Sekelompok orang duduk berkeliling membentuk lingkaran, sementara satu orang—dengan baju yang berbeda dari yang lain, tapi masih berada dalam lingkaran yang sama—menuturkan semacam cerita atau hikayat dengan bahasa Jawa setempat: menyebut beberapa kata yang merupakan nama-nama lokal, berpadu dengan nama-nama yang saya tak cukup kenal. Cuplikan atau penggalan bunyi tuturan tersebut antara lain: “….bubat kawat mata kumala bol karah tracak waja…..”
Demikian pula, di dalam tuturan tersebut, nama Klakar dan Jung/Jong Biru sering sekali disebut oleh Sang Kanjeng, si penutur, yang berfungsi sebagai semacam juru cerita sekaligus yang memimpin upacara/ritual ini. Ucapan Sang Kanjeng lantas dibalas atau dijawab oleh seseorang yang bernama Patih, yang juga berada di lingkaran tapi dengan posisi berhadapan dengan Sang Kanjeng.
Lantas Si Patih meneruskannya kepada orang-orang yang hadir (para peraga) mengitar di sekelilingnya. Ucapan si Kanjeng ini kira-kira dilakukan beberapa kali dan semacam mirip, bisa musyawarah atau dialog, antara bawahan dengan atasannya.
Peristiwa di atas adalah di antara fragmen dalam, sebut saja, teater rakyat Sinongkel(an), yang hidup dan secara berulang diperingati oleh masyarakat Desa Prambon, Tugu, Trenggalek. Setiap tahun, bersamaan dengan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus juga bertepatan dengan hari jadi kota Trenggalek sendiri, masyarakat Desa Prambon di desanya sendiri ajeg menyambut acara Sinongkelan ini.
Pada dasarnya upacara Sinongkelan sangat sederhana, gerakannya hanya duduk bersila (ada berdirinya) secara melingkar, dengan beralas tikar. Sementara Si Kanjeng dan si Patih yang menguasai jalannya cerita, menuturkan kisah atau cerita berbaur mantra melalui lisan mereka. Satu orang lagi tokoh sentral bernama Gandhek bertugas mengawasi para peraga yang duduk melingkar. Si Gandhek ini (yang membawa kendhi berisi air, bertugas mengawasi para peraga tadi) akan menghukum siapa-siapa dari orang-orang yang melingkar (wayang peraga), yang lena dan melakukan kesalahan/kekeliruan gerakan dengan memberinya minuman.
Para peraga bergerak berulang-ulang, misalnya dari gerakan duduk ke berdiri; dari berdiri ke duduk kembali. Ada semacam gerakan bangkit dari duduk secara terhuyung-huyung. Barangkali gambaran akan peristiwa tercongkelnya si Kanjeng beserta pengikutnya, dan ingin berusaha bangkit kembali.
Dari dialog antara Kanjeng Sinongkel dan Patih, bisa terbaca kira-kira kalau isi dialog adalah bicara soal gladak atau berburu kijang untuk dipersembahkan ke Sinuhun. Kijang tersebut digunakan sebagai tumbal di daerah Jong Biru dan Selakar. Kijang tersebut disebut Kijang Kencana. Saat berburu kijang ini, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dilakukan di antaranya terbunyikan dalam mantra atau sanepa-sanepa berikut: ..godhong murep dilumahne, godhong mlumah diurepne… pasang jagang, pasang gawar pagrogolan, pasang bencok, pasang jaring….udheng gadhung, brongsong nongko, Nyothe keris ora kena… (khusus untuk cerita perburuan kijang ini nanti bisa dibahas tersendiri).
Nama kanjeng Sinongkel (yang terjungkal) sendiri mulanya bagi masyarakat Prambon masih gelap: siapakah dia? Kira-kira hidup di zaman apa? Banyak orang menyebut dia, dengan melemparkannya ke masa kerajaan Majapahit atau ke zaman Kadiri. Sampai kemudian, setelah Joko Kuntono—seorang pegiat budaya—mulai tertarik dengan tradisi Sinongkel, amatan dan cermatannya membawanya pada identifikasi bahwa Sinongkel adalah Pakubuwana II. Identifikasi itu antara lain melalui pengamatan pakaian dan gerak tari yang ditampilkan, hingga meyakini bahwa Sinongkel tidak lain adalah sebutan lokal (samaran) dari Pakubuwana II.
Saya sendiri tidak terlalu kaget dengan kroscek data (identifikasi) bahwa Sinongkel adalah Pakubowana II, sebab dari jauh-jauh hari saya telah mendengar hal senada pernah dituturkan Mbah Hamid, bahwa dari sekian banyak tokoh-tokoh masa lampau yang pernah tetirah ke Trenggalek, salah satunya adalah Pakubawana II, pasca tragedi Geger Pacinan di Batavia. Meski, saya pribadi tidak tahu dan belum bisa melacak, ia berkunjung (tetirah) ke Trenggalek, tepatnya ke daerah sebelah mana.
Dari sependek pengamatan saya, tradisi Sinongkelan sebetulnya adalah kisah babad Desa Prambon. Sebagaimana juga Larung Sembonyo di Watulimo (Teluk Prigi) dan Larung Longkangan di Munjungan (Teluk Sumbreng) yang keduanya merupakan dua kisah babad pesisiran. Tentang kedatangan orang-orang yang pertama kali membuka hutan dan membuat pemukiman di desa-desa di pesisir selatan Trenggalek, termasuk juga di Panggul.
Sementara Sinongkel adalah kisah mengenai orang-orang yang datang ke Desa Prambon dan diduga kedatangannya menyebabkan kian banyak orang berdatangan untuk menetap di sana (di Desa Prambon) lebih banyak lagi. Sinongkel atau Prabu Anom beserta pengikutnya ini menetap agak lama sehingga melahirkan nama desa baru, yakni Desa Prambon tersebut. Kemungkinan sebelum ada Desa Prambon, di situ sudah ada nama-nama desa seperti Desa Jong Biru juga Desa Selakar dan yang lainnya, yang disebut secara lisan dalam upacara Sinongkelan.
Tidak heran kalau di Desa Prambon sekurangnya terdapat beberapa makam leluhur baik penduduk asli sana atau orang-orang pendatang dari pengikut Kanjeng Sinongkel di zaman itu, di antaranya, di Slakar (Bancalana), di Canthing (Mbah Canthing), di Ganggung (Mbah Budha), dan di Biru atau lokasi siraman. Itulah di antara lokasi-lokasi sesepuh Desa Prambon dimakamkan yang lantas juga menjadi semacam danyang desa. Barangkali saja memang sebelum Kanjeng Sinongkel sampai di daerah yang kini bernama Prambon, di situ sudah terdapat penduduk yang memukiminya, bahkan barangkali sudah ada desa yang tadi antara lain bernama Jong Biru.
Tetirah Pakubuwana II ke arah timur memang ada hubungannya dengan peristiwa Geger Pacinan dan juga intrik politik keraton Mataram (suksesi bagian ketiga keraton Jawa). Sepeninggal Amangkurat IV (1726), Pakubuwana II-lah yang menjadi penggantinya. Raja yang masa mudanya bernama Raden Mas Probosuyoso ini dilantik saat ia masih berusia belum genap 15 tahun, dan berkeraton di Kartasura. Pemerintahannya diwarnai intrik dan persaingan antarkeluarga. Di dalam istana sendiri, orang-orang dekat sang raja, sebagian bersahabat dengan VOC, sementara sebagian yang lain tidak menyukai campur tangan VOC di dalam keraton.
Di sisi lain, Pakubuwana juga harus berhadapan dengan saudara (kakak) lain ibunya, yakni Mangkunegara yang dulu pernah memberontak kepada ayahnya. Mulanya Mangkunegara ini juga bersahabat dengan VOC, sebagaimana juga Ratu Amangkurat, sang ibu suri, sementara patih Pakubawana II, yakni Cakrajaya (Danureja) amat membenci VOC. Singkat cerita, terjadilah intrik dan jebakan Danureja yang menyebabkan Mangkunegara dibuang ke Srilangka oleh VOC atas permintaan Pakubawana; taktik Danureja ini membuat anak Mangkunegara, Raden Mas Said, menaruh dendam padanya. Tahun 1732 terjadi perselisihan antara pukubuwana dengan patih Danureja, hingga membuat sang patih terbuang pula, sebelum nanti digantikan Natakusuma.
Nah, di tengah dua pihak karaton yang sering berseteru antara yang bersahabat dan yang memusuhi VOC saat itulah kebetulan meletus peristiwa Geger Pecinan di antara tahun 1740-1743, kelak sebagian pelarian orang-orang Tionghoa yang berada di bawah pimpinan Kapitan Sepanjang menuju timur hingga ke Jawa Tengah dan bergabung dengan mereka yang melawan VOC dan memusuhi Pakubuwana II yang bersahabat dengan VOC (meski mulanya ia juga memusuhi VOC), antara lain Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Bala tentara Sunan Kuning memasuki Kartasura tahun 1742, dan membuat Pakubuwana II kepepet hingga mengungsi dari keratonnya di Kartasura, lari ke arah timur menyeberangi Bengawan Solo ditolong serdadu Belanda lantas tembus Magetan dan menuju ke timur lagi hingga ke Ponorogo (di masa itu Desa Prambon, Tugu, masih termasuk wilayah Ponorogo). Kelak dari desa Prambon, ia menyusun kekuatan kembali untuk merebut tahta dibantu Cakraningrat dari Madura dan VOC.
Tentara gabungan Cina-Jawa yang dipimpin Sunan Kuning ini, tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, hampir saja bisa menghabisi orang-orang Belanda andai saja Cakraningkrat IV dari Madura tidak turun tangan dan memanfaatkan kekacauan untuk melancarkan kembali permusuhannya dengan Mataram, yang saat itu sudah berada dalam kendali Sunan Kuning yang telah dinobatkan oleh rakyat dan para pemberontak sebagai Sunan Amangkurat V. Setelah menaklukkan Tuban dan Gresik, Cakraningrat pun merebut keraton Kartasura.
Pasukan gabungan Cina-Jawa pimpinan Sunan Kuning ini memang cukup tangguh di kota-kota pesisir utara Jawa Tengah sebelum kelak sampai di Kartasura. Namun karena menghadapi musuh dari tiga penjuru, yakni oleh Cakraningrat, Pakubuwana II dan bantuan VOC, Sunan Kuning kewalahan dan Kartasura direbut kembali (dari bantuan ini, kelak VOC berkuasa penuh di hampir sepanjang pantai utara Jawa). Di masa selanjutnya peperangan-peperangan antarkeluarga keraton ini masih berlangsung hingga sampai pada meletusnya Perjanjian Giyanti (1755), yakni pembagian kekuasaan antara Sunan Pakubuwana III dengan Mangkubumi, dengan rancangan VOC, yang memecah keraton Mataram dengan batas Kali Opak, menjadi Yogyakarta (barat Kali Opak) dan Surakarta (timur Kali Opak).