Bias Legislatif-Eksekutif-Yudikatif dalam Bayang-bayang Demokrasi

Untuk dapat menghasilkan kebijakan publik yang sesuai aspirasi rakyat, efektivitas kinerja lembaga demokrasi perlu disistematisasikan agar tidak tejadi bias struktur antarlembaga. Penulis melihat bahwa lembaga public, yang dalam teori Montesquie direpresentasikan ke dalam eksekutif, legislatif dan yudikatif, sudah saatnya dilakukan pembenahan-pembenahan dan perlu ada garis demarkasi yang jelas demi efisiensi dan efiktivitas kinerja. Pengalaman kebijakan politik yang menempatkan terlalu dominannya kekuasaan eksekutif (executive heavy) pada masa Orde Baru, legislative heavy di era reformasi dan yudikative heavy pasca reformasi, hendaknya menjadi pelajaran berharga.

Seiring dengan dinamika political literacy masyarakat, mendesak disinergikan antarlembaga tersebut, dengan menguatkan satu peran pilar demokrasi penting yakni CSO (Civil Society organization). Tidak adanya sinergi antarlembaga publik yang berujung pada conflict of interest merupakan dampak dari bias struktur antarlembaga negara. Bagaimana mungkin legislatif bisa menjalankan tugasnya secara independen, jika keberadaannya berada di bawah kendali partai politik yang ketuanya adalah kepala eksekutif (?). Begitu juga sebaliknya, kepala eksekutif juga akan mengalami beban politik parpol pengusungnya dalam menjalankan tugasnya ketika batasan-batasan ini tidak dipertegas. Sedang pada saat yang sama, yudikatif juga akan mengalami beban politik ketika proses rekruitmen-nya berada di bawah bayang-bayang eksekutif dan legislatif. Bahkan, pada saat bersamaan, yudikatif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksekutif. Di sinilah pernyataan Presiden Philipina Manuel L Quezon, “My loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begin,” patut dijadikan preferensi politik di Indonesia.

Bias kekuasaan ini telah menjadi fenomena. Penulis tidak bermaksud memvonis bahwa peristiwa tersebut sebagai kesalahan personal yang sedang menduduki jabatan publik, tetapi kekeliruan sistemik yang telah melembaga. Dalam beberapa kasus, ada beberapa contoh menarik yang perlu kita kritisi sebagai bahan kajian tentang distorsi kelembagaan publik kita. Misalnya UU nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 363-364 dijelaskan bahwa DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota yang memiliki fungsi legislasi, kontrol dan pengawasan. Sedang pada pasal 375, disebutkan bahwa alat kelengkapanya DPRD kabupaten/kota terdiri dari: pimpinan, badan musyawarah, komisi, balegda, banggar, badan kehormatan dan alat kelengkapan lain yang diperlukan serta dibentuk oleh rapat paripurna.

Di sinilah kekeliruan terlembaga yang menjadikan bias legislatif dan eksekutif yang saya maksud di atas. Sebagai representasi perwakilan rakyat, DPRD menempati posisi sebagai legislative, tetapi pada saat yang sama ia berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota. Di lain pihak, untuk menjalankan tugasnya, DPRD memiliki alat kelengkapan sebagaimana disebutkan di pasal 364, tetapi dalam menjalankan fungsinya, seringkali DPRD lebih mengedepankan supremasi kekuatan politik fraksi di lembaga perwakilannya. Kenapa pandangan-pandangan DPRD lebih mengedepankan pandangan fraksi daripada pandangan komisi? Perdebatan fraksi, mestinya sudah harus diakhiri dan fokus pada perdebatan produktif di tingkat komisi yang lebih teknis dan sesuai dengan tupoksinya. Aktualisasi peran DPRD sudah saatnya lebih memaksimalkan fungsi-fungsi pokoknya, yakni legislasi, budgeter dan kontrol untuk mengefektifkan kinerjanya.

Sejauh yang penulis pahami fungsi tersebut seringkali tidak berjalan efektif karena terjadi pemahaman dan praktik yang bias terhadap apa yang menjadi kewenangan antara eksekutif dan legislatif. Dalam pandangan penulis, fungsi kontrol DPRD adalah kontrol kebijakan yang bersifat politik, tetapi yang sering terjadi fungsi kontrol yang dilakukan justru adalah fungsi pengawasan yang menjadi kewengan internal eksekutif (inspektorat).

Apa yang menjadi ganjalan pikiran penulis, bukanlah persoalan personifikasi terhadap para politisi yang sedang terlibat dalam jabatan-jabatan politik seperti bupati/wakil dan Anggota DPRD. Pokok pikiran ini adalah bentuk refleksi kritis yang lahir dari proses pengamatan kehidupan sosial dan politik dalam tata-kelola pemerintahan kita. Refleksi ini merupakan bentuk intellectual exercise untuk membangun tradisi berpikir rasional, kritis dan objektif yang akan menjadi titik ketundukan kita kepadanya. Karena komitmen ketundukan cara berpikir rasional adalah hanya kepada nilai objektif kebenaran itu sendiri. Dan inilah bentuk independensi etis setiap makhluk bernama al-hayawanu al-natiq tanpa harus melihat latar belakang sumber penyampai informasi.

Mari lepaskan baju masing-masing dengan memadukan kejernihan hati (dzikir) dan pikiran kita untuk saling mempertajam gagasan yang rasional-argumentatif, bukan emosional-reaktif. Masa depan bangsa bukanlah menjadi dominasi tanggung jawab eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Siapapun dan apapun profesinya sama-sama memiliki tanggung jawab moral dan politik terhadap masa depan bangsa agar menjadi lebih baik. Singkatnya, parpol memiliki tanggung jawab melakukan pendidikan politik melalui kaderisasi kepemimpina politik secara terstruktur, berjenjang dan berkelanjutan. Sementara itu legislatif bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi konstituen pemilihnya melalui legislasi, kontrol dan budgeter. Adapun eksekutif memiliki tanggung jawab melaksanakan seluruh kebijakan sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Sedangkan yudikatif memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menegakkan aturan hukum atas segala penyimpangan terhadap pelanggaran terhadap suatu kebijakan. Di sisi lain masyarakat/rakyat juga sama-sama memiliki tanggung jawabnya untuk berpartisipasi aktif dalam seluruh rangkaian proses pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan memenuhi hak dan kewajibannya. Demikian seterusnya setiap kita, memiliki peran masing-masing yang tidak bisa dinafikan keberadaannya.

Situasi perpolitikan kita yang cenderung terfragmentasi, diperlukan politisi “setengah dewa” yang mampu memperjuangkan kepentingan masayarakat melalui penawaran ketajaman visi, misi, dan program, serta mengubah mind set pemilih menjadi pemilih yang rasional. Apabila politik dipahami sebagai seni memperebutkan kekuasaan, estetika permainan politik mutlak diperlukan. Lebih dari itu, fatsoen (etika) didalam politik sangat menentukan masa depan peradaban politik masa depan. Penulis sangat bangga apabila peran khalifatullah fi al-ardhi yang terinternalisasi dalam diri setiap manusia dapat teraktualisasikan dalam peran keumatan dan kebangsaan yang mengedepankan etika dan estetika politik.

Untuk memberikan ilustrasi bagaimana berpolitik yang mengedepakan estetika dan etika politik berikut ini saya sampaikan kisah suksesi menarik yang patut menjadi rujukan bagi para politisi.

”Alkisah ada sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja yang tidak memiliki putra penerus, ia mengalami kebingungan untuk mencari dan memilih calon pengganti. Untuk itu, dibuatlah sayembara pemilihan ke seluruh negeri, agar diseleksi per daerah hingga ujian terakhir yang akan ditentukan Baginda Raja sendiri. Saat babak akhir tiba, tersisa 8 orang yang memiliki kepandaian setara dan lulus seleksi berbagai tahap sebelumnya. Untuk itu, mereka harus menjalani tes akhir di ibu kota kerajaan.

Raja menyeleksi mereka satu persatu. Di hadapan mereka sang raja menyampaikan pesan: ”Anak-anakku, tugas sebagai abdi negara bukanlah hal yang mudah. Itu adalah amanah yang harus diemban dengan tanggung jawab penuh. Kalian ber-delapan terpilih sebagai calon yang terbaik. Nah, sebagai tes akhir, akan kuberi tiap orang 5 butir biji bibit tanaman. Tanam dan rawatlah seperti engkau nantinya harus memelihara kerajaan dan rakyat negeri ini. Pulang, dan datanglah dua minggu lagi ke mari beserta hasil tanaman yang kalian bawa pulang ini,” titah sang raja.

Dua minggu kemudian, di hadapan raja, tujuh pemuda dengan bangga memperlihatkan tanaman yang mulai tumbuh bertunas. Tiba giliran pemuda yang kedelapan, dengan wajah malu dan kepala tertunduk, ia melihat ke arah pot yang dibawanya dan berkata, ”Ampun Baginda. Maafkan hamba. Biji yang Baginda berikan telah saya tanam, saya rawat dengan hati-hati. Tetapi, hingga hari ini bibit ini tidak mau tumbuh seperti yang diharapkan. Saya telah gagal menjalankan perintah Baginda. Saya tidak mengerti di mana kesalahan saya. Tapi, setidaknya saya telah berupaya maksimal. Saya serahkan semua keputusan di tangan Baginda.”

Tak berapa lama, sang raja terlihat tersenyum puas. Bahkan, kemudian tertawa terbahak-bahak. Semua yang hadir saling berpandangan heran melihat reaksi raja seperti itu. Lalu, sang raja menepuk pundak si pemuda dan berkata, ”Terima kasih anak muda. Aku senang dan puas. Ternyata harapanku tidak sia-sia. Masih ada pemuda calon pemimpin bangsa di antara seluruh rakyat negeri ini.”

Sambil berpaling kepada semuanya, sang raja melanjutkan. “Dengar baik-baik. Pemuda ini telah memenuhi harapan terakhirku. Dia pemuda yang jujur, calon pemimpin kerajaan ini di masa depan. Memang tanamannya tidak tumbuh. Sepertinya dia gagal, tetapi sebenarnya, biji yang aku berikan kepada semua peserta telah aku rebus terlebih dulu. Jadi, pasti tidak mungkin bisa tumbuh tunas walau dirawat sebaik apa pun, karena biji itu telah mati.

Aku kecewa sekali saat melihat tumbuhnya tunas yang kalian bawa. Kalian tujuh pemuda tidak jujur! Kalian pantas dihukum karena telah berusaha menipu rajamu!

Segera, sang raja memerintahkan untuk menangkap dan menghukum berat ketujuh pemuda itu. Sungguh tragis. Ambisi mereka untuk meraih jabatan tersandung karena ketidakjujuran.

Kisah tersebut memberi pelajaran terbaik bagi bangsa kita untuk membangun peradaban politik yang penuh keteladanan yang tinggi. Berpikir untuk kemajuan suatu bangsa tidak bisa melupakan peran kesejarahan masa lalu meskipun tidak mengenakkan sekalipun. Soeharto adalah bagian dari fakta sejarah yang telah mengisi perjalanan bangsa Indonesia. Menangisi dosa politiknya di masa lalu tidak akan pernah bisa menyelesaikan persoalan. Tetapi menertawakannya adalah perilaku dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Dalam membaca sejarah, kita ambil pelajaran dari pepatah yang sangat bijak bahwa: masa lalu adalah kenangan, masa kini adalah kenyataan dan masa depan adalah harapan. Apabila sejarah adalah guru yang paling bijaksana. Sejauh mana kita dapat berguru pada sejarah, tergantung pada tingkat objektivitas sejarah itu… LANJUTKAN KE BAGIAN 2

Artikel Baru

Artikel Terkait