Tulisan ini adalah kegelisahaan saya sebagai priyayi Jawa partikelir melihat masalah desa yang sering tereksploitasi dibanding zaman dahulu, seolah zaman kolonial itu masih terjadi di desa-desa kita saat ini. Dan kita masih sering takut kekuasaan yang hari ini sudah tak absolut lagi. Hukum postif negara, agama dan adat dicari celahnya, hanya untuk melakukan tindakan yang eksploitatif dan menguntungkan sebagian masyarakat.
Tempatnya tidak terlalu jauh mungkin hanya sekitar 10 km dari alun-alun Trenggalek, desa ini mungkin desa yang cukup besar untuk ukuran Trenggalek, jumlah RT mungkin setara dengan dua atau tiga desa kecil yang ada di desa tetangganya. Sebenarnya saya cukup sering ke desa ini tetapi tidak lebih jauh dari kantor desa yang saya lewati. Kemarin saya coba untuk tidak hanya lewat kantor desa saja. Saya melihat suatu yang mengerikan, sebuah bukit yang ukurannya tidak terlalu besar tapi bentuknya sudah tidak utuh lagi alias tinggal setengah, mirip kue ulang tahun yang kita ambil setengahnya.
Sore itu truck berbadan sedang, tampak keluar masuk dari arah bukit tersebut dengan kecepatan yang cukup kencang. Saya tidak tahu tanah apa yang diambil, dibawa ke mana dan menjadi bahan baku apa. Atas nama ekonomi semua diambil secara besar-besaran tentu sering tanpa ada perhitungan dari aspek-aspek ekologis yang jelas.
Pola ekonomi eksploitatif pada alam ini sepertinya sudah ada sejak dahulu, semua diambil dan ditukar dengan kekayaan artifisial untuk memenuhi gaya hidup rakus manusia. Pola ekspoitatif ini sebenarnya sudah ada di semua wilayah di Trenggalek, gaya eksploitatif bukan hanya pada alam tetapi juga pada sesama manusia. Sepertinya saya sudah tak bisa membayangkan apa lagi melihat ikatan simbiosis mutualisme antarwarga desa yang penuh kesantunan dan etika dalam menjaga alam dan bersosialisasi antarsesama warga desa.
Di Dongko dan di Pule, saya mendengar sebagaian tanah lahan warga juga ditanami sawit. Kita sudah tahu bahwa sawit sangat boros air, penanaman sawit tersebut cepat atau lambat akan mempengaruhi kondisi sumber mata air di sekitar lokasi penanaman. Dalam kasus ini, kita melihat sudah tidak ada keinginan untuk menjaga alam, yang kemudian alam bisa dimanfaatkan bersama secara bijak.
Kondisi ini memang tidak lepas, salah satunya, karena masyarakat yang belum teredukasi, sehingga semua hal yang dianggap menguntungkan, dikejar dan diperas hingga tidak tersisa sedikit pun. Seolah alam sekitar hanya diciptakan untuk dirinya sendiri. Kerakusan kita sebagai manusia juga mempengaruhi nasib manusia lain yang ada di sekitar kita.
Semua yang ada di alam saling terikat & ada ketergantungan, banyak contoh yang bisa kita lihat salah satu yang paling mengganggu adalah wabah ulat bulu yang menyerang Jawa Timur sekitar tahun 2011. Mengakibatkan terganggunya aktivitas warga. Kasus wabah ulat bulu ini adalah karena hilangnya salah satu rantai dari rantai makan yang berfungsi mengontrol populasi ulat bulu.
Semut merah atau bisa orang sebut semut rangrang yang selama ini biasa digunakan oleh masyarakat menjadi makanan burung piaraan. Semut merah inilah yang menjadi penahan laju populasi ulat bulu. Jika semut merah diambil besar-besaran dari pohon-pohon tanpa menyisakan mereka di habitat asalnya. Sepertinya kita lebih mudah menemukan semut merah di peternakan daripada di pohonan. Itu baru satu contoh, bagaimana manusia harus menjaga keseimbangan alam.
Desa memiliki ruang untuk memelihara keseimbangan alam dan mengakomodir potensi ekonomi. Ruang itulah yang justru disingkirkan oleh para pemilik modal dan penguasa lokal untuk mendapatkan keuntungan. Krisis ekologi di desa sepertinya akan terus terjadi jika tidak ada upaya dari masyarakat lokal untuk peduli dengan kondisi alam sekitarnya.
Mungkin hari ini mereka masih menikmati limpahan air dari sumber mata air di dekat sawah dan kebunnya. Tetapi jika bukit dan gunung terus dieksploitasi hingga tahap kritis, apakah mereka masih bisa menikmati limpahan air tersebut? Dengan begini kita tahu kenapa masyarakat di kawasan penggunungan kendeng mati-matian melakukan protes agar alamnya tidak diubah menjadi lokasi tambang bahan baku semen, yang nantinya akan membuat hidup mereka semakin parah.
Kondisi sawah & ladang yang hari ini masih terjaga saja, sudah dieksploitasi oleh para pemilik modal didukung penguasa lokal. Para petani desa dari dulu selalu tergantung dengan tengkulak yang mau jemput bola untuk membeli hasil kebun atau sawahnya dengan harga sangat murah, bahkan dalam beberapa kasus, saya menemukan hasil kebun atau sawah menjadi jaminan utang dengan para rentenir, yang nanti hasil panennya akan menjadi milik rentenir sepenuhnya sampai utangnya dilunasi.
Hal-hal semacam ini membuat masyarakat desa banyak yang memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri, seolah menjadi TKI adalah jalan keluar ideal. Menjadi TKI memang menjadi pilihan terakhir. Sialnya pilihan tersebut bukan pilihan yang aman. Masalah perdagangan manusia adalah salah satunya, agen-agen PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) nakal berkeliaran di desa-desa untuk memangsa masyarakat desa dijual menjadi budak luar negeri.
Hari ini desa memang menjadi primadona pembangunan dengan alokasi khusus dana desa yang membuat pemerintah desa dapat melakukan pembangunan sendiri tanpa terlalu “menggantungkan”. Tentu ADD bukan obat segala masalah bagi desa. Tapi dengan adanya ADD paling tidak pemerintah tidak perlu membangun jalan dari uang hasil keuntungan tambang-tambang.
Walaupun usaha tambang tersebut legal secara hukum tetapi dampak pasca penambangan yang sering terjadi adalah perusahaan tambang tidak melakukan normalisasi. Ya bagaimana akan melakukan normalisasi lingkungan jika yang dilakukan adalah memangkas gunung, apa mungkin kita membangun gunung? Sekarang zamannya untuk membangun dan memperlakukan alam beserta masyarakatnya secara lebih seimbang. Setidaknya manusia bisa lebih memperhatikan lagi kondisi alam pada saat memanfaatkannya.