“Tetapi lelaki tua itu selalu menganggapnya (laut) sebagai perempuan atau sesuatu yang memberi atau menyimpan anugerah besar, dan kalaupun laut menjadi buas atau jahat, itu karena terpaksa saja. Ia selalu menganggap laut sebagai la mar yakni nama yang diberikan orang-orang dalam bahasa Spanyol kalau mereka mencintai.” (Monolog tokoh Santiago dalam Lelaki Tua dan Laut).
Pantai ini tidak terlalu ramai. Dari daratan akan terlihat pulau-pulau kecil yang berjejer seperti barisan makhluk raksasa. Ombaknya lumayan besar. Angin yang mengalir deras dari laut akan menerpa banyak pohon kelapa yang tumbuh di sekitar pantai. Menciptakan sejuk yang nyaman bagi para pengunjung. Sama seperti pada umumnya pantai-pantai di Trenggalek, pantai ini juga dihuni sampah.
Meski tak sebanyak di pantai-pantai lain yang lebih tenar, tetap saja sampah-sampah itu menganggu: sisa-sisa makanan, plastik, hingga ikan-ikan busuk ditemui berserakan di atas pasirnya yang putih. Cukup sulit berjalan santai dengan kaki telanjang. Mata harus selalu mengamati ke bawah jika tak mau menginjak ubur-ubur kering atau plastik es krim yang lengket.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi pantai di Teluk Sumbreng (Pantai Blado). Pantai Blado sedang agak ramai saat itu. Begitu kami (saya ditemani Mas Editor portal ini) sampai di sana, seorang ibu gemuk menyodorkan ikan-ikan segar di dalam ember. Ibu ini adalah salah satu nelayan yang baru memanen ikan dari “jaring tarik” yang diangkat siang itu. Kami tak ingin membeli. Tetapi ibu itu cukup baik membiarkan kami melihat-lihat ikannya. Sambil senyum-senyum, ia sesekali membantu Mas Editor mengenalkan beberapa jenis ikan kepada saya.
“Yang warna merah ini ikan kakap merah. Kalau yang ada garis kuningnya itu namanya ikan janggut kuning. Kalau yang bulat pipih seperti ikan semar ini namanya pethek. Kalau yang seperti jelly dibuang di pasir itu ubur-ubur.”
“Ikan pethek, janggut kuning, kakap merah, ubur-ubur,” saya mengulangi.
“Sekarang lihat jaring tarik..!”
Di beberapa kesempatan mengunjungi pantai, saya tak pernah meletakkan para nelayan sebagai objek utama untuk diamati. Sebagian besar pekerja laut memang hanya menjadi latar bagi piknik menyenangkan para keluarga. Kita manusia pekerja yang butuh liburan, pergi ke pantai, duduk menggelar tikar, makan-makan, foto-foto lalu pulang dengan postingan gambar berlatar pemandangan cantik. Para nelayan, tukang sewa ban, penjual ikan hanya latar lewat yang dengan mudah dilupakan.
Tetapi pada piknik kali ini, saya diajak mengenal bahwa laut tak melulu disusun oleh alamnya yang khas, yang selalu bisa melahirkan puisi-puisi cantik. Tetapi juga oleh manusia yang hidup darinya, yang kalau diamati lebih dekat, akan membangunkan perasaan indah yang lain, bernama kemanusiaan.
Sambil duduk di tempat cangkruk, bersama 2 orang anak Niponk yang tak sengaja kami temui, saya mengamati para nelayan yang mengangkat jaring tarik. Usia mereka berbeda-beda. Namun kebanyakan adalah perempuan-perempuan paruh baya yang kulitnya coklat legam seperti terlalu banyak dijemur matahari. Sesekali nelayan-nelayan itu mengikatkan tali pada sebuah batang pohon kelapa kecil, yang saking seringnya dipakai sampai meninggalkan beberapa bekas kikisan di beberapa bagian batangnya.
“Lebar jaring itu sekitar 2 meter. Biasanya direndam 2 jam sebelumnya,” kata seorang anak Niponk.
Jaring tarik besar itu punya 2 tali yang terhubung ke daratan, di mana setiap talinya ditarik oleh sekitar 12 orang. Di ujung jaring terpasang bendera kecil guna memudahkan menandai lokasi jaring ketika direndam. Dua orang nelayan laki-laki akan berenang di dekat lokasi bendera, menarik jaring di bagian ujung. Dengan setengah telanjang mereka berenang melawan ombak di tengah laut. Saya bayangkan sesekali ombak-ombak itu datang lebih tinggi menerjang kepala-kepala di bawahnya. Tubuh terendam, mata mendelik, air masuk ke paru-paru. Tetapi tali itu tetap dipegangnya kuat-kuat. Nasib keluarga hari ini bergantung pada tubuh yang kurus-kedinginan itu.
Sementara di pinggiran pantai, mereka yang tangan-tangannya lecet menerka-nerka berapa ton ikan yang sedang mereka tarik. Sepertinya berat, sepertinya akan dapat banyak, mungkinkah seperempat ton, setengah ton, satu ton? Ah, jaman telah berbeda. Ikan-ikan tak sebanyak dulu. Yang terpenting bagaimana jaring ini cepat diangkat. Keluarga butuh makan, anak-anak butuh duit, kendaraan perlu diisi bensin. Tangan harus mencengkeram lebih erat. Kaki harus bisa menumpu lebih kuat. Sebelum terlalu siang, sebelum matahari lebih kuat membakar kulit yang sudah merah kepanasan.
Di belakang mereka, saya duduk mengamati, setengah takjub.
Di rumah, saya pernah mengobrol dengan kakek Mas Editor yang pernah bekerja sebagai mandor perahu (kakek menyebutnya mandor gethek). Saya melemparkan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang kemudian dijawab dengan cerita panjang yang asyik. Di perahu, beliau punya tugas mencatat pendapatan ikan, mengabsen pekerja dan melaporkannya kepada juragan perahu. Perahu yang dipegangnya pernah mendapat hingga puluhan keranjang. Sang juragan akan memberi upah sebesar 75 sen untuk mandor dan 50 sen untuk pekerja.
“Rahasianya apa, Mbah, kok tetap sehat?”
Beliau tertawa. Tidak ada resep khusus untuk menjaga badannya tetap bugar. Di jamannya tidak ada minuman berenergi yang merusak ginjal. Nasi, ikan, sayur mayur adalah asupan alami yang membawanya tetap sehat hingga di usianya sekarang yang hampir seabad.
“Tidak dapat ikan.”
“Siapa yang tidak dapat ikan?”
“Jaring tariknya itu.”
“Hah. Terus bagaimana?”
Kami mendekat. Proses ini selalu menyita perhatian banyak pengunjung pantai untuk menonton lebih dekat. Hari itu la mar sedang tak berbaik hati. Selama hampir satu jam jaring ditarik ramai-ramai, puluhan pengharapan diletakkan padanya, tetapi ia cuma membawa ikan-ikan yang ditakar hanya 2 atau 3 keranjang. Tetapi tidak ada waktu untuk kecewa. Para nelayan segera membersihkan ubur-ubur yang tersangkut, memisahkan ikan-ikan menurut jenisnya, membuang anak-anak ikan yang tak laku dijual.
Ada berbagai jenis ikan seperti ikan pari, kakap, pethek, gembung. Mereka meloncat-loncat sambil membuka-tutup mulutnya. Bagian insangnya kembang-kepis, matanya menatap kaku. Kata Kurt Cobain, “tidak apa-apa makan ikan, karena mereka tidak punya perasaaan.” Tetapi menggelepar-gelepar begitu benar-benar tidak kesakitan, ya?
“Ayo, pulang,” ajak Mas Editor.
Adzan Duhur telah berkumandang. Seorang pengepul terlihat menakar harga ikan. Satu-dua orang ngaso di beberapa warung. Kami masih bercakap-cakap hingga pulang.
Hari makin panas. Motor kami melaju pelan melewati satu tambak lobster yang baru beroperasi. Seperti cerita-cerita lain yang biasa kita dengar; tambak ini ternyata dibangun oleh si kaya yang kuat finansialnya. Lalu, barangkali sebentar lagi akan ada cerita yang juga biasa: tambak itu terbukti mengganggu lingkungan, manusia dan ekosistem di sekitarnya. Dan uang biasanya lebih berkuasa ketimbang faktor-faktor kebaikan lingkungan dan yang lainnya.
Satu-dua-tiga petak sawah terlewati. Nun jauh di sana gunung-gunung melingkari desa seperti benteng yang kokoh. Burung kuntul yang lembut mencoba peruntungan mencari katak-katak di sawah, kemudian terlintas pertanyaan konyol di pikiran saya, “kuntul-kuntul itu tinggalnya di mana, sih?”
“Sepertinya di atas genteng-genteng rumah penduduk sini,” jawab orang yang membonceng saya sekenanya.