Kehebohan yang melanda warga Trenggalek beberapa bulan yang lalu, sepertinya kini sudah reda. Ini tentang seseorang yang sebelumnya mereka perbincangkan di warung-warung kopi, terminal, pasar-pasar tradisional, waktu kondangan, sambatan lingkungan, dan di waktu-waktu yang lain. Para sopir, pedagang, tukang mancing, pengangguran, pegawai honorer, karyawan magang, kuli bangunan, dan tukang-tukang yang lain kini sepertinya sudah malas memperbincangkan seseorang itu. Kunu-kunu wes, mungkin begitu pikir mereka semua.
Akan dianggap telat informasi atau mungkin bocah telat mikir jika ada yang membahas dicalonkannya Mas Emil, seseorang yang tadi, menjadi wakil gubernur Jawa Timur mendampingi Ibu Khofifah. Tapi toh nyatanya, meskipun tak sehiruk-pikuk saat-saat awal terdengar berita Mas Emil maju di “pertarungan” pilgub Jawa Timur, masih ada rakyat Trenggalek yang demen membicarakannya ketika sanja maupun kondangan.
Sama saja, yang pro berkeyakinan bahwa dengan kuasa dan kewenangan yang lebih besar (baca: menjadi wakil gubernur), Mas Emil mampu untuk menjadikan Trenggalek lebih hebat dari yang sekarang. Menurut pendapat saya, pihak yang pro ini sepertinya benar-benar meyakini bahwa Mas Emil-lah satu-satunya di dunia ini yang bisa menjadikan Trenggalek moncer. Tak ada orang lain. Atau mungkin mereka adalah supporter fanatik beliau. Kalau urusan politik dan kebagian jatah, itu lain soal. Saya tak tahu-menahu dan tak paham. Sungguh.
Sebenarnya tak perlu heran jika mendapati kelompok seperti mereka. Lagi pula, salah satu indikator bakal sukses tidaknya partai politik atau seorang politikus dalam “bermain” adalah kemampuan memobilisasi massa untuk mendukungnya. Syukur-syukur massa yang mendukungnya “berkacamata kuda”. Wah, tambah demen dan terkekeh-kekeh-lah mereka.
Dari pendapat mereka, saya sungguh terkagum-kagum pada bagaimana sosok Emil mampu “menyihir” massanya untuk tetap mengarahkan spotlight kepadanya. Tentunya saya juga tak bisa meremehkan bagaimana kinerja tim yang berada di belakang Emil sejak mencalonkan menjadi bupati hingga sekarang. Dan, karena itulah, saya yakin yang menjadi salah satu faktor kenapa mereka, yang pihak pro ini, tak mampu melihat ada apa atau siapa, selain yang tersorot spotlight.
Oh iya ya…
Berkacamata kuda.
Sedangkan pihak kontra masih tetap dengan pendapat bahwa tindakannya sungguh sangat menyakiti warga Trenggalek. Mereka bernostalgia ketika Mas Emil mencalonkan diri menjadi bupati di kota mereka, Trenggalek. Beliau tak hanya komunikatif dengan orang-orang “besar” di Trenggalek dan di tingkat atasnya, tetapi juga begitu dekat dengan mayoritas masyarakat Trenggalek, rakyat kecil.
Mereka begitu bahagia dan sumringah ketika akan dianugerahi seorang bupati yang tak hanya masih muda, cerdas dan bisa dekat dengan mereka. Saya tak tahu, apakah kini mereka masih menganggap beliau adalah anugerah.
Harapan untuk memiliki seorang “karyawan” (baca: pejabat pemerintahan) yang menghormati, menjunjung tinggi dan tidak akan menyakiti hati “juragannya” (baca: rakyat) akan segera terwujud. Namun, tidak butuh waktu lama untuk mereka kecelik. Seseorang yang diharapkan ternyata telah telanjur menyakiti hati “juragan”-nya. Okelah kalau Mas Emil bilang bahwa fokus dan kerjanya masih dan terus tercurah untuk Trenggalek, setidaknya hingga akhir tahun 2018. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi ditakutkan kalau-kalau beliau tak “cinta” lagi dengan Trenggalek. Tapi, Mas, rakyatmu itu manusia-manusia peka lho.
Pihak yang kontra ini, kok rasa-rasanya terjebak di kubangan nostalgia dan janji-janji yang lumayan dalam. Ingat lho, itu semua politik. Apa saja, bagi mereka mungkin dan sah asalkan itu bisa menggapai tujuan dan kepentingan dari kelompoknya. Semoga yang berada di pihak kontra ini tidak sampai klelep. Jadi, meskipun kecemplung, kawan-kawan yang lain paling tidak masih bisa melihat tangan dan meraihnya untuk menariknya ke pinggir untuk menolongnya.
Sesuai hukum dan peraturan yang pernah saya dengar, apa yang dilakukan oleh Mas Emil (meninggalkan jabatan sebelum tuntas masa baktinya, untuk menduduki jabatan lain yang lebih tinggi) adalah sah-sah saja. Tolong jangan tanya saya peraturan yang mana; undang-undang yang mana; bagaimana bunyinya; nomor berapa. Karena, sungguh, saya tak tahu itu. Saya ini wong ndesa, wong utun, tidak sempat untuk membaca apalagi mempelajari dan menghafal berbagai peraturan dan undang-undang karya bapak-bapak dan ibu-ibu wakil kami yang terhormat. Kok membaca undang-undang, lha membaca al-Quran saja, saya ini jarang kok. Paling-paling sekadar say hello sebelum dan sehabis sembahyang.
Dengan diperbolehkannya Mas Emil untuk maju di pilgub (sesuai hukum yang berlaku), seharusnya pihak-pihak yang merasa tersakiti ini harus segera move on. Kalau tidak bisa, berarti sama saja dengan pihak yang pro, sama-sama tidak bisa mengalihkan spotlight ke arah yang lain. Dan lagi-lagi, pesona Mas Emil sungguh luar biasa. Meskipun memiliki massa dengan pendapat yang berbeda, tetapi tetap mampu menjaga lampu sorotnya tetap mengarah ke beliau. Luar biasa. Nilai plus lho ini.
“Lha nyapo ta kang kok ra oleh maju?”
Masyarakat Trenggalek yang kurang setuju dengan keputusan Mas Emil maju mencalonkan diri menjadi wakil gubernur Jawa Timur, akan menjawab dengan beragam. Saya menghormati setiap jawaban. Namun, ada beberapa jawaban yang membuat saya tersenyum kagum.
Salah satunya adalah saya mendapati jawaban dari tidak sedikit orang yang memiliki pemikiran bahwa Mas Emil ini menjadikan Trenggalek sebagai batu pijakan dalam karir politiknya–semoga mereka salah. Namun, sekarang ini pendapat mereka sepertinya tidak bisa dikatakan sepenuhnya salah jika melihat langkah politik Mas Emil.
Mereka menilai Mas Emil memilih Trenggalek karena begitu “cantik” dan “lugunya” Trenggalek. Akan menjadi kabar yang luar biasa jika Mas Emil mampu menyulap Trenggalek yang diidentikkan dengan stigma terpencil dan ndesa menjadi kota yang tak hanya menjadi kota persinggahan tetapi menjadi kota tujuan. Kota yang sebelumnya ndesa menjadi kota yang modern dengan banyak hiburan seperti di Jakarta, dikenal secara nasional bahkan internasional. Dan saat ini, di zaman medsos, tak susah untuk mengabarkan apapun. Apalagi dengan anak-anak jaman now-nya Trenggalek yang begitu kemaruk di medsos, misi penyebaran berita kian mudah dengan hastag-hastag mereka. Bukankah politik memang soal memobilisasi massa?
Jadi Mas Emil, kalau benar-benar dan sungguh-sungguh ingin mendengarkan suara rakyatmu, tolonglah, sekali dua, pakailah kaos oblong, yang nyantai, bawa motor, tak usah bawa ajudan ataupun pengawal, suruh mereka istirahat atau sekadar nonton bola atau gaple di poskamling sekitar. Kemudian nongkronglah di warung-warung kopi atau lesehan-lesehan. Saya yakin Sampean akan mendapatkan yang benar-benar suara rakyat, bukan melalui wakilnya. Karena yakinlah, kadang suara yang diwakilkan itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud.
Kenapa saya menyarankan ke warung-warung kopi atau lesehan-lesehan? Karena saya yakin, mayoritas masyarakat Sampean ini levelnya adalah warung-warung kopi, bukan kafe-kafe Korean Style. Saran saya ini berlaku kalau anda sungguh-sungguh ingin mendengar pendapat “juragan” Sampean. Itupun kalau Anda mau. Kalau Sampean sudah merasa bahwa Sampean sudah sangat mengerti dan memahami maunya “juragan” sampean dan tidak perlu melakukan hal-hal tadi, ya mangga… Wong saya ini sekadar usul.
Dan nanti ketika Sampean mengajukan pertanyaan seperti di atas, akan ada dari mereka yang menjawab: “Kepagian, Mas!”
Salam Lestari!