Setiap tulisan yang ter-publish terpendam pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh penulisnya, yang kadang tak sampai secara persis ke pikiran dan pemahaman pembaca. Sebuah tulisan memang akan ditangkap sesuai horison-horison pembaca(an)nya. Jadi, tidak usah heran bila tulisan akan ditafsiri dalam kaca mata dan alam pikiran pembaca hingga ada pula yang berbuntut pada (sengaja) disalahpahami. Itu adalah konsekuensi-konsekuensi yang mesti dijalani tulisan yang telah meluncur ke ruang publik seperti di media sosial (web dan facebook) maupun media cetak.
Sebetulnya akan lebih bagus kalau sesudah dibaca, tanggapan-tanggapan yang muncul bisa relevan dengan substansi tulisan. Sekurangnya, memenuhi hukum relevansi, baik dari aspek isi maupun sudut pandang, sehingga tanggapan bisa saling bersahutan dengan pokok masalah yang dibicarakan; berada dalam konteks yang masih sejalur, tidak terlampau jauh keluar dari pokok masalah. Dan supaya tanggapan tidak sekadar menjadi rangkaian saur manuk. Nah, tanggapan yang tidak relevan dengan pokok masalah, biasanya juga karena si penanggap kurang sabar mencermati isi atau sengaja menggeretnya ke tema-tema lain yang kurang relevan. Karena tidak relevan, maka tanggapan yang dibuat sudah langsung menemui kesesatan logika materialnya (isi: salah satu bagiannya sesat relevansi).
Khotbah dan Pamflet
Dari berbagai bentuk dan jenisnya, terdapat tulisan yang dibikin untuk menggiring pembaca. Tulisan jenis ini, kalimat-kalimatnya disusun untuk menyetir pembaca ke arah yang diinginkan (mendominasi), kadang disertai khotbah-khotbah ideologis yang meledak-ledak. Tulisan penuh agitasi (khotbah-khotbah) ini, sering tidak membuat orang merdeka untuk menentukan pilihan berpikir dan berpendapat, karena tak memberi sudut pandang yang berbeda lagi banyak di pikiran pembaca dan seterusnya. Sebagai contoh, kita dilarang untuk menulis tema A dengan pendekatan B, lantas diarahkan untuk menggunakan sudut pandang C. Contoh lain, kita didikte untuk mencari kontradiksi-kontradiksi pokok atas semua hal, padahal tak perlu jauh-jauh menggunakan model dan pendekatan tersebut, andai tak benar-benar dibutuhkan (tidak ada relevansi), sementara dengan cara lain sudah memadai.
Sebetulnya kita bisa menggunakan uraian ala kontradiksi pokok (meterialisme), dalam persoalan lain yang memang sepenuhnya tepat menggunakan pendekatan itu. Tapi, tak bisa dibayangkan andai semua pokok masalah harus diarahkan menggunakan satu pendekatan, sangat jadi malah berpeluang meng-gebyah-uyah segala sesuatu yang diamati. Meski ya, kita akui kalau semua perkara harus dilihat dari satu metode atau sudut pandang, pastinya sangat jitu untuk memukul rata (simplifikasi) setiap objek yang sedang diurai (setara dengan ungkapan ”khilafah adalah solusi”). Tak penting harus mencari celah-celah yang relevan atau pokok-pokok substansial pada setiap objek yang dikomentari. Kesesatan logika material (yang di antaranya sesat relevansi) sebagaimana penjelasan di atas, memang bertujuan membuat konklusi tertentu tanpa relevansi tanggapan sedari awal. Di situ, seolah ketepatan relevansi tidak lagi dibutuhkan, karena tujuannya mendikte, dengan menggunakan uraian-uraian mengkhotbahi (tulisan pamflet).
Jangan dikira bahwa berdakwah hanya pekerjaan para dai, yang merasa orang-orang di luar cara berpikir sang dai perlu tertibkan seturut cara berpikirnya. Dakwah juga bisa dilakukan untuk suatu hal yang tak berkaitan dengan anjuran-anjuran beragama. Betapapun dalam khotbah, kita sadar, sejauh ia (baca: berdakwah) dilakukan, kita tidak bisa mendiktekan kebaikan sebagaimana kita juga tidak bisa mendiktekan keburukan. Kita hanya bisa menganjurkan tapi tidak benar-benar bisa mencetak pikiran seseorang. Sebab, yang kita pahami dari pengetahuan pun bisa jadi hanya klaim-klaim rezim pikiran kita sendiri.
Dalam hampir sebagian besar tulisan jenis pamflet yang berisi khotbah (propaganda, agitasi), tidak terlampau penting lagi harus berangkat dari masalah mendasar dan ingin berusaha mencari persoalan yang nyambung di antara dua objek/pihak, melainkan cukup mempelagani data-data yang tampaknya tidak sesuai harapan dalam pikiran orang yang sudah punya kebenaran sendiri. Tak mengapa berpijak menggunakan segunung asumsi. Tema-tema yang tak disukai bisa ditanggapi dengan sudut pandang yang tak relevan dengan ide-ide mendasar yang digagas pada artikel. Dan kalau bisa, boleh dibentur-benturkan dengan sesuatu yang berpeluang untuk dilawankan. Topik-topik yang harusnya ditanggapi dalam konteks yang ada, digeret ke topik-topik lain yang sebetulnya konteksnya berbeda, dan dibikin seolah-olah berhubungan dengan tema yang ingin dialihkan. Mengarahkan perdebatan dengan model-model semacam ini biasa disebut sebagai kesesatan relevansi jenis argumentum ad populum atau bisa masuk ranah spin.
Spin dalam diskusi (termasuk dalam menanggapi tulisan) adalah, tindakan mengalihkan perhatian publik dengan membuat isu baru untuk mengubur isu yang tidak diinginkan. Atau kadang menunjukkan keburukan dengan menguliti pihak lawan dengan memunculkan argumen lain guna mengaburkan serta memecah-belah interpretasi publik. Saya kira, saya tidak akan jauh-jauh menanggapi berbagai kesalahpahaman-kesalahpahaman pembacaan (spin) terhadap beberapa artikel di nggalek.co beberapa waktu kemarin, yang lantas dibenturkan dengan, baik materialisme (MDH) maupun cara berpikir postmodenisme. Alasannya sudah saya sebut di atas. Tanggapan-tanggapan yang muncul secara mendasar tak ada relevansi pokok, lagi tak substansial dengan materi-materi yang dihadirkan oleh beberapa artikel di nggalek.co. Barangkali si penanggap membacanya sekadar sebagai meluangkan hobi khotbahnya, dan memang ingin membentur-benturkannya dengan berbagai hal.
Lagi pula, tulisan si penanggap itu seperti dibuat dengan tergesa-gesa, sporadis, tentu selain kurang relevan(si) tadi. Kalau kita amati secara mendalam, akan banyak ambiguitas-ambiguitas dan kontradiksi-kontradiksi pada dirinya sendiri. Gaya menulis dengan ber-akrobat kata-kata seperti itu memang efektif untuk menernakkan sampah-sampah pikiran, bukan saripatinya: semacam residu dari kerak-kerak pikiran yang mati. Tidak heran kalau hasilnya sekadar bentuk-bentuk simplifikasi bahkan justifikasi, bukan refleksi atau solusi.
Jadi apa yang bisa diharapkan dari tulisan seperti itu? Munculnya sudut pandang baru? Belum tentu ada dan bisa. Orang yang biasanya menulis propaganda dengan sudut pandang yang itu belaka, akan sulit untuk menulis tulisan secara objektif, proporsional, bermutu dan hidup. Dia hanya akan terlatih menulis dan mengolah data-data dengan cara monoton, mengulang-ulang dan tampak membosankan. Penuh data-data yang diaduk dengan khotbah-khotbah ideologis, dengan sudut pandang yang muter dengan itu-itu saja (satu pendekatan), dengan analisis dari satu sudut pandang yang, sayangnya, hasilnya masih begitu-begitu lagi. Karena sangat tampak mau digiring ke mana. Ya, cara menulis seperti itu cuma akan menghasilkan seorang generalisator (dengan kecakapan menggeneralisasi).
Oh ya, kemarin sempat membaca statemen kalau sastra atau tulisan di nggalek.co terindikasi cuma mengindah-indahkan kata. Di situ, saya makin yakin kalau pengetahuannya tentang (teknik) tulis-menulis, cuma sejongkok asumsinya. Banyak artikel di nggalek.co tidak sekadar ungkapan-ungkapan absurd yang tidak berangkat dari realitas (fakta) dan data. Semua tulisan di nggalek.co itu berangkat dari realitas dan punya riwayat yang merujuk ke realitas: tempat, lokasi, hal-ihwal dan persoalan-persoalan yang terjadi di Trenggalek. Bahasanya juga mudah dicerna, ia bukan tulisan yang hanya dihasilkan dari imajinasi penulis belaka. Kendati tulisan sastra pun sebetulnya tidak cuma berisi imajinasi.
Tapi ngomong-ngomong tulisan di nggalek.co memang tidak berniat menjadi tulisan pamflet atau agitasi belaka, sebagaimana tulisan di pinggir jalan atau lembaran brosur. Kalau dibaca dari sudut pandang seorang penulis pamflet (propaganda) yang biasa membuat agitasi-agitasi dan khotbah di banyak tulisannya, tampaknya tulisan di nggalek.co memang terlihat indah. Jauh berbeda dengan tulisan pamflet yang berisi jargon, kalimat-kalimat propaganda dan khotbah, sehabis orang membacanya, ya akan tenggelam dan cukup dibuang ke tempat sampah karena tulisan begitu memang tak terlalu penting untuk disimpan. Sebagaimana pengumuman atau pamflet di pinggir jalan, yang kalau momennya selesai tinggal diringkas lantas dibuat alas tidur.
Tulisan bagus itu adalah tulisan yang bisa menjelaskan lalu menguraikan dengan tepat—dengan ketepatan kata dan kalimat, dan juga tepat relevansinya—hanya dengan perkakas kata-kata yang terbatas. Tulisan indah itu tak pernah ada kejelasan definisinya. Sementara tulisan bagus itu ditulis dengan menggunakan teknik. Tulisan bagus biasanya dibahasakan dengan pilihan kata yang tepat, dan ia efektif sebagai kalimat maupun ungkapan. Dan tentu saja bukan jenis tulisan pamflet yang meledak-ledak yang hanya berisi agitasi dan propaganda murah. Saya pikir tulisan yang berangkat dari dialektika meterial pun bisa saja dituang dengan menggunakan penjelasan bahasa yang tepat, ringkas dan presisi.
Kalau tulisan pamflet dan propaganda, baik menggunakan cara pandang dialektika material maupun tidak, hasilnya tetap tulisan pamflet dan cenderung mengkhotbahi. Cara berpikir bagus dengan bahasa yang kurang bagus ya hasilnya tetap buruk; berbeda dengan cara berpikir biasa saja, dengan diolah menggunakan perkakas bahasa yang tepat, hasilnya bisa mendingan. Pembaca sendiri secara mayor pastinya lebih suka bagaimana sebuah topik dijelaskan, dengan sudut pandang dan bahasa yang menarik, ketimbang dengan bahasa yang meledak-ledak dan monoton, serta analisis yang mentok menggunakan itu-itu belaka. Sebuah cara menulis yang tampaknya bisa dibaca terarahkan ke suatu hal, dan kecenderungan mendakwahi pembaca ini, sudah pasti sering dihindari pembaca, betapun isinya penting dan bermutu.
Saya tahu, dalam menciptakan propaganda tulisan digesa dengan cepat. Memburu momen dan nafsu mereguk keinginan yang sifatnya aktual, sementara dan cepat pudar. Karena itu, ia tak bisa dibikin dengan jalan perenungan dan kajian mendalam. Sayangnya, tulisan-tulisan di nggalek.co memang tidak berniat sekadar menjadi tulisan pamflet apalagi dipenuhi spin, meski sudah disudutkan oleh pandangan-pandangan simplistis sang penulis pamflet, dan bahkan menuduhnya sebagai tulisan propaganda: jenis tulisan yang sering penulis itu sendiri tulis. Dengan sesuatu yang telah mapan di otaknya dan dipeluk dengan teguh, yang membuat analisisnya tak jauh-jauh mentok ke satu tempat dan muter di situ-situ saja tak ke mana-mana. Membuatnya kerap mengulang-ulang analisis untuk tema apapun dan dalam konteks bagaimanapun, nyaris seperti pendakwah (agama) yang keras kepala.