“Tiba-tiba saya merasa sendirian di tengah kerumunan orang yang hendak menuju persinggahan masing-masing. Di tengah kerumunan itu, saya memelankan kaki dan termangu: teringat kampung halaman yang penuh kesederhanaan. Sementara orang-orang itu, sebagian besar, tak menghiraukan satu sama lain. Mereka nampak fokus dan gontai akan langkahnya karena diburu waktu demi sebuah asa yang menggantung.”
Tulisan di atas (telah mengalami perubahan) adalah sebuah status yang pernah saya posting di jejaring sosial (Facebook) beberapa bulan sebelum mudik lebaran kemarin. Dari dalam gerbong Commuter Line (KRL) jurusan Stasiun Tanah Abang, Jakarta ke Stasiun Bogor. Dari balik jendela kereta, rumah-rumah kumuh—dekat bantaran kali maupun bantaran rel—nampak berbeda dengan rumah-rumah gedongan.
Sebelah kanan dari tempat duduk saya, ada rumah susun (rusunawa) mengingatkan rusunawa di desa saya, yang menyita lahan sepak bola. Bayang-bayang tentang desa semakin menyeruak. Bayangannya sedikit tersamarkan setelah membuka gadget dan membaca isi dari komentar Facebook itu. Saya membacanya sambil cengar-cengir. Seolah tak percaya, sebagian besar komentar itu menginginkan saya untuk kembali ke desa. Apakah saya tidak pantas tinggal di kota, ataukah ada rasa iba; memberi semangat untuk membangun asa dan mencari nafkah di desa.
Desa dan kota bukan perkara perbedaan satuan geografis maupun administratif. Ada yang jauh lebih penting, yaitu kultur. Masyarakat di desa mengenal kehidupan yang bersahaja dan penuh keakraban, kehangatan antarsesama, interaksi sosial yang masih terjaga dan menunjung tinggi asas silaturahmi dan mufakat.
Pendek kata, masyarakat desa memiliki tata cara, tata krama, dan tata susila untuk membangun hidup bersama. Selain itu, masyarakat desa bersifat homogen. Melestarikan tradisi maupun budaya. Meski demikian, kita sering latah dan mendakwa menjadi orang desa itu mustahil disebut orang modern atau maju.
Sementara orang-orang kota dengan angkuh kerap memamerkan diri sebagai manusia yang tinggal di kawasan maju dan modern. Sehingga membentuk karakter masyarakatnya heterogen, mengedepankan individualisme, konsumerisme. Lagi minim kepekaan sosial dan kemacetan yang tak bisa dihindarkan. Dengan segala permasalahan yang sukar dipahami dan diuraikan, kota mendeklarasikan sebagai tempat percontohan. Yakin loe, Cang?
Saya merantau terbilang cukup singkat. Satu tahun tidak jangkep. Tepatnya sembilan bulan, dari Desember 2016 sampai Agustus 2017. Jujur, sebenarnya masih banyak harapan yang perlu saya pertaruhkan di kota. Seperti yang sudah saya sebut di artikel “Tentang Bagaimana Saya Resign” di portal ini, alasan saya untuk kembali ke desa adalah saya merasa tidak produktif lagi di tempat kerja. Sehingga tubuh gampang lelah, bosan dan yang paling penting, di kota tak memberi ketentraman dan kebahagian seperti di desa.
Di tahun 2004, Virgiawan Listanto atau akrab disapa Iwan Fals, menuliskan desa pada album Manusia ½ Dewa. Saya kutipkan lagu dengan judul desa itu. Desa harus jadi kekuatan ekonomi/Agar warganya tak hijrah ke kota/Sepinya desa adalah modal utama/Untuk bekerja dan mengembangkan diri//Walau lahan sudah menjadi milik kota/Bukan berarti desa lemah tak berdaya/Desa adalah kekuatan sejati/Negara harus berpihak pada para petani//Entah bagaimana caranya/Desalah masa depan kita//Keyakinan ini datang begitu saja/Karena aku tak mau celaka//Desa adalah kenyataan/Kota adalah pertumbuhan/Desa dan kota tak terpisahkan/Tapi desa harus diutamakan.
Selaras dengan Iwan Fals, Darmawan Triwibowo di kalam pengantar buku Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal (2017: vi), desa dengan kegelisahan dan keterbatasannya menjadi alat untuk menjaga stabilitas harga pangan bagi penduduk kelas menegah perkotaan; sumber pasok buruh murah bagi perluasan industri manufaktur padat karya; maupun (paling tidak sekali dalam lima tahun) menjadi alat untuk mendulang suara bagi partai berkuasa atas nama stabilitas politik nasional. Desa dan kota tidak bisa dipisahkan. Simbiosis Mutualisme.
Sebelum merantau, saya (walau satu tahun) pernah mengkaji UU Desa, dari program Menteri Desa, PDTT tentang UU Desa. Di dalam UU No. 6 tahun 2014 desa diberi kesempatan dan membuka ruang atas peluang dan tantangan di sisi yang lain. Paling tidak, jika dimaknai dari aspek demokratisasi. Peluang karena penegasan eksistensi semakin bisa dikuatkan dengan Rekognisi (pengakuan terhadap hak asal-usul) dan subsidiaritas (kewenangan desa untuk menetapkan kewenangan berskala lokal desa secara sendiri). Melalui UU Desa ini juga, peluang pendekatan partisipatif masyarakat semakin mendapat ruang.
Desa tetap menyimpan potensi yang dapat menjadikan kehidupan lebih baik bagi penduduknya selama dikelola dengan baik dan benar oleh orang-orang yang bervisi dan potensial. Untuk itulah pemuda sebaiknya menjadikan desa sebagai masa depan dan mulai berkarya dan bekerja.
Di kota ritme kehidupan diukur dari untung-rugi, baik di jalan maupun skala ekonomi. Maksudnya, bila di kota untuk menuju ke suatu tempat, mereka harus uyel-uyelan di jalanan. Tak segan, mereka juga “ugal-ugalan” dengan menyabotase wilayah teritori pejalan lain. Anak sekolah yang mau berangkat sekolah harus bermain-main dengan waktu supaya tidak telat datang ke sekolah. Sementara pemandangan di kendaraan umum, KRL misalnya, nampak fokus dengan gadget-nya, dengan telinga memakai haedset, dan mulut ditutup masker, dan tas berada depan. Bak custom khusus orang kota saat naik kendaraan umum dengan kewaspadaan akan kejahatan-kejahatan yang lain, yang selalu mengintai.
Sementara desa memang memiliki kesan tersendiri bagi orang-orang yang meninggalkannya. Anak-anak desa akan selalu rindu pulang ke desa. Sesekali mencari udara segar di desa dan menjenguk panorama menghijau dan tetesan embun pagi yang sejuk selepas subuh. Di desa kita bisa mendengar ibu-ibu menumbuk padi atau gaplek di “lesung” dengan nada bertalu-talu. Saat pagi hari, banyak anak-anak bercanda ria berangkat sekolah dan para pekerja berangkat kerja di hutan maupun di sawah dengan jalan kaki atau naik ontel. Tampak beberapa petani membawa cangkul mengayunkan langkah dengan mantap.
Kehidupan desa yang nyaman dengan panorama yang indah, dan budaya yang adiluhung membuat orang-orang berkeinginan manunggal ke desa. Itulah seni balik ke desa, jadi orang biasa, sambil menikmati desa. Enaknya hidup di desa; pagi-pagi sudah menyeduh kopi, sambil duduk di teras, kita bersiul dengan burung kutilang dan mengemut rokok sebatang.