Meriahnya Pasar Rakyat yang diselenggarakan di alun-alun —dalam rangka Peringatan HUT RI ke-72 dan Hari Jadi Kabupaten Trenggalek—hari-hari ini mengingatkan saya saat mengunjungi pasar malam di Desa Wonorejo, Kecamatan Gandusari, kira-kira tiga minggu yang lalu. Tentu saja saya tidak sendirian waktu itu. Saya menikmati hiburan di pasar malam yang menempati lahan seukuran lapangan bola tersebut bersama istri dan anak saya yang masih 2 tahun.
Lazimnya pasar malam, ada banyak sarana hiburan di sana. Bianglala, komedi putar, tong setan, dan rumah hantu (ada lagi?) yang merupakan permainan khas pasar malam dan cukup legendaris pun tersedia. Tidak ketinggalan pula stand-stand yang menjajakan pakaian, makanan, dan aneka cindera mata lainnya. Sayangnya, tidak banyak yang bisa kami nikmati malam itu. Sebab, jam tangan sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Setelah menaikkan anak ke atas komedi putar, dan membelikannya sejumlah buku gambar, kami pulang.
Pasar malam di Wonorejo kemarin sesungguhnya adalah yang kali kedua digelar dalam tiga bulan terakhir ini. Tempatnya pun sama, di lapangan Desa Wonorejo. Meskipun demikian, dengan sarana hiburan dan jualan yang persis sama, banyaknya pengunjung seakan tidak berkurang sedikit pun —dibanding tiga bulan sebelumnya.
Masyarakat Gandusari memang dikenal sangat antusias dengan hiburan, baik hiburan harian maupun musiman. Itu bisa dilihat dari aneka sarana hiburan, terutama hiburan anak, yang setiap hari bisa dijumpai di sekitaran pusat kecamatan. Hiburan musiman / dadakan demikian, seperti pasar malam kemarin, konser musik, hingga pertunjukan wayang kulit, tak pernah sepi dari pengunjung. Selain itu, berbagai jenis makanan dan juga tersedia setiap harinya. Dan yang menarik, seperti pengakuan sejumlah pedagang makanan ringan yang saya tanya, hampir tidak ada makanan yang tidak habis terjual.
Kembali ke pasar malam. Kemarin, saya sempat berbicang dengan beberapa penunggu wahana hiburan dan pedagang di sana, persis dengan yang saya lakukan tiga bulan yang lalu. Dari mereka saya tahu bahwa semua wahana permainan di pasar malam kemarin adalah milik satu orang dari luar Trenggalek. Pemilik stand-stand yang berada di dalam pun, hampir semuanya merupakan orang luar Trenggalek. Sementara pedagang dari daerah Gandusari sendiri menjajakan dagangannya di luar lapangan atau di pinggiran jalan. Dagangannya pun ‘hanya’ kacang godhok, opak sambal, kopi, dan sejenisnya. Bukankah ini ironis? Atau lebih sarkas lagi, tidak adil?
Saya menjadi teringat beberapa waktu lalu, lamat-lamat muncul polemik yang berhubungan dengan even hiburan seperti ini. Waktu itu, Mas Ipin (Wakil Bupati Trenggalek) diketahui memiliki rencana akan menyelenggarakan even Pasar Rakyat di tiap-tiap kecamatan. Di even tersebut, selain tentunya ada sarana permainan laiknya pasar malam, juga didirikan stand-stand yang menjual produk-produk lokal. Jadi, selain sebagai wahana hiburan, Pasar Rakyat dimaksudkan untuk mempromosikan —untuk meningkatkan daya saing—produk UMKM setempat, yang berarti merangsang masyarakat untuk berwirausaha secara kreatif. Ujung-ujungnya, perputaran ekonomi di masyarakat bawah akan meningkat —ini berarti perekonomian Daerah yang ditunjukkan dengan beberapa indikator seperti PDRB, IPC, dan sebagainya juga mengalami kenaikan.
Akan tetapi, gagasan tersebut waktu itu mendapat tentangan dari sebagian kalangan. Penentangan yang ramai di media sosial waktu itu, kalau dicermati, bertolak dari kekhawatiran yang serupa dengan pertanyaan di atas —semoga anggapan saya tidak berlebihan. Menurut mereka, Pasar Rakyat bukan meningkatkan perputaran uang di masyarakat, melainkan hanya melarikan uang masyarakat (lokal) ke luar daerah. Ini karena pemilik wahana permainan dan pedagang utama di Pasar Rakyat, kita tahu, merupakan orang luar Trenggalek. Sementara posisi masyarakat lokal lebih sebagai konsumen.
Kekhawatiran ini—sayangnya—kemudian mendapat afirmasi tatkala pemerintah menyelenggarakan even serupa di tingkat kabupaten (even di seputaran stadion dan di alun-alun, yang salah satunya menjadi rekor Pasar Rakyat terpanjang). Waktu itu, yang menjadi poin kritis adalah harga stand yang tidak terjangkau bagi pelaku usaha lokal. Maka tidak heran jika di even tersebut, pelaku usaha dari luar Trenggalek lebih mendominasi.
Kalau begitu, apakah penyelenggaraan even Pasar Rakyat tidak relevan bagi masyarakat Trenggalek karena tidak “pro rakyat” lokal?
Begini. Seperti halnya dua sisi koin, yang saling membelakangi namun tak bisa dipisahkan. Persoalan Pasar Rakyat juga demikian. Dilihat dari konteks ekonomi, memang, jika ia dipenuhi oleh pedagang dari luar Trenggalek, tidak dipungkiri jika —seperti yang dikhawatirkan oleh sebagian orang—duit yang ada di Trenggalek akan keluar. Namun yang harus diingat, bahwa even Pasar Rakyat bukan semata soal ekonomi [jual-beli]. Indikator kesuksesannya bukan pada jumlah uang masuk dan keluar.
Pasar Rakyat, hakikatnya adalah hiburan. Ia, dari sudut pandang pemerintah, adalah semacam pelayanan publik yang tidak mempertimbangkan untung-rugi. Secara subyektif, saya meyakini bahwa jika dikuantifikasikan, tidak kurang dari delapan puluh persen darinya adalah hiburan. Selebihnya, perihal jual-beli. Silakan amati, dari sekian pengunjung Pasar Rakyat, berapa banyak orang datang yang berniat untuk berbelanja, dibandingkan dengan yang datang untuk ‘refreshing‘, mencari sarana permainan, atau bahkan sekadar jalan-jalan? Lagi pula, baik barang maupun sarana hiburan yang ditawarkan di dalamnya, beberapa di antaranya adalah barang atau sarana hiburan yang tidak selalu tersedia di Trenggalek. Belum lagi jika memperhitungkan soal momen.
Jadi, even Pasar Rakyat tetap relevan untuk diselenggarakan. Soal masyarakat lokal yang cenderung hanya menjadi konsumen, problemnya bukan di situ. Persoalan yang substantif, yang lebih penting untuk didiskusikan, adalah bagaimana memastikan masyarakat lokal agar benar-benar mampu menjadi konsumen (bukan pseudo-konsumen), atau dengan kata lain, mampu memenuhi kebutuhannya akan hiburan.
Bersambung…