Ada fakta mencengangkan ketika saya membaca buku “Islamisation and Its Opponents in Java” karya M.C. Ricklefs (2012), ketika sampai di bab 2 yang membahas “Javanese Societies and Islam in 1930”. Bagian tersebut membahas sensus sosial ekonomi penduduk yang dilakukan pertama kali di jaman kolonial Belanda tahun 1930. Sensus tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Trenggalek menduduki peringkat tertinggi tingkat melek hurufnya, di antara semua kabupaten di Jawa Timur. Dengan angka rata-rata 8.4 persen melek huruf (dengan angka 16.5% di wilayah kota). Sementara itu di Surabaya angka melek huruf-nya adalah 7.8 persen (dan 12.2 % di wilayah perkotaan), dan 4 persen rata-rata di Malang (dan 15.5 % di kota).
Fakta bahwa Kabupaten Trenggalek di tahun 1930-an sudah memiliki tingkat melek huruf tertinggi di wilayah Jawa Timur itu bisa jadi membanggakan. Namun tunggu dulu, data selanjutnya menyatakan bahwa angka melek huruf di Trenggalek mengalami kesenjangan yang cukup mencolok antara laki-laki dan perempuan; 17.3 persen untuk laki-laki dan hanya 1.1 persen untuk perempuan. Dengan kata lain, di era tersebut –dan juga terjadi di hampir semua wilayah di Jawa, untuk menemukan perempuan yang bisa membaca dan menulis itu bagaikan mencari jarum dalam gunungan jerami.
Bagaimana dengan angka literasi sekarang? Data BPS Trenggalek 2015 menunjukkan angkat literasi (melek huruf) 93,23. Angka yang tinggi ini menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Trenggalek mampu baca tulis. Melegakan, bukan? Sayangnya data BPS ini tidak menunjukkan perbedaan angka melek huruf laki-laki dan perempuan. Baiklah, anggap saja sudah tidak ada disparitas angka yang mencolok antara laki-laki dan perempuan. Lalu apa masalahnya?
Dewasa ini kalau kita menyebut literasi, tidak hanya bermakna melek huruf/kemampuan baca dan tulis. Karena, kemampuan baca-tulis saja tidak cukup menjamin masyarakat itu bisa sustained, sehingga dikembangkan berbagai macam literasi dengan tujuan agar kualitas hidup manusia semakin meningkat. Di antaranya adalah literasi media. Penyadaran melalui literasi sebagaiman yang kini banyak digagas oleh banyak portal online, seperti salah satunya oleh nggalek.co.
Literasi media dipahami sebagai kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuk. Orang yang melek media berarti mampu melakukan dekoding, evaluasi, analisis, dan memproduksi media baik cetak maupun elektronik. Literasi media menjadi suatu keniscayaan, dengan semakin meluasnya media dan teknologi informasi. Wilayah perdesaan sekarang ini pun tidak luput dari serbuan media massa dan budaya populer. Setiap saat kita terpapar media, baik media cetak—koran, majalah, media daring (online) ataupun luring, dan produk budaya populer seperti televisi, film, fesyen, dan sebagainya. Tengok saja apa yang paling sering dibuka dari smartphone yang ada di genggaman anak-anak remaja maupun orang dewasa di sekitar Anda.
Mengapa produk-produk budaya populer mempunyai kekuatan yang membuat orang tidak pernah lepas untuk mencanduinya? Jawabannya adalah “pleasure” (kenikmatan). Kenikmatan atau kesenangan-lah yang membuat orang mengonsumsi budaya populer terus menerus. Anda suka menonton drama korea, sinetron-sinetron India, Turki, Korea yang ditayangkan di televisi, menikmati film-film terbaru Hollywood atau Bollywood dan sebagainya ? Anda suka ‘window-shopping,’ belanja online, dan merasa senang, terhibur, dan kecanduan? Hal-hal yang menyenangkan ini difasilitasi dan didorong untuk semakin menjadi-jadi.
Para pakar media dan cultural studies mencatat bahwa gara-gara unsur pleasure inilah maka tidak mungkin melarang orang untuk tidak mengonsumsi budaya pop. Sebaliknya, dalam perspektif literasi media dan pendidikan, budaya populer justru bisa menjadi alat pendidikan yang penting. Selama ini budaya populer dalam kehidupan sehari-hari telah menjadi buku pelajaran penting yang setiap saat disimak oleh para konsumen-nya dan sering dijadikan rujukan dalam kehidupan. Oleh karenanya, untuk menjadikannya sebagai alat pendidikan dan penyadaran, agenda penting yang harus dilakukan adalah melakukan analisis kritis terhadap media dan budaya populer, yakni menganalisis pesan-pesan tersembunyi yang disisipkan dalam setiap produk budaya populer.
Mungkin Anda tidak percaya bahwa analisis budaya populer mampu membongkar hal-hal ideologis, dan bahkan menganggap analisis semacam ini lebay atau kurang kerjaan. Sekedar info saja, tahun 1950-an Adorno, pemikir Jerman, pernah mengkritisi budaya populer sebagai budaya yang berbahaya karena mengembangkan ideologi ‘penyeragaman’ dan menghasilkan para konsumen, generasi muda yang pasif. Selanjutnya, Henry Giroux (2004) memberi rekomendasi, bahwa para pendidik publik (termasuk para guru, pengamat sosial dan budaya) mempunyai tanggungjawab untuk melakukan dan mengembangkan analisis kritis terhadap media dan budaya populer. Tidak lain, karena senyatanya, budaya populer telah menjadi bentuk pendidikan publik yang dilakukan secara massal. Analisis kritis terhadap media dan budaya populer penting dilakukan karena apa yang ditampilkan media akan menentukan kemampuan orang dalam membangun makna, memahami realitas.
Yang menarik lagi, budaya populer dan media ini bukan hanya diproduksi oleh kelompok mereka yang punyai modal alias para juragan saja. Mari kita lihat laman resmi humas Pemkab Trenggalek http://humassetda.trenggalekkab.go.id. Di laman resmi pemkab ini, bisa kita dapati infografik mengenai peta kemiskinan (Data Rumah Tangga Miskin) yang merata di 14 kecamatan dengan 83.093 keluarga miskin. Ah, mungkin kita jadi kaget atau baru sadar akan realitas pahit ini. Namun, jangan khawatir, pembaca laman ini segera akan melupakan realitas pilu kemiskinan dengan “hiburan”—yang paling “eye-catching”—foto Ultah Arumi Bhachsin (21 Februari 2017) di “Galeri Kegiatan”. Anda akan mendapatkan foto-foto Arumi Bhachsin, Istri Bupati Trenggalek, yang sedang ber-ulang tahun dan dirayakan oleh ibu-ibu (mungkin) pejabat di tingkat Kabupaten Trenggalek.
Apa hubungan antara angka kemiskinan yang merata dan ulang tahun Ibu Bupati? Tidak ada? Ya memang tidak ada. Itulah ideologi ‘sinetron’ yang terpampang di laman humas Pemkab Trenggalek. Mungkin ada yang serius bertanya, apakah ulang tahun itu kegiatan yang perlu ditampilkan di laman resmi pemerintah kabupaten Trenggalek? Atau, dengan bahasa sederhananya, “Emang penting gituh?” Anda semua bisa menjawab pertanyaan ini tanpa analisis rumit. Lha, terus, ini Kabupaten punya siapa? Wallahualam.