Pernah beberapa kali saya mendapat cerita bahwa terdapat suatu daerah yang kerusakannya tidak seberapa parah dibanding daerah lain ketika terjadi tsunami di Sulawesi Selatan tahun 1993 dan di Aceh tahun 2016 lalu. Perumahan, tempat ibadah, bangunan dan sebagian besar fasilitas lain selamat dari terjangan tsunami. Cerita tersebut dibarengi dengan beberapa perkiraan penyebabnya, yang paling sering adalah bahwa itu semua mutlak kekuasaan Tuhan. Saya setuju dengan itu. Tapi manusia saat ini, bukanlah makhluk yang dapat menerima begitu saja alasan semacam itu. Bagi manusia modern, setiap kejadian, fenomena alam, atau apapun itu, harus bisa dijelaskan secara ilmiah (dengan ilmu pengetahuan).
Dengan adanya fenomena bahwa masih terdapat daerah yang selamat dari terjangan tsunami yang seharusnya mustahil–menurut ilmu pengetahuan–mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Mereka datang untuk melihat sendiri dan meneliti. Namun bagi para pemerhati lingkungan, seharusnya itu bukanlah hal yang luar biasa. Tak perlu menunggu pemerhati lingkungan, masyarakat penghuni daerah tersebut dan sekitarnya mestinya paham mengapa suatu daerah tidak mengalami terjangan seperti yang terjadi di daerah lain.
Mereka sepakat bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya mangrove yang menjadi “sabuk” daerah tersebut.
Di antara sekian banyak kekayaan yang dimiliki oleh negara ini, mangrove adalah salah satunya. Perlu diketahui bahwa hutan mangrove kita adalah yang terluas di dunia melebihi Brazil. Kita juara 1. Namun kita juga juara 1 dalam menghancurkannya. Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40% mangrove (FAO, 2007). Artinya, Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia (Campbell & Brown, 2015).
Mangrove Indonesia mencapai 8,6 juta Ha luasnya: 48% masuk kategori rusak dan 28% rusak parah. Tinggal 24% saja yang dikategorikan baik. Itu pun belum termasuk ancaman pengrusakan jika dibiarkan (The Jakarta Post, 2012).
Mangrove adalah habitat bagi banyak makhluk hidup. Satwa air sudah pasti, semacam kepiting, udang, belut, kerang, siput laut dan beragam spesies ikan. Mangrove juga menjadi habitat bagi banyak serangga, reptil, burung, dan mamalia.
Tak hanya itu, selain mencegah abrasi, mangrove banyak memberikan manfaat bagi manusia. Bagi mereka yang hidup di pesisir pasti akan sangat tidak rela jika tak ada mangrove yang berada di antara lautan dan daratan. Karena dengan adanya mangrove, air sumur yang mereka ambil untuk kebutuhan sehari-hari sudah tak lagi asin ketika meresap ke dalam tanah. Sehingga air yang mereka ambil dari sumur sudah sepenuhnya menjadi air tawar.
Mangrove mampu menjadi benteng takeshi, eh, maksudnya benteng alami yang seakan-akan memisahkan lautan dan daratan. Keberadaannya mengurangi kekuatan gelombang dan angin yang datang dari laut agar tidak langsung menghantam daratan sehingga mampu melindungi manusia, pemukiman, pertanian dan fasilitas lain yang berada di belakangnya.
Mangrove juga memiliki keahlian sebagai perangkap lumpur yang terbawa dari daratan ke laut. Keuntungannya? Tentu lumpur tidak langsung ke laut yang dapat mencemari lautan. Dan lagi, lumpur yang terperangkap dan stabil dalam waktu yang lama, akan menciptakan lahan baru yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Jadi, reklamasi sepertinya bukan jalan satu-satunya untuk menciptakan lahan baru. Ups!
Satu lagi, dengan berkembang dan populernya istilah back to nature, pariwisata pun “terjangkiti” istilah tersebut. Banyak pariwisata yang dikembangkan dengan basic alam, mangrove salah satunya. Di Jawa Timur setidaknya ada tiga lokasi ekowisata mangrove yang instagramable. Ekowisata Mangrove Wonorejo di Surabaya, Bee Jay Bakau Resort (BJBR) di Probolinggo, dan tentunya Ekowisata Mangrove di Cengkrong, Trenggalek.
Ekowisata mangrove di Cengkrong, yang masih berada di kawasan Pantai Prigi–sebelah barat pantai Prigi–kini menjadi salah satu tujuan wisata di Watulimo selain Pantai Prigi, Pantai Pasir Putih dan Guo Lowo. Keberadaanya yang searah dengan tiga lokasi wisata tersebut di atas, sangat menunjang keberadaannya untuk lebih dikenal masyarakat.
Prinsip konservasi mangrove yang dulu hanya bertujuan untuk memelihara, melindungi dan memperbaiki sumber daya alam, kini semakin memiliki manfaat lebih luas dengan dijadikannya ekowisata. Di Trenggalek, dengan POKMASWAS Kejung Samudra sebagai pengelola dari Hutan Mangrove Cengkrong, menambahkan manfaat edukasi/pendidikan bagi pengunjung dan masyarakat sekitar. Di Ekowisata Mangrove Cengkrong, Trenggalek, pengunjung tak hanya menikmati landscape pantai yang berhadapan langsung dengan pegunungan, namun juga belajar banyak tentang mangrove.
Pengelolaan yang didasarkan atas musyawarah dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya dan tradisi yang yang berkembang turut menumbuhkan semangat dan rasa tanggung jawab masyarakat pesisir Pantai Prigi untuk berpartisipasi dalam melestarikan mangrove. Dan tentu adalah manfaat dari adanya ekowisata tersebut mampu menggerakkan perekonomian di wilayahnya.
Dengan dikelolanya ekowisata mangrove di Cengkrong, Trenggalek oleh masyarakat sekitar, setidaknya kita berharap bahwa ancaman bagi mangrove di Trenggalek dapat diminimalkan. Dengan semakin bertambahnya kesadaran akan pentingnya mangrove, tentu kegiatan-kegiatan semacam penebangan tak terkontrol, perkara sampah dan perubahan fungsi lahan tak akan terjadi.
Salam Lestari!