya. Untuk mengungkapkan apa yang dipelajari, orang tak bisa dengan bebas bersuara begitu saja. Ada saat di mana yang bersuara harus memiliki legalitas hukum, pendukung, dan orang-orang yang punya kuasa. Itu aturan mainnya, dan saya belum sepenuhnya sepakat dengan hal itu.
Kampus adalah tempat untuk belajar hal-hal yang memang dianggap perlu untuk dipelajari. Kampus bukan lagi tempat untuk belajar secara bebas. Ada kekuasaan di sana. Jika benar-benar ada yang harus kita pelajari, itu adalah “belajar untuk menerima kritik” dan “belajar untuk tidak bertindak sewenang-wenang”.
Hari ini kita tahu bahwa, kebenaran tentang kejahatan negara di masa lalu, masih diredam sedemikian rupa. Kita juga tahu, buku-buku dibakar, diskusi publik dibubarkan dengan paksa. Apa yang terjadi dengan pendidikan kita? Masihkah ia bernyawa? Saya rasa tugas kita adalah melakukan hal yang lebih baik dari orang-orang di jaman dahulu, dengan belajar. Untuk mencegah terjadinya masalah, tanpa memukul, tanpa melempar batu, dan tentunya tanpa membunuh…