Memutus Rantai Sistemik Kemiskinan dan Keterhisapan dalam Pendidikan

“Kenapa si Warjo tidak disekolahkan ke Perguruan Tinggi?” Tanya Kang Soerip kepada Partono, petani yang selama ini menggarap sendiri tanah warisan dari orangtua-nya. Warjo adalah anak Partono yang dikenal cerdas. Jawab Partono:

”Ah, kayak anak orang gedean saja, pakai sekolah tinggi-tinggi. Kang Rip kan juga tahu. Lha, kalau Warjo saya sekolahkan ke Perguruan Tinggi, terus yang lainnya harus makan apa? Tanah ini kan tinggal satu patok. Apa ya harus di-iris setiap tahun untuk membiayai sekolah Warjo. Lha yang lain nanti makan apa ?”

Kondisi demikian dialami juga oleh Tukidi, anak kang Waji yang kerja kesehariannya menarik becak. Tukidi, sebagai salah satu pengurus organisasi kepemudaan di kampungnya, harus puas memegang ijasah SMP. Karena tiga tahun yang lalu bapaknya tidak mampu menyediakan uang untuk membayar uang pendaftaran serta sumbangan biaya pengembangan pendidikan yang menjadi ketentuan Komite Sekolah (istilah baru dari Uang Gedung).

Dari percakapan ringan di atas, Warjo dan Tukidi, hanya salah satu atau dua wajah dari sekian banyak nasib generasi muda di republik ini. Meskipun Warjo dan Tukidi bukanlah anak-anak bodoh yang layak tersisihkan dalam kompetisi intelektualitas sistem kehidupan global saat ini, mereka harus menerima kenyataan terpinggirkan secara sosial oleh keterbatasan ekonomi orangtuanya.

Anak-anak cerdas seperti Warjo dan Tukidi yang berceceran di hampir setiap kampung atau desa di seantero negeri ini, tanpa meminta bantuan serta perhatian dari pemerintah, terpaksa harus menanggalkan semua impian masa depannya bekerja dengan mengandalkan segala ke-bisa-annya untuk memenuhi kebutuhannya setara dengan tingkat perkembangan status keluarganya.

Pendidikan formal, mulai dari tingkat TK sampai perguruan tinggi sangat-sangatlah penting dan perlu. Pendidikan, sejalan dengan amanah konstitusi yang tersirat didalam jiwa Pembukaan UUD 1945 adalah “semangat dasar” proses pendirian negeri ini. Bukan saja menjadi hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan, melainkan juga, dengan segala keterbatasan yang ada, justru menjadi kewajiban pemerintah/negara untuk mewujudkannya.

Hanya saja yang kini menjadi persoalan adalah, haruskah pendidikan yang secara faktual belum mampu dijadikan sebagai indikator utama bagi kecerdasan seseorang, serta sangat kecilnya kesempatan yang tersedia buat kaum ekonomi lemah untuk mendapatkannya, dijadikan mesin seleksi utama mengisi jabatan birokrasi atau politik dalam sistem kehidupan bernegara saat ini? Lalu, di mana demokrasi ekonomi atas hak kesempatan bekerja bagi keluarga miskin ?

Karenanya, saya jadi berpikir, bagaimana pendidikan harus dilekatkan kembali pada peran dan fungsi konstitusionalnya. Sebab, pendidikan harus mampu mencerdaskan peri kehidupan bangsa, bukan justru meng-amputasi keinginan mereka yang sesungguhnya sangat membutuhkan..

Harus diakui, bahwa operational cost (beaya operasional) proses pencerdasan ini tidaklah kecil. Sementara keberadaan keuangan Negara pun kondisinya belum menggembirakan. Dalam arti, belum mampu  menjangkau secara penuh tujuan ideal ini.

Mencerdaskan mereka yang kurang cerdas menjadi cerdas, serta berperilaku etis dan memiliki moral yang tangguh adalah tugas sekolah. Tetapi memfasilitasi mereka yang cerdas menjadi pemimpin adalah tugas politik kebangsaan yang harus dipahami oleh setiap insan pengambil kebijakan. Apakah itu yang disebut sebagai Presiden berikut perangkat birokrasinya; DPR berikut partai politik pendukungnya, ataupun para akademisi sebagai pemegang tongkat estafet ilmu pengetahuan.

Memang tidak setiap anak memiliki standar kecerdasan (IQ) yang bisa dikatakan sebagai cerdas. Ini artinya tidak semua anak itu sebetulnya cerdas atau memiliki bakat kecerdasan yang tinggi. Tidak peduli yang menikmati pendidikan formal tinggi maupun yang tersisihkan secara sosial. Tidak sedikit mereka yang sesungguhnya “otak”-nya pas-pasan, oleh karena terlahir dari kondisi ekonomi keluarga yang tergolong sebagai mampu, memenuhi kursi-kursi pendidikan formal di seluruh Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang bertebaran di seantero negeri. Sementara di sisi lain, tidak sedikit dari mereka yang sesungguhnya tergolong sebagai anak cerdas dan memiliki bakat cerdas (IQ tinggi), namun oleh karena tidak berkesempatan mengenyam pendidikan yang memadahi, malah berserakan di bursa-bursa kerja kasar, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Dalam desah ketidakberdayaannya, mereka-mereka ini hanya bisa berkata : “Yah, itu sudah menjadi nasib kami. Harus menerima kenyataan, menjadi pewaris abadi kemiskinan dari sebuah keluarga miskin. Dan, kalaupun toh kami berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan, itu hanya karena sang dewa pelindung yang menolong kami keluar dari puting beliung kemiskinan yang sampai kini masih selalu melilit kehidupan dan hari depan kami”. Bukan karena sistem yang bekerja !

Berbicara terhadap mereka yang mampu secara ekonomis untuk menyekolahkan anak-anaknya, saya rasa tidak terlalu banyak menjadi beban bagi negara. Tetapi memikirkan bagaimana agar anak-anak cerdas seperti Warjo-Warjo dan Tukidi-Tukidi di seluruh negeri ini bisa menikmati jenjang pendidikan formal sampai di perguruan tinggi, adalah tugas negara yang tidak bisa diabaikan di dalam proses pencerdasan bangsa. Terlebih lagi, apabila hal ini dilihat dari estafet kepemimpinan nasional menuju terciptanya masyarakat demokratis yang semakin membutuhkan munculnya manusia-manusia tangguh, baik dalam sikap maupun intelektualitasnya. Bukan sekadar menjadi monopoli oleh sebagian masyarakat yang secara sosial memiliki status “berada”.

Mencerdaskan peri kehidupan bangsa bukan hanya tugas konstitusi, melainkan juga tugas bangsa ini. Karenanya, mengangkat anak-anak pilihan (lokal jenius) dari setiap titik wilayah negeri, dengan membekalinya dengan pendidikan agar mampu menjadi calon-calon pemimpin bangsa, adalah tugas seluruh bangsa. Dalam hal ini Negara!

Artikel Baru

Artikel Terkait