Ironi Masyarakat Laut Pesisir Prigi

Masyarakat yang menempati bibir pantai menaruh perekonomian dari hasil (me)laut. Laut dan isinya menjadi salah satu penopang kehidupan warga sekitar. Denyut nadi perekonomian masyarakat pesisir ditentukan dari hasil laut yang melimpah: panen ikan. Tak ayal jika masyarakat pesisir Pantai Prigi mampu menopang desa maupun kabupaten sebelahnya (kadang tidak merata di kabupatennya sendiri) dari sektor perikanan ini.

Pantai Prigi menjadi salah satu penyuplai ikan segar terhadap kabupaten dan bahkan luar provinsi. Lantas bagaimana kondisi Pantai Prigi sekarang? Dan bagaimana nasib nelayan saat musim ikan? Dua pertanyaan ini yang sering muncul ketika Pantai Prigi sedang musim ikan. Lebih lanjut, kawasan pesisir Pantai Prigi oleh pemerintah kabupaten dicetuskan sebagai salah satu Kota Maritim Baru. Sebab, Prigi merupakan salah satu pemasok PAD Kabupaten Trenggalek terbesar, baik dari sektor perikanan maupun pariwisatanya.

Kawasan Pantai Prigi pada beberapa hari terakhir ini mulai menggeliat kembali. Menggeliatnya aktivitas perahu dan nelayan di dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi lantaran ikan sedang mental—istilah lokal (muncul kembali/panen). Selama nyaris dua tahun laut Pantai Prigi sepi dan tak bertuah, sebab ikan sulit dicari dan aktivitas para nelayan pun cenderung ikut berhenti.

Beberapa hari terakhir masyarakat mulai kembali sedikit tersenyum. Di Pantai Prigi sedang panen raya ikan. Kita (masyarakat sekitar Pantai Prigi) telah mahfum bahwa satu atau dua minggu yang lalu, masyarakat pesisir mengadakan Labuh Laut sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Esa. Entah panen ikan itu lantaran Larung Sembonyo atau bukan? Itu adalah kebetulan atau mitos belaka. Sebab, kita harus yakin semua rezeki berasal dari Tuhan.

Sebelum panen ikan seperti sekarang, kita merasakan betapa terseok-seoknya ekonomi masyarakat pesisir dari dampak paceklik ikan berkepanjangan itu. Alih-alih makan dari hasil melaut, mereka (masyarakat pesisir) sering diterpa isu menggadaikan perabotan elektronik maupun perabotan rumah tangga. Gerabah atau perabotan rumah tangga pun digadaikan atau bahkan dijual asal bisa makan nasi hari ini. Nyaris dua tahun nelayan Pantai Prigi merasakan kondisi seperti itu.

slerek atau porse seine mangkrak di dermaga pelabuhan. Tidak ada aktivitas nelayan di laut. Hanya ada aktivitas orang-orang men-dandani perahu di dermaga pelabuhan. Kata “panen ikan” pun seakan sulit untuk dieja. Bahkan segar dan gurihnya ikan khas Prigi hampir lupa rasanya. Kalaupun makan ikan tentu ikan dari laut utara, yang tak kalah segar dan gurih.

Kini nelayan pesisir Prigi bisa makan ikan lagi dan jadi salah satu menu di atas meja setiap hari. Namun dari panen raya ikan ini tidak luput dengan masalah? Masalah yang muncul adalah masalah klasik dan telah menggurita, yang seolah sulit untuk dipecahkan tiap musimnya. Masalah tersebut adalah monopoli antarpedagang. Harga ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pantai Prigi murah sekali.

Para pemain (monopoli) seperti tak punya welas asih terhadap keringat nelayan. Para pengepul dan pembeli ikan menghargai se-enak udel-nya sendiri. Sangat-sangat-sangat murah. Jika dilihat dari pengorbanan para nelayan itu, harga ikan tak sebanding dengan jerih payah nelayan. Para pencari ikan memulai pelayaran sekitar Pukul 16.00 WIB (sore hari) dan baru menjejak daratan lagi di keesokan harinya.

Padahal ditilik dari pengorbanan para nelayan, mereka sering menemui aneka halangan dan rintangan; mesin rusak di tengah segara, perahu bocor, cuaca, arus dan gelombang besar (buruk) serta kendala klasik yang lain itu sudah biasa. Tak ayal, asa para nelayan sirna bersamaan dengan didereknya perahu slerek oleh perahu jonson itu menuju daratan. Sementara para nelayan lain masih menjemput asa di tengah segara demi hasil ikan yang berlimpah dan demi rezeki keluarga di rumah.

Namun apa yang didapat saat seorang nelayan sampai di darat?

Jenis perahu yang digunakan oleh nelayan Prigi adalah jenis perahu slerek atau porse seine dan perahu jonson sebagai perahu pemuat ikan hasil tangkapan. Saat musim ikan puluhan kedaton atau perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pantai Prigi pergi berlayar semua. Bisa kita simpulkan dari puluhan perahu itu mendapat ikan puluhan keranjang dan semua perahu panen ikan. Hingga berjumlah ber-ton-ton.

pelabuhan-perikanan-nusantara-prigi
Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi – Photo: @mastrigus

Saking banyaknya ikan yang dihasilkan nelayan, muncul pula masalah yang telah menggurita: harga ikan murah. Kualitas ikan-ikan segar tak tertangani. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Prigi yang kapasitasnya cukup luas tak mampu menampung keranjang-keranjang berisi ikan jenis layang. Tak ayal, deretan keranjang berisi ikan milik nelayan meluber hingga area di sekitar TPI.

Seperti informasi nelayan yang saya hubungi harga ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Prigi, Trenggalek nggak payu atau tidak laku. Yang memprihantikan lagi, harga ikan anjlok hingga di angka 200 sampai 700 ribu per keranjang (krenjang). Jika diasumsikan, setiap keranjang memiliki berat 100 kg, maka harga jenis ikan layang: misal teropong maupun renges (sebutan ikan lokal) milik nelayan, hanya dihargai dua ribu sampai dua belas ribu rupiah per kilo-nya. Padahal harga ikan jenis layang itu sampai di berbagai daerah; luar kabupaten, bisa di atas 10 ribu sampai 20 ribu rupiah. Sungguh ironi nasib nelayan Prigi.

Sebenarnya kegiatan lelang di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Prigi menggunakan ledang telah dilaksanakan. Namun cara lelang itu juga tak banyak membantu para nelayan. Monopoli antarpedagang (pemodal) begitu kuat dan tetap tak bisa diendus. Di lain sisi, sebagian besar dari pemilik perahu (juragan darat) adalah pedagang besar ikan (pemodal) tersebut. Ibarat kata, para nelayan menjual ikan dari dan kepada pedagang-(pemodal) pemilik perahu sendiri. Sehingga pembeli menghargai ikan dengan sak penak lek ngomong.

Di sisi lain, kualitas ikan yang menurun lantaran tidak ada wadah es (cold box) di perahu jonson turut menentukan harga jual ikan. Banyak para nelayan, atau biasanya mbok-mbok bakul bergincu merona bingung mencari tempat pengolahan ikan atau pengepul, baik pemindang maupun cold storage supaya ikan terjual habis.

Sejatinya di Kawasan Maritim Baru, Prigi, ini telah banyak tempat pengolahan ikan. Mulai dari cold storage, pemindangan, bahkan hingga pabrik tepung. Namun nyatanya sampai saat ini puluhan tempat pemindangan, cold storage maupun pabrik tepung tak jua mampu menampung dan menjaga stabilitas harga pasar ikan milik nelayan. Di sisi lain, semangat nelayan sunguh luar biasa. Saat ikan belum habis, para nelayan pun sudah siap melaut kembali.

Adanya tuah ikan di pesisir Pantai Prigi ini juga mendatangkan keluh kesah masyarakat. Selain harga ikan yang tak stabil, limbah pabrik dan pencemaran udara sering kita hirup. Bau tidak enak menyengat selama proses operasi penggilingan ikan di pabrik tepung. Baunya tercium sampai radius 2 hingga 5 kilometer atau bahkan lebih. Sebenarnya pemerintah daerah tidak tinggal diam dengan permasalahan ini. Namun kebijakan pemerintah tak ubahnya gertak sambal. Kebijakan cuma nama. Para nelayan tetap tak mampu menghargai sendiri ikannya dengan harga layak. Monopoli ada di pedagang besar.

Nelayan tetaplah seorang nelayan, hanya memiliki kekuatan raga. Apapun permasalahan yang dihadapi, mereka tetap menaruh ekonomi keluarga di sektor perikanan tangkap laut (Teluk) Prigi. Mereka merayakan dengan meng-unduh ikan setiap hari. Namun, sayangnya saat musim panen raya, harga yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan cucuran keringat dan besarnya resiko yang harus mereka hadapi di tengah ombak yang ganas.

Seharusnya kawasan yang memiliki potensi luar biasa ini dikelola dengan benar. Tidak ada simbiosis paratisisme antarpedagang dan nelayan. Di mana pihak satu merasa dirugikan, sedang pihak lain diuntungkan. Dan seharusnya kebijakan pemerintah dapat melindungi nelayan dan para pemodal di bidang industri perikanan. Para pemodal mesti membaca peluang pengembangan bisnis perikanan di Prigi dengan arif.

Semoga kelak nelayan tidak lagi menjadi embek perah bagi pemodal (termasuk juragan darat) dan ada perbaikan sistem pengelolaan perikanan yang baik. Nelayan tetaplah seorang nelayan di kolom KTP bukan PNS. Yang mendapatkan rezeki dari kail dan jaring. Salah satu cara mewujudkan rasa syukur adalah memanen dan menikmati ikan dari tengah segara. Terbukti, serendah apapun harga ikan. Seberat apapun tantangan dan rintangan, mereka tetap bekerja. Mereka sadar, dari tengah laut lah masa depan anak istri mereka disandarkan.

Artikel Baru

Artikel Terkait